STUDI KOMPARASI TENTANG COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM KONSERVASI HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BIMA NTB DAN KABUPATEN BANYUWANGI JAWA TIMUR
Pada dasarnya pertambahan
penduduk di Indonesia membawa dampak yang beragam. Jumlah penduduk yang meningkat
akan memunculkan berbagai kebutuhan manusia. Kebutuhan untuk lahan sebagai
tempat pemukiman, maka banyak lahan yang peruntukannya seharusnya tidak untuk
pemukiman digunakan sebagai tempat pemukiman. Dengan kebutuhan lahan yang
besar, maka terjadi pembukaan lahan secara besar-besaran.[1]
Akibatnya penebangan pohon dan kayu di hutan diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan pemukiman (Zulrizka
Iskandar. 2012. hal; 170).
Begitulah kondisi yang
terjadi dihampir 58% atau sebanyak 1,8 juta hektar hutan mangrove dari jumlah
luasan hutan mangrove di Indonesia saat ini (Greenpeace.org 2013). Permasalahan utama mengenai hutan mangrove adalah
terjadinya degradasi baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga dapat
mengganggu fungsi ekonomis dan ekologisnya (Saenger et al, 1981) dalam Zoer’aini Djamal Irwan (2010: 137-138). Berdasarkan
data Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)
tahun 2009 (Lihat di Kementerian Lingkungan Hidup, 2014), bahwa total luasan
mangrove di Indonesia menyusut hingga tinggal sekitar 3.244.018,460 hektar dan
dimana sebelumnya, berdasarkan data Martin Keeley (2007: 1) terdapat 9 juta
hektar luas kawasan hutan mangrove di Indonesia atau 24.000 km² atau
sekitar 1,3 % dari luas Wilayah Indonesia (Jatna Supriatna (2008:20).
Penyusutan jumlah luasan
hutan mangrove di Indonesia tersebut karena fenomena konversi hutan mangrove
yang dijadikan sebagai kawasan pengembangan
perumahan dan pemukiman, jalan raya,
serta kegiatan-kegiatan komersial seperti penggalian pasir, pertambakan untuk budidaya perairan, produksi garam, pertanian (Nuddin
Harahab, 2010; 67), dan industri pertambangan
(lihat di Kompas, Edisi Sabtu 19 Januari, 2013, hal; 13). Selain itu meningkatnya permintaan terhadap produksi
kayu juga menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove (Nuddin
harahab, 2010:128). Kegiatan terakhir ini
memberi kontribusi terbesar dalam pengrusakan hutan mangrove (Herman
Hidayat Dkk, (2011: 187).
Dalam
situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsi hutan mangrove menjadi hilang dan
kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya (Ahmad Dwi Setyawan,
dkk. 2011: 137). Banyak
penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pelestarian
sumberdaya lahan pesisir khususnya hutan mangrove sangat kurang dan sebagian
besar justru berperilaku merusak (Zulrizka Iskandar hal: 178). Apalagi seiring dengan perkembangan unsur
kapitalisme dalam persoalan lingkungan dan sumber daya alam (Mansour
Fakih dalam Ton Dietz, 2005). Juga saat
bersamaan pendidikan kebencanaan terutama kapasitas antisipasi
dan penanganannya juga rendah (Chatarina
Muryani, dkk, 2011).
Seperti yang terjadi di
Kabupaten Bima, bahwa akibat kerusakan hutan mangrove mengakibatkan terjadinya banjir
rob dan bencana gelombang pasang yang menyebabkan kerugian yang mencapai Rp2,47
Miliar (Lihat bimakab.go.id), dan juga abrasi pantai pada beberapa lokasi
disepanjang jalan yang ada di daerah tersebut yang sudah mendekati pemukiman penduduk,
kawasan, wisata pesisir dan fasilitas umum (jalan raya). Kondisi tersebut akan menyebabkan
relokasi yang membutuhkan biaya yang besar (LAKIP BLH, 2013: 23). Juga Fenomena kerusakan hutan
mangrove di muncar Banyuwangi jawa timur, mengakibatkan hasil tangkapan ikan merosot
drastis dari 80.000 ton menjadi sekitar 20.000 ton (Lihat Kompas Edisi Sabtu 23
Desember 2012. hal: 24).
Masalah tersebut bermunculan
juga tidak terlepas dari sistem perencanaan nasional yang masih berbasis target
bukan berbasis masalah, identifikasi akar masalahnya tak tersentuh. Padahal
seharusnya antisipasi mensyaratkan pemetaan kerawanan dan kerentanan bencana
serta resikonya. Juga daya dukung peraturan daerah kabupaten/kota yang ada di
Indonesia tidak memadai misalnya secara umum di Jawa saja, ada 278 peraturan
daerah mengatur eksploitasi sumber daya alam tanpa mengatur pemulihannya
(Kompas, Edisi, jum’at 18 Januari 2013,
hal; 13).
B.
Konservasi
Hutan Mangrove dalam Pendekatan Collaborative
Governance
a.
Konsep
Collaborative Governance
Dalam
buku Collaborative Governance in the
United States and Korea karya Yong Duck Jung, Daniel A. Mazmanian dan Shui Yan
Tang tahun terbit 2009 ini merupakan buku panduan penulis dalam mengkaji
masalah Collaborative Governance dalam
konservasi hutan mangrove di Kabupaten Bima dan Kabupaten Banyuwangi Jawa
Timur.
Konsep governance pada dasarnya bisa dilacak dalam bahasa latin klasik dan
yunani yaitu mengarahkan (steer) atau
mengendalikan (control) sebuah
perahu. Konsep tersebut pada dasarnya bermakna tindakan atau cara pandang dalam
mengatur, membimbing dan mengarahkan. Jadi governance merupakan sebuah cara
atau model dalam menjalankan pemerintah, sedangkan government adalah institusi
dan lembaga-lembaga yang berwenang untuk menjalankan pemerintahan tersebut
(Jessop, 1998 dalam Bowo Dwi S, 2009: 3 ).
Penatakelolaan
atau governance menurut Kooiman et al. (2005) dalam Muhammad Kasnir, 2009 :286)
adalah keseluruhan interaksi antara
sektor publik dan privat yang ikut terlibat untuk memecahkan persoalan
masyarakat dan menciptakan kesempatan sosial. Suatu penatakelolaan harus
didasarkan atas tiga pilar, yakni koordinasi, kolaborasi, dan konsultasi, untuk
merancang keterpaduan dalam pengelolaan sumber daya sebagai dasar dari
perencanaan dan pengambilan keputusan (Thia-Eng, 2006).
Sedangkan Kolaborasi
adalah bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik
individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak
langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari sebuah
kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses,
saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat
(CIFOR/PILI, 2005). Konsep kolaborasi didefinisikan juga digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu.
Sesuai
dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) dalam Nanang Haryono, (2012: 49)
menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang
terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan
solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa
yang dapat dilakukan. Pada artikel ini kolaborasi dimaknai sebagai kebersamaan,
kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, dan tanggung jawab dimana pihak-pihak
yang berkolaborasi memiliki tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk
berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis
masyarakat.
Sehingga tata kelola pemerintahan kolaboratif telah didefinisikan sebagai proses pembentukan, fasilitasi, operasi, pemantauan, dan pengaturan
organisasi lintas sektoral untuk mengatasi
masalah kebijakan publik yang tidak dapat dengan mudah ditangani oleh satu organisasi atau sektor publik secara
sendiri (Ansell dan Gash 2008 dalam Yung Duck Jung et.al,. 2009:
1 ).
Inisiatif
dalam membentuk pemerintahan kolaboratif ini sebenarnya sebagai upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengatasi berbagai
tantangan yang berkembang dalam kehidupan bernegara. Kolaborasi pemerintahan ini sebagai
bentuk inovasi dan akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat yang selama ini cenderung menganggap bahwa pemerintah boros dan gagal untuk mewakili
kepentingan masyarakat (Hetherington 2006).
Dalam
kolaborasi ini ada proses penyerahan
otoritas pemerintah yang sedang bekerjasama, maksudnya ada batas pembagian kekuasaan,
yang mengalir dari pengambilan keputusan bersama, berbagi
sumber daya, dan tanggung jawab bersama untuk melihat
bahwa semua peserta dalam hal ini
aktor-aktor yang terlibat dalam
proses puas pada hasilnya (Bogason dan Musso, 2005).
b.
Pendekatan
Collaborative Governance dalam
Konservasi Hutan Mangrove
Menurut Grumbine (1994) dalam
Jatna Supriatna (2008; 236) menjelaskan bahwa dalam rencana aksi
pelestarian atau konservasi keanekaragaman hayati termasuk ekosistem hutan
mangrove, melalui tiga prinsip konservasi yang telah dicanangkan dunia yaitu
dengan pendekatan: Save, Study, dan Use. Pendekatan ini lebih bersifat holistic, yaitu pendekatan
menyeluruh yang diharapkan dapat melindungi spesies dengan tidak meninggalkan
aspek manfaat. Dimana prinsip perlindungan (save)
dapat dijabarkan sebagai usaha pengelolaan, legislasi, perjanjian
internasional, dan sebagainya. Dalam prinsip pemanfaatan (use),[2] sering direncanakan untuk
program-program manfaat bagi masyarakat, berbagai komoditi perdagangan, turisme
dan jasa pariwisata. Sedangkan prinsip study
atau penelitian dapat meliputi penelitian dasar seperti, penelitian
keragaman spesies, habitat, komunitas, ekosistem dan juga perilaku serta
ekologi dari spesies.[3]
Maka adapun beberapa pendekatan Collaborative
governance dalam mengkaji konservasi hutan, khususnya konservasi hutan
mangrove di Kabupaten Bima dan Kabupaten Banyuwangi antaralain:
a)
Model
Konsesi
Secara
konseptual, konsep konsensi konservasi merupakan hal baru dalam konteks upaya
pelestarian Alam. Negara yang pertama kali mengadopsi gagasan ini adalah Peru,
yang mengkonsesikan hutan Los Amigos di lembah Amazon seluas 136.000 hektare
pada tahun 2001 lalu. Konsep konsesi ini dirumuskan secara bersama dan
multipihak, dengan melibatkan masyarakat dan calon pemegang konsesi (Non Governmental
Organization - NGO atau LSM ) yang
harus bisa menjamin bahwa konsesi tersebut akan memberikan manfaat secara
langsung kepada masyarakat setempat. Dengan cara konsesi konservasi ini hutan
tetap dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan akan tetapi, dengan cara-cara
yang tetap menjamin kelestariannya.
Kawasan yang dikonsesikan tetap merupakan aset
daerah dan dimiliki oleh masyarakat, karena lahan itu tidak akan mungkin dibawa
pergi pemegang konsesi (NGO). Karena
konsesi konservasi bukan berarti ahli konservasi (pemegang konsesi) menjadi
pihak yang menang dan langsung bisa pulang. Tidak demikian, mereka punya
kewajiban untuk membantu masyarakat disekitar kawasan agar mampu mendapatkan
keuntungan secara langsung. Memang, tidak dengan cara yang instan, melainkan
melaui serangkaian langkah yang dilakukan secara simultan seperti riset,
pembinaan masyarakat, serta mencarikan alternatif pendapatan ekonomi bagi
masyarakat untuk mengganti kebiasaan
mereka dari berladang berpindah menjadi petani yang menetap. Atau, bisa juga dengan
menjadikan masyarakat sekitar sebagai penjaga dan pemelihara hutan, untuk
menggantikan usaha lamanya sebagai penebang ataupun pemburu.[4]
b)
“forest for people”
Di Indonesia sendiri ada konsep pengelolaan hutan
berbasis masyarakat yaitu “forest for people”
melalui beberapa pendekatan antaralain :
1)
Pengelolaan
sumberdaya hutan harus menyesuaikan dengan watak sumberdayanya dan tidak dalam
satu model hutan (model forest) secara
nasional. Oleh karena itu, prinsip dan watak pengelolaan sumberdaya hutan untuk
kehutanan Indonesia hendaknya memiliki tujuan kearah perencanaan, pemanfaatan,
pembinaan, dan perlindungan sumberdaya hutan, yang disesuaikan dengan keadaan
fisik dan lingkungan setempat, berdasarkan kepada prinsip sistem pengelolaan
sumberdaya hutan yang berkelanjutan.
2)
Tujuan
pengelolaan sumberdaya hutan adalah untuk memaksimalkan seluruh fungsi dan
manfaat hutan. Jika fungsi-fungsi hutan dapat dimaksimalkan, maka diharapkan
hutan dapat lestari dan rakyat akan dapat merasakan manfaatnya. Tujuan ini hanya
akan tercapai jika terjadi persamaan persepsi akan pentingnya perubahan
dasar-dasar pengelolaan sumberdaya hutan, dari tindakan-tindakan ekstraktif,
menuju sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis pada strategi
kehutanan sosial yang berintikan pada prinsip dan watak pengelolaan ekosistem
hutan (Forest Ecosystem Mangement) .
3)
Menggunakan
pendekatan sistem berbasis ekosistem. Dimana pendekatan ini yang paling mengena
untuk pengelolaan kehutanan Indonesia. Para pakar di perguruan tinggi,
praktisi, LSM, dan pemerintah bersama menyamakan persepsi tentang posisi rakyat
dalam pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem. Di dalamnya termasuk
hal-hal yang berkaitan dengan power
Sharing, Input Sharing dan Output sharing didalam pengelolaan sumberdaya hutan
yang berkelanjutan.
4)
Pengembangan
ekonomi dan bisnis dalam pengelolaan sumberdaya hutan tidak terbatas pada
pemahaman tentang ekonomi produksi saja, tetapi ekonomi yang berdasarkan kepada
aspek-aspek perlindungan dan pemanfaatan semua fungsi-fungsi hutan.
5)
Forest for
People harus
diartikan sebagai stategi pengelolaan hutan yang berorientasi kepada
peningkatan harga diri “rakyat terpinggirkan”, memberdayakan intuisi masyarakat
dan pemerintah, menciptakan proses pembelajaran kepada semua stakeholders pengelolaan hutan,
penghormatan perlindungan dan penguatan terhadap hak-hak rakyat pada sumberdaya alam hutan.
6)
Pengelolaan
sumber daya perlu membuka dan mengakui secara transparan eksistensi “rakyat”,
memberi peluang akan hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pembinaan, dan
perlindungan hutan. Pengelolaan hutan harus dimulai dari penyamaan pemahaman
bahwa salah satu tugas pemerintah adalah melibatkan secara aktif masyarakat
yang ada disekitaran hutan, dan memberikan pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat yang sama dengan hak stakeholders
yang lainnya.
7)
Peran
pemerintah yang paling sentral untuk mendukung lajunya gerakan forest for People tersebut dengan cara
“membuka peluang bagi tumbuh kembangnya seluruh tatanan nilai masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam hutan baik dilakukan oleh masyarakat sendiri atau
melalui bantuan fasilitas dan mediasi LSM dan perguruan tinggi.[5]
c)
CBNRM
(Community Based Nature Resource
Management)
Demikian juga konsep pengelolaan dan pemanfaatan Sumber daya hutan berbasis
Masyarakat melalui 3 tahap Pendekatan CBNRM (Community Based Nature Resource Management)
1. Perencanaan
Pengetahuan,
cara pemanfaatan, dan kebutuhan stakeholder
terhadap kawasan konservasi harus didengar dan dipertimbangkan dalam
penyusunan semua rencana pengelolaan, baik untuk kepentingan eksplorasi,
ekslpoitasi, maupun konservasi. Masyarakat lokal juga harus didorong sehingga
menjadi mampu mengidentifikasi kebutuhan mereka, sumber daya alam yang
tersedia, dan siapa saja yang bisa dilibatkan dalam pelaksanaan CBRNM
2. Pelaksanaan
Ketika program dilakukan, stakeholder juga harus
dilibatkan dan megambil peran, misalnya pada program training, monitoring,
pendidikan konservasi, penanaman kembali hutan bakau, atau program pengembangan
usaha.
3. Monitoring
Monitoring bertujuan untuk melihat sejauh mana
kemajuan sebuah program atau kegiatan pengelolaan yang telah dan sedang
berjalan. Stakeholder, terutama
masyarakat, berhak mengetahui dan menilai setiap perkembangan tersebut.
Sasaran dari program CBRNM adalah pertama, terbukanya akses bagi
masyarakat (lokal) dan stakeholder
lain terhadap informasi dan pengelolaan. Kedua,
Memberi peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup lewat
pemanfaatan sumber daya hayati yang tersedia sehingga mendorong mereka untuk
terus mempertahankan keberadaannya. Ketiga,
Penguatan posisi mayarakat dan stakeholder
lain dalam proses-proses pembuatan kebijakan pemerintah yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam.
Dengan demikian prinsip pemberdayaan masyarakat
(CBRNM) harus berupaya mengembangkan kemampuan mayarakat lokal untuk
menafaatkan sekaligus mengontrol keanekaragaman hayati didalam maupun diluar
kawasan sesuai dengan kebutuhan hidup mereka, dalam prinsip kesetaraan peran,
CBRNM harus mampu memberi peluang yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat
lokal dalam menafaatkan keanekargaman hayati yang tersedia, dalam berorientasi
pada lingkungan, ketergantungan hidup masyarakat lokal terhadap kawasan
konservasi dan keanekaragaman hayati justru
harus mampu mendorong upaya-upaya pelestariannya, pada prinsip untuk
menghargai dan menerima pengetahuan lokal/tradisional, mengenali
kearifan-kearifan lokal dan kelembagaan adat yang bermanfaat dalam membentuk
sistem pengelolaan kawasan yang sesuai dengan kondisi kultural masyarakat
setempat.[6]
d).
Ekoturisme (eco-turism)
Mengembangkan konsep ekoturisme dalam suatu kawasan
konservasi selain untuk menjaga kelestarian suatu kawasan adanya aktivitas dan
kunjungan turis ke kawasan konservasi tersebut berpengaruh positif bagi
pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.[7]
Mereka diberi pengetahuan agar dapat menjadi pemandu wisatawan asing dan
domestik, supir, dan karyawan diberbagai agen perjalanan pariwisata. Dengan
pekerjaan itupun mereka mendapatkan penghasilan tambahan (income generating).[8]
Karena untuk menciptakan masyarakat yang makmur, bahagia dan sejahtera maka
diperlukan produktivitas yang tinggi dan Menurut Peter F Drucker, maka
sumbernya yang primer adalah pengetahuan.[9]
Dengan melului pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat disekitar kawasan konservasi,
maka akan mengalihkan kebiasaan masyarakat sekitar dari merusak menjadi
melindungi.
Dengan demikian Menurut Clarke (1999) dalam jatna
Supriatna (2008 : 316) perlu adanya gagasan untuk membangun hubungan antara
masyarakat sekitar dengan kawasan konservasi melalui 7 pendekatan Management Plan:
1.
Public
Relations. Memberikan pengertian kepada masyarakat
mengenai arti dan nilai dari keanekaragaman hayati khususnya resiko dan
keuntungan kalau mereka mengeksploitasinya. Memberikan pengertian seperti ini
tidaklah gampang karena sebagian masyarakat sangat menggantungkan hidupnya dari
kawasan tersebut.
2.
Consultation.
Diskusi
dengan masyarakat sekitar untuk mengetahui permasalahan dan bagaimana cara
bersama mengatasinya dengan cara win-win solution
antara kepentingan kawasan konservasi dan ekonomi masyarakat
3.
Derving
benefits. Dicarikan jalan dimana masyarakat sekitar mungkin
dapat keuntungan dari sekitar atau buffer
zone kawasan konservasi, seperti keuntungan dari; ekowisata atau sebagai
pekerja didalam atau diluar kawasan
4.
Revenue
sharing. Dibuatkan suatu mekanisme dimana hasil keuntungan
dari pembangunan kawasan di kawasan buffer
zone dibagi keuntungannya dengan masyarakat sekitar.
5.
Resource
harvesting. Masyarakat sekitar diizinkan memanen
spesies tertentu yang tidak dilindungi di dalam kawasan. Tentu hal ini harus
sangat berhati-hati karena akan mempengaruhi ekosistem, kecuali kita mampu
merencanakannya dengan baik, monitor dan control yang ketat dan dalam kerangka pengelolaan pembangunan
berkelanjutan.
6.
Participation
in manajement. Representatif dari masyarakat sekitar
duduk dalam management board, tetapi
keputusannya tidak bersifat teknis melainkan lebih kepada perencanaan umum.
7. Transfer of management.
Pengelolaan kawasan konservasi diberikan kepada masyarakat sekitar.
C.
Potret Collaborative Governance dalam
Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten Bima NTB dan Kabupaten Banyuwangi Jawa
Timur
1.
Collaborative Governance dalam Konservasi
Hutan Mangrove di Kabupaten Bima NTB
Kabupaten Bima terdiri dari 155 pulau kecil, 74
diantaranya sudah memiliki nama, sedangkan tiga diantaranya memiliki populasi
penduduk yang padat. Dengan total
luasan hutan mangrove di Kabupaten Bima yang menyusut hingga 621,2 hektar pada
Tahun 2011, dan kemudian menyusut lagi sampai 550,8 (ha) luasan hutan mangrove
pada tahun 2013, yang tersebar di seluruh wilayah pesisir Kabupaten Bima, yang
diantaranya masih dalam kondisi baik dengan luas kawasan sebanyak 158,79 (ha),
kemudian dalam kondisi sedang dengan luas kawasan 125,07 (ha) sedangkan dalam
kondisi rusak dengan luas kawasan 266,95 (ha)[10]
Juga pada tahun 2006 berdasarkan Data Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi
Dodokan Moyosari NTB dalam Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS)
Dodokan Moyosari bahwa jumlah luasan hutan mangrove sekitar 861,68 hektar,
dengan tingkat rusak sedang pada saat itu sebanyak 307,85 hektar, dan sangat
rusak mencapai 451,14 hektar[11]
Walaupun itu tak seberapa jika dibandingkan
dengan total luas wilayah Kabupaten Bima yang mencapai 4.389,400 kilometer per
segi.[12]
Namun perlu diketahui bencana geologis dan klimatologis seperti
banjir rob maupun bencana lain yang lebih besar semakin nyata didepan mata.
Walaupun hingga saat ini belum menimbulkan korban jiwa tapi sudah menimbulkan
kerugian materiil yang cukup banyak. Misalnya kerugian materiil akibat bencana
gelombang pasang yang terjadi di pesisir utara Bima mencapai Rp 2,47 Milliar.[13]
Juga dibeberapa tahun terakhir ini masyarakat pesisir seperti di
Kecamatan Woha, Palibelo, Sape dan Bolo semakin getol meminta perhatian
pemerintah menyikapi banjir rob yang terjadi. Misalnya juga saat bulan tertentu
luapan air laut (banjir) rob[14]
kadang menggenangi landasan pacu Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima.
Masalah itu terjadi karena abrasi pantai yang terus meningkat setiap tahunnya.
Garis pantai yang semakin mendekati daratan sehingga kecenderungan penurunan
luas daratan. Abrasi pantai terjadi hampir disepanjang pesisir jalan menuju
Kota-Bima, dan bagian utara kecamatan Ambalawi dan Wera, Sape dan Langgudu,
sebagian kecil kecamatan parado bagian selatan (Lakip BLH, 2014: 13).
Permasalahan lainnya berdasarkan hasil survei beberapa pihak di
Desa Sangiang Kecamatan Wera Kabupaten Bima yang diperkuat Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP). Masyarakat di desa itu menghadapi kesulitan mendapatkan air
tawar karena bercampur dengan air laut. Kondisi itu memaksa masyarakat di desa
itu harus berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor menempuh jarak
sampai satu kilometer lebih untuk mengambil air tawar di sekitar bukit. Intrusi
air asin ke dalam akuifer daratan di wilayah pesisir desa itu disebabkan karena
tidak ada tanaman penyangga. Karena selain menahan banjir rob, mangrove juga
berfungsi menjaga kesimbangan hidrostatik air bawah tanah tawar dan air asin
dari laut.
Sehingga muncul inisiatif Pemerintah Daerah melalui Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten Bima sebagai leading
sector dalam konservasi hutan mangrove di Kabupaten Bima dengan melaksanakan
program rehabilitasi hutan mangrove sebagai
langkah rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumberdaya alam. Melalui
pelaksanaan program penanaman
kembali hutan mangrove di beberapa wilayah pesisir seperti Sape,
Palibelo, Bolo, Langgudu dan Soromandi, yang berdasarkan Anggaran Dana Alokasi Umum
(DAU) sebanyak 12 ribu bibit pohon yang ditanam Dengan luas 4 hektar (ha) dan
berdasarkan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) sebanyak Rp. 700 juta rupiah
untuk pelaksanaan konservasi mangrove di kecamatan Sape Desa pesisir Kowo dan
Buncu sebanyak 15 ribu bibit pohon mangrove jenis Rhizophora dengan luas kawasan yang dimanfaatkan sebanyak 6 hektar
dengan pelibatan masyarakat setempat, demikian juga di Kecamatan
langgudu seluas 30 hektar dan soromandi 10 hektar (Lakip BLH, 2014: 28 ).
Dalam upaya proteksi Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Bima juga masih mengandalkan Kelompok binaan yang telah mengikuti
pelatihan rehabilitasi hutan mangrove dan juga memberdayakan Kelompok
Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) yang sebelumnya sudah di bentuk oleh Dinas
Kelautan Perikanan lengkap dengan transportasi guna melaksanakan pengawasan
terhadap hutan mangrove, dan kegiatan pengawasan tersebut baru terlaksana di
wilayah bagian teluk kecamatan Sape dan Lambu (Lihat Lakip DKP, 2013: 43).
Namun juga tidak
lupa bahwa salah satu kunci sukses konservasi mangrove, adalah keterlibatan
sektor Swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).[15]
Swasta selain dinilai sebagai salah satu poin penting untuk menjaga
keberlangsungan wilayah mangrove, swasta juga mampu menjalankan prinsip-prinsip
bisnis yang berkelanjutan, sedangkan Organisasi nonpemerintah (LSM) peduli
lingkungan, pada dasarnya mempunyai kekuatan yang disiapkan think-tank artinya selain punya kemampuan sebagai Lobbyist yang mampu meyakinkan untuk
merumuskan kebijakan bagi pemerintah yang berpihak pada lingkungan dan upaya
pelestrian alam juga sebagai wadah bagi masyarakat yang didalamnya termasuk
hal-hal yang berkaitan dengan power
Sharing, Input Sharing dan Output sharing didalam pengelolaan sumberdaya
hutan mangrove yang berkelanjutan.[16]
Hubungan
Pemerintah dengan kedua elemen tersebut harus dibentuk menjadi sebuah kemitraan
dalam konservasi mangrove. Kemitraan yang dimaksud selain memberikan platform
kolaborasi bagi lembaga/sektor tersebut
untuk menghadapi masalah dan tantangan yang mengancam ekosistem pesisir dan
kehidupan masyarakat, juga mampu mempromosikan investasi untuk konservasi
ekosistem pesisir dalam hal ini hutan mangrove dan juga dapat mengembangankan
suatu kawasan konservasi selain dengan tidak hanya menjalankan konsep
pelestarian kawasan dengan pembangunan masyarakat lokal juga akhirnya mampu
menambah penerimaan pendapatan bagi Pemerintah Daerah (PAD) Kabupaten Bima.
Selain itu kehadiran kedua Elemen tersebut dapat
menjadi mitra dalam kegiatan konservasi terutama
dalam hal kegiatan monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi ini kadang
masih dipandang sebelah mata, padahal bagian ini sangatlah penting untuk
menunjang keberhasilan dan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dari
program konservasi yang sedang dan telah dilaksanakan. Hal ini dilakukan bukan
untuk mencari kesalahan melainkan untuk pembelajaran program dan pendampingan
untuk Pemerintah Daerah.
Sehingga Pemerintahan Daerah Kabupaten Bima
melaksanakan kemitraan dengan LSM Akar Nusa yang merupakan satu-satunya LSM
peduli lingkungan di Kabupaten Bima. Namun demikian karena LSM atau Lembaga
Swadaya Masyarakat adalah kebanyakan merupakan organisasi non-nirlaba termasuk
LSM Akar Nusa tersebut maka tantangan LSM selama ini karena tidak banyak LSM
yang benar-benar professional, karena dalam artian keanggotaanya biasanya paruh
waktu.[17]
2.
Collaborative Governance dalam Konservasi
Hutan Mangrove di Kabupaten Banyuwangi
Fenomena kerusakan lingkungan pesisir
di muncar Banyuwangi jawa timur, dimana hasil tangkapan ikan merosot drastis
dari 80.000 ton menjadi sekitar 20.000 ton. Fenomena tersebut di sinyalir
terjadi karena akibat kerusakan ekosistem pantai, antaralain karena kerusakan
mangrove. Berdasarkan data dinas kelautan dan perikanan banyuwangi, Luasan
hutan Bakau (Mangrove) di pesisir selat bali kini hanya tersisa 3.000 hektar,
atau 60 persen dari jumlah jumlah hutan mangrove yang sebelumnya tercatat pada
tahun 2000. Perluasan tambak menjadi
penyebab utama berkurangnya hutan bakau. Juga kebiasaan masyarakat yang menganggap bahwa hutan mangrove sebagai lahan
kosong (lahan tidak bermanfaat) sehingga seringkali dengan sengaja dialih
fungsikan menjadi peruntukan lain yang dianggap lebih menguntungkan, misalnya
untuk perkembangan kota, daerah pertanian, atau untuk aquakultur. Dan
akhirnya masyarakat pesisir mengaku sudah merasakan dampak dari kerusakan hutan
Bakau (Mangrove). Kini setelah mangrove berkurang masyarakat kecamatan muncar
merasa tangkapan ikan, kepiting, dan kerang berkurang drastis di wilayahnya.[18]
Selain itu dengan dibukanya tambang
galian C di banyak wilayah pesisir kabupaten Banyuwangi. Sehingga menurut Ketua
serikat nelayan Banyuwangi Daniel Sahabuddin dalam kegiatan temu nelayan dari
13 provinsi di Jakarta pada tanggal 15-17 januari 2013, Sekitar 60 juta rakyat
indonesia yang menggantungkan hidup langsung dan tak langsung dari sekor
kelautan dan perikanan. Akan tetapi kehidupan nelayan mulai terpuruk akibat
kebijakan pemerintah yang memberikan izin-izin tambang galian C di sepanjang
tebing/perbukitan di teluk banyuwangi, aktivitas pertambangan semakin masif,
Oli mesin dan lumpur terus mengotori perairan tangkap, air laut keruh dan terumbu karang sebagai indikator
kesehatan perairan mati tertutup lumpur juga yang lebih mengenaskan lagi
kebijakan negara yang mengkonversi hutan bakau (Mangrove) dan reklamasi kawasan
pesisir yang kesemuanya dapat merusak ekosistem laut.[19]
Sehingga muncul inisiatif
pemerintah melakukan pengelolaan hutan mangrove yang dikembangkan sebagai
wisata alam terbatas di desa Sumberasri Kecamatan Purwoharjo Kabupaten
Banyuwangi, dengan melakukan kerja sama antara Balai Taman Nasional Alas Purwo
dan Pemerintah Desa dalam pengembangan wisata alam terbatas ada proses-proses pengelolaan,
mulai dari perencanaan, strategi, serta program-program pengelolaan. Dari
relasi kedua pihak dalam pengelolaan hutan mangrove memunculkan perjanjian
pengelolaan kawasan Taman Nasional Alas Purwo, serta lembaga Badan Pengelola
Ekowisata Mangrove Bedul. Balai Taman Nasional Alas Purwo bekerja sama dengan
Pemerintah Desa mengembangkan potensi sumber daya hutan mangrove sebagai wisata
alam terbatas (Ekowisata Mangrove Blok Bedul) adanya aturan-aturan konservasi
kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Para pelaku/pengelola individu maupun
kelompok masyarakat sebagai pelaku tindakan sosial melakukan pengelolaan.
Didalam sebuah praktik sosial pengelolaan hutan mangrove di desa Sumberasri
merupakan upaya mengembalikan, melindungi hutan dan semua biota yang ada, serta
sebagai upaya pemberdayaan masyarakat kawasan Taman Nasional Alas Purwo ( Endrik
Finta Sanjaya, 2013: 5).
Relasi yang dibangun Balai Taman
Nasional Alas Purwo bekerja sama dengan Pemerintah Desa dalam pengelolaan hutan
mangrove sebagai wisata alam terbatas cukup kuat dan memadai (asosiatif). Hal
ini ditunjukkan Balai Taman Nasional Alas Purwo dan Pemerintah Desa dalam kerja
sama melakukan pengelolaan kawasan Taman Nasional Alas Purwo dengan
mengidentifikasi ekologi dan sosial ekonomi secara bersama-sama, serta strategi
dan pelaksanaan rencana perlindungan dan rehabilitasi hutan mangrove secara
bersama-sama untuk menyelamatkan lingkungan ( Endrik Finta Sanjaya, 2013: 7).
D.
Keseimpulan
Salah satu kunci sukses
konservasi mangrove adalah adanya kemitraan yang dibangun untuk memberikan
platform kolaborasi bagi lembaga/sektor dalam hal ini pemerintah dengan LSM,
Pemerintah dengan masyarakat lokal selain untuk menghadapi masalah dan
tantangan yang mengancam ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat, juga mampu
mempromosikan investasi untuk konservasi ekosistem pesisir dalam hal ini hutan
mangrove dan juga dapat mengembangankan suatu kawasan konservasi selain dengan
tidak hanya menjalankan konsep pelestarian kawasan dengan pembangunan
masyarakat lokal juga akhirnya mampu menambah penerimaan pendapatan bagi
Pemerintah Daerah (PAD) Kabupaten Bima melalui pengembangan hutan mangrove
berbasis pariwisata seperti di Kabupaten Banyuwangi.
Daftar Pustaka
Sumber
Buku:
Dietz,
Ton. 2005. Pengakuan Hak atas sumber Daya
Alam Kontur Georgrafi Lingkungan Politik. Yogyakarta. Pustaka Belajar.
Cetakan Kedua.
Djamal,
Zoer’aini, I. 2010. Prinsip-prinsip
Ekologi, Ekosistem Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta. Bumi Aksara.
Cetakan Keenam.
Dwi
S, Rachmad K.. 2012. Sosiologi lingkungan
dan sumber daya Alam. AR-RUZZ
Media. Jogjakarta. Cetakan ke I.
Hidayat,
Herman, dkk. 2011. Politik Ekologi “
Pengelolaan Taman Nasioanal Era Otda”. Jakarta. LIPI Press, Anggota Ikapi,
Bekerjasama Dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Harahab,
Nuddin. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem
Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah pesisir.
Yogyakarta. Graha Ilmu. Cetakan Pertama.
Iskandar,
Zulrizka. 2012. Psikologi Lingkungan
“Teori dan Konsep”. Bandung, Refika Aditama. Cetakan Pertama,
Jung,
Yung D. et.al. Collaboarative Governance
in the United States and Korea. SNUpress. Seoul Korea.
Keeley,
Martin 2007. Hutan mangrove yang
menakjubkan “buku panduan pendidikan Lingkungan hidup Berbasis Kurikulum”.
MAP-Indonesia dan PSAP- UGM. Jogyakarta. Cetakan Pertama.
Klaus,
Vaclav. 2012. Kebebasan Politik dan
perubahan iklim. Jakarta. atas kerjasama Freedom Institute dan Friedrich
Naumann Foundation. Cetakan pertama.
Purba,
Jonny. 2002. Pengelolaan Lingkungan
Sosial. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Soerjani,
Mohamad. 2007. Kebijakan Lingkungan dalam
Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestri “Alternatif Penatagunaan Lahan Dalam
Pembangunan”. Institut pendidikan dan pengembangan Lingkungan
(IPPL). Jakarta.
Soerjani,
mohamad et. Al. 2008. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan
Kependudukan Dalam Pembangunan.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Supriatna,
Jatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Sumber
Kompas:
Kompas
Edisi, Rabu, 23 Januari 2013 Sadar Bencana Belum di Adopsi dalam Rencana Pembangunan
“Identifikasi Risiko di Derah“ Kolom
Lingkungan dan Kesehatan.
Kompas,
Edisi Sabtu 19 Januari, 2013. Kolom Kesehatan
dan Lingkungan ”Masyarakat Pesisir” Nelayan Desak Keberpihakkan Pemerintah”
Kompas,
Edisi, jum’at 18 Januari 2013. Kolom Lingkungan dan kesehatan “Protokol
Nagoya”, Inventarisasi Sumber daya Genetik Lamban.
Kompas,
Edisi, Sabtu 23 Desember 2012. “Nelayan
Muncar terjerat Konsumerisme”. Kolom Nusantara.
Sumber Lainnya:
Bimakab.BPS.go.id
Dwi S, Bowo, 2009. Good Forest Governance: Sebuah Keniscayaan Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Lestari. Jurnal Ilmu Kehutanan. UGM, Yogyakarta. Vol.III, No1 Januari.
Haryono, Nanang. 20102. Jejaring Untuk Membangun
Kolaborasi Sektor Publik. Universitas Airlangga. Surabaya. Jejaring
Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012.
M.Kasnir et al, 2009. Analisis Kesesuaian Dan Daya Dukung Penatakelolaan Minawisata Bahari Di
Kepulauan Spermonde Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Forum Pascasarjana
Vol. 32 No. 4 Oktober 2009: 285-293
Riny Novianty, dkk.(2011). Identifikasi kerusakan dan upaya rehabilitasi ekosistem mangrove di
pantai utara Kabupaten Subang. Jurnal Akuatika, 2(2).
Sanjaya,
e. F. (2014). Relasi antara balai taman nasional alas purwo dan pemerintah desa
dalam pengelolaan hutan mangrove.
Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Dodokan Moyosari merupakan Unit
Pelaksana Teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Departemen Kehutanan. Wilayah kerja BPDAS
Dodokan Moyosari meliputi Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Gelombang
Pasang tejang Desa Sangiang-Wera, 33 Rumah alami kerusakan. http://bimakab.go.id/article-gelombang-pasang-terjang-desa-sangiang-wera-33-rumah-alami-kerusakan.html Di akses pada 17
Desember 2015.
Dept. Kehutanan http://www.dephut.go.id di akses 17 Desember
2015.
Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Bima Tahun 2013
Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Bima Tahun 2014
Posted by Dr.
Henry Bastaman, MES, Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan dan
Peningkatan Kapasitas KLH, http://www.menlh.go.id/peningkatan-kapasitas-kelembagaan-lingkungan-hidup-daerah-dan-piagam-bumi/
di akses pada Hari Kamis 25 Oktober 2015
[1] Lihat
Vaclav Klaus. 2012. Kebebasan Politik dan
perubahan iklim. Jakarta. atas kerjasama Freedom Institute dan Friedrich
Naumann Foundation. Hal: 23. Peringatan
Vaclav Klaus bahwa keadaan lingkungan kita semakin parah, sumber daya alam kita
menyusut, dan sumber daya alam itu akan
habis, atau akan habis dalam waktu dekat, dan tidak ada, atau mungkin tidak
akan ada lagi penggantinya. Namun kapanpun saat itu tiba, kehabisan itu hanya
akan menjadi catatan kaki sejarah. Seperti sumber daya alam yang telah banyak
hilang sebelumnya.
[2] Salah satu
aspek pemanfaatan yang direkomendasikan untuk kawasan hutan pada umumnya
ialah kegiatan ekowisata yang merupakan
salah satu atraksi yang dapat melibatkan masyarakat banyak dan memberikan
kontribusi peningkatan ekonomi pemerintah daerah dan masyarakat lokal Herman
Hidayat, Dkk (2011: 187).
[3]Dalam Aspek studi ini, pada dasarnya juga bermaksud melakukan pengkajian secara
Holistik, baik dari aspek lingkungan, sosial, budaya, maupun ekonomi
dimaksudkan untuk menjaga kawasan hutan dari kerusakan dan dapat diminimalisasi
sehingga pada saat yang sama masyarakat lokal, pemerintah daerah, pemerintah
pusat, dan bahkan masyarakat Internasional dapat menikmati manfaat hutan secara
optimal, tidak saja pada generasi sekarang tetapi juga untuk generasi mendatang.
Opcit., hal: 215
[4] Jatna Supriatna. 2008.
Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. hal: 85-86.
[5]
Model pengelolaan Hutan dengan Konsep Forest for people ini bukan berarti membagi-bagikan hutan kepada
semua masyarakat (seperti halnya
penebangan liar yang pernah terjadi sekitar tahun 1998 yang seolah-olah
legal), model pengelolaan hutan dengan
konsep ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak tanggal 2-3 juni 1999 berdasarkan
hasil lokakarya yang dilkaukan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Nuddin
Harahab. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya
dalam perencanaan Wilayah Pesisir. Graha
Ilmu. Yogyakarta. hal: 45, 46, 47 dan 48
[6] Dalam pendekatan ini Selanjutnya, peran
masyarakat juga akan ditentukan oleh tiga hal. Pertama, sejauh mana pengetahuan lokal dapat dihargai dan
dimanfaatkan dalam membentuk sebuah system pengelolaan kawasan konservasi yang
baik. Kedua, seberapa besar kepedulian
warga komunitas lokal terhadap alamnya sehingga mampu mendorong kearah
upaya-upaya untuk menjaga dan megelola keanekaragaman hayati didalam maupun
diluar kawasan. Ketiga, seberapa
banyak manfaat (materil dan nonmaterial) yang bisa diterima
masyarakat dari kawasan konservasi sehingga keberadaannya memiliki nilai yang
menguntungkan secara terus menerus. Walaupun agak sulit untuk mencari contoh
keberhasilan dari program-program yang menggunakan pendekatan CBNRM, namun
secara konseptual CBRNM bisa menjadi rujukan dalam membangun model pengelolaan
kawasana konservasi yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat tanpa
mengabaikan kelestarian keanekaragaman hayatinya. Lihat Jatna Supriatna. 2008.
Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. hal: 367- 368.
[7] Ekowisata
bukanlah hanya sebagai satu corak kegiatan pariwisata khusus, melainkan suatu
konsep pariwisata, yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti
kaidah-kaidah keseimbangan dan kelesatarian. Pengembangan ekowisata harus dapat
meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia, meningkatkan kualitas hidup
masyarakat setempat, dan menjaga kualitas lingkungan Ekowisata Pemanfaatan yang
berkelanjutan, salah satunya dengan pendekatan ekoturisme. Ekoturisme dapat
dilakukan di kawasan dan bahkan di koridor yang dibuat. Karena ekoturisme
sangat menunjang dalam pendapatan negara umumnya dan kuhusnya daerah yang
mempunyai kawasan konservasi tersebut. (Jatna Supriatna 2008: 387).
[8] Herman
Hidayat, dkk .2011. Politik Ekologi “Pengelolaan Taman Nasional Era Otda.
Atas Kerjasama LIPI Dengan Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. Jakarta . hlm: 83
[9]
Anwar Abbas. 2008. Bung Hatta dan Ekonomi Islam “Pergulatan Menagkap
Makna Keadilan dan Kesejahteraan. Multi preesindo. Jakarta., hal: 338
[10] Lihat Data Potensi Ekosistem,
Energi Dan Sumber daya Mineral Laut, Pesisir dan Pulau-pulau kecil kabupaten Bima 2013, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Bima.
[11]
Dengan karakteristik hidup dilingkungan dengan substrat tumbuh
dilingkungan pasir dan berlumpur dengan kondisi abrasi mencapai 1,00 m/tahun.
“Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Dodokan Moyosari merupakan Unit
Pelaksana Teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Departemen Kehutanan. Wilayah kerja BPDAS
Dodokan Moyosari meliputi Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Di
Akses pada tanggal 17 Desember 2015
[12]
Dengan jumlah penduduk Kabupaten Bima sebanyak 443.663 jiwa yang
terdiri dari 220.981 jiwa (49,81 persen) laki-laki dan 222.682 jiwa (50,19
persen) perempuan dengan kepadatan penduduk sebanyak 101 jiwa/km² data sensus penduduk
2011 http://www.bimakab.go.id/pages-Sumber-Daya-Alam.html di akses pada tgl 17 Desember 2015
[13] Nilai ini baru total kerugian kerusakan rumah
penduduk dan infrastruktur jalan yang terdata di Kecamatan Wera dan Ambalawi
saja. Setelah bencana gelombang pasang yang menghantam pesisir utara kecamatan Wera dan Ambalawi tanggal 8 januari 2013
Pukul 17.00 Wita lalu, berdasarkan hasil sementara pendataan Tim BPBD di
lokasi, "sebanyak total 33 rumah mengalami kerusakan, 27 rumah
diantaranya mengalami kerusakan sedang dan 6 rumah mengalami kerusakan
berat". Kerugian Akibat Gelombang Pasang Wera Capai Rp 2,47 Miliar http://kahaba.net/berita-bima/8263/kerugian-akibat-gelombang-pasang-wera-capai-rp-247-miliar.html. Lihat Juga Gelombang Pasang tejang Desa Sangiang-Wera, 33 Rumah
alami kerusakan. http://bimakab.go.id/article-gelombang-pasang-terjang-desa-sangiang-wera-33-rumah-alami-kerusakan.html Di akses pada 17 Desember
2015
[14]
Banjir rob adalah luapan air laut ketika terjadi pasang pada air laut
akibat kecenderungan penurunan luas daratan dan akibat abrasi pantai.
[15]Mangrove For The Future: Aktivitas Manusia Berkontribusi Atas Kerentanan PesisirHttp://Www.Mongabay.Co.Id/Tag/ Mangrove For The Future: Aktivitas Manusia Berkontribusi Atas Kerentanan Pesisir / Di Akses Tanggal 17 Desember 2015.
[16] Lihat Nuddin Harahab. 2012, Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove
dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta
hlm, 215
Praktik kemitraan biasa dilakukan antara
perusahaan dan masyarakat lewat program Community
Development atau CSR (Corprate Sosial
Responsibility), atau antara pemerintah dan masyarakat atau popular dengan
istilah private-public partnership. Lihat
juga Rachmad K. Dwi Susilo.2012.
Sosiologi Lingkungan dan Sumber daya Alam “Perspektif teori dan isu-isu Mutakhir”. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta.
Cetakan Pertama Hal: 240
[17] Lihat juga
Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta. Hal: 446).
[18]Kompas Edisi Sabtu 23 Desember
2012. “Nelayan Muncar terjerat Konsumerisme”. Kolom Nusantara hal: 24.
[19] lihat di Kompas, Edisi Sabtu 19
Januari, 2013. Kolom Kesehatan dan Lingkungan ”Masyarakat Pesisir” Nelayan
Desak Keberpihakkan Pemerintah hal; 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar