Minggu, 13 November 2016

COLLABORATIVE GOVERNANCE


  
STUDI KOMPARASI TENTANG COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM KONSERVASI HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BIMA NTB DAN KABUPATEN BANYUWANGI JAWA TIMUR


A.    Latar Belakang
Pada dasarnya pertambahan penduduk di Indonesia membawa dampak yang beragam. Jumlah penduduk yang meningkat akan memunculkan berbagai kebutuhan manusia. Kebutuhan untuk lahan sebagai tempat pemukiman, maka banyak lahan yang peruntukannya seharusnya tidak untuk pemukiman digunakan sebagai tempat pemukiman. Dengan kebutuhan lahan yang besar, maka terjadi pembukaan lahan secara besar-besaran.[1] Akibatnya penebangan pohon dan kayu di hutan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman (Zulrizka Iskandar. 2012.  hal; 170).
Begitulah kondisi yang terjadi dihampir 58% atau sebanyak 1,8 juta hektar hutan mangrove dari jumlah luasan hutan mangrove di Indonesia saat ini (Greenpeace.org 2013). Permasalahan utama mengenai hutan mangrove adalah terjadinya degradasi baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga dapat mengganggu fungsi ekonomis dan ekologisnya (Saenger et al, 1981) dalam Zoer’aini Djamal Irwan (2010: 137-138). Berdasarkan data Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL) tahun 2009 (Lihat di Kementerian Lingkungan Hidup, 2014), bahwa total luasan mangrove di Indonesia menyusut hingga tinggal sekitar 3.244.018,460 hektar dan dimana sebelumnya, berdasarkan data Martin Keeley (2007: 1) terdapat 9 juta hektar luas kawasan hutan mangrove di Indonesia atau 24.000 km² atau sekitar 1,3 % dari luas Wilayah Indonesia (Jatna Supriatna (2008:20).
Penyusutan jumlah luasan hutan mangrove di Indonesia tersebut karena fenomena konversi hutan mangrove yang dijadikan sebagai kawasan pengembangan perumahan dan pemukiman, jalan raya, serta kegiatan-kegiatan komersial seperti penggalian pasir, pertambakan untuk budidaya perairan, produksi garam, pertanian (Nuddin Harahab, 2010; 67), dan industri pertambangan (lihat di Kompas, Edisi Sabtu 19 Januari, 2013, hal; 13). Selain itu meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu juga menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove (Nuddin harahab, 2010:128). Kegiatan terakhir ini memberi kontribusi terbesar dalam pengrusakan hutan mangrove (Herman Hidayat Dkk, (2011: 187).
Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsi hutan mangrove menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya (Ahmad Dwi Setyawan, dkk. 2011: 137). Banyak penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya lahan pesisir khususnya hutan mangrove sangat kurang dan sebagian besar justru berperilaku merusak (Zulrizka Iskandar hal: 178). Apalagi seiring dengan perkembangan unsur kapitalisme dalam persoalan lingkungan dan sumber daya alam (Mansour Fakih dalam Ton Dietz, 2005). Juga saat bersamaan pendidikan kebencanaan terutama kapasitas antisipasi dan penanganannya juga rendah (Chatarina Muryani, dkk, 2011).
Seperti yang terjadi di Kabupaten Bima, bahwa akibat kerusakan hutan mangrove mengakibatkan terjadinya banjir rob dan bencana gelombang pasang yang menyebabkan kerugian yang mencapai Rp2,47 Miliar (Lihat bimakab.go.id), dan juga abrasi pantai pada beberapa lokasi disepanjang jalan yang ada di daerah tersebut yang sudah mendekati pemukiman penduduk, kawasan, wisata pesisir dan fasilitas umum (jalan raya). Kondisi tersebut akan menyebabkan relokasi yang membutuhkan biaya yang besar (LAKIP BLH,  2013: 23). Juga Fenomena kerusakan hutan mangrove di muncar Banyuwangi jawa timur, mengakibatkan hasil tangkapan ikan merosot drastis dari 80.000 ton menjadi sekitar 20.000 ton (Lihat Kompas Edisi Sabtu 23 Desember 2012. hal: 24).
Masalah tersebut bermunculan juga tidak terlepas dari sistem perencanaan nasional yang masih berbasis target bukan berbasis masalah, identifikasi akar masalahnya tak tersentuh. Padahal seharusnya antisipasi mensyaratkan pemetaan kerawanan dan kerentanan bencana serta resikonya. Juga daya dukung peraturan daerah kabupaten/kota yang ada di Indonesia tidak memadai misalnya secara umum di Jawa saja, ada 278 peraturan daerah mengatur eksploitasi sumber daya alam tanpa mengatur pemulihannya (Kompas, Edisi,  jum’at 18 Januari 2013, hal; 13).


B.     Konservasi Hutan Mangrove dalam Pendekatan Collaborative Governance
a.      Konsep Collaborative Governance
Dalam buku Collaborative Governance in the United States and Korea karya Yong Duck Jung, Daniel A. Mazmanian dan Shui Yan Tang tahun terbit 2009 ini merupakan buku panduan penulis dalam mengkaji masalah Collaborative Governance dalam konservasi hutan mangrove di Kabupaten Bima dan Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur.
Konsep governance pada dasarnya bisa dilacak dalam bahasa latin klasik dan yunani yaitu mengarahkan (steer) atau mengendalikan (control) sebuah perahu. Konsep tersebut pada dasarnya bermakna tindakan atau cara pandang dalam mengatur, membimbing dan mengarahkan. Jadi governance merupakan sebuah cara atau model dalam menjalankan pemerintah, sedangkan government adalah institusi dan lembaga-lembaga yang berwenang untuk menjalankan pemerintahan tersebut (Jessop, 1998 dalam Bowo Dwi S, 2009: 3 ).
Penatakelolaan atau governance menurut Kooiman et al. (2005) dalam Muhammad Kasnir, 2009 :286) adalah  keseluruhan interaksi antara sektor publik dan privat  yang  ikut terlibat untuk memecahkan persoalan masyarakat dan menciptakan kesempatan sosial. Suatu penatakelolaan harus didasarkan atas tiga pilar, yakni koordinasi, kolaborasi, dan konsultasi, untuk merancang keterpaduan dalam pengelolaan sumber daya sebagai dasar dari perencanaan dan pengambilan keputusan (Thia-Eng, 2006).
Sedangkan Kolaborasi adalah bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari sebuah kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat (CIFOR/PILI, 2005). Konsep kolaborasi didefinisikan juga digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu.
Sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) dalam Nanang Haryono, (2012: 49) menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan. Pada artikel ini kolaborasi dimaknai sebagai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, dan tanggung jawab dimana pihak-pihak yang berkolaborasi memiliki tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat.
Sehingga tata kelola pemerintahan kolaboratif telah didefinisikan sebagai proses pembentukan, fasilitasi, operasi, pemantauan, dan pengaturan organisasi lintas sektoral untuk mengatasi masalah kebijakan publik yang tidak dapat dengan mudah ditangani oleh satu organisasi atau sektor publik secara sendiri (Ansell dan Gash 2008 dalam Yung Duck Jung et.al,. 2009: 1 ).
Inisiatif dalam membentuk pemerintahan kolaboratif ini sebenarnya sebagai upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengatasi berbagai tantangan yang berkembang dalam kehidupan bernegara. Kolaborasi pemerintahan ini sebagai bentuk inovasi dan akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat yang selama ini cenderung menganggap bahwa pemerintah boros dan gagal untuk mewakili kepentingan masyarakat (Hetherington 2006).
Dalam kolaborasi ini ada proses penyerahan otoritas pemerintah yang sedang bekerjasama, maksudnya ada batas pembagian kekuasaan, yang mengalir dari pengambilan keputusan bersama, berbagi sumber daya, dan tanggung jawab bersama untuk melihat bahwa semua peserta dalam hal ini aktor-aktor yang terlibat dalam proses puas pada hasilnya (Bogason dan Musso, 2005).

b.   Pendekatan Collaborative Governance dalam Konservasi Hutan Mangrove
Menurut Grumbine (1994) dalam Jatna Supriatna (2008; 236) menjelaskan bahwa dalam rencana aksi pelestarian atau konservasi keanekaragaman hayati termasuk ekosistem hutan mangrove, melalui tiga prinsip konservasi yang telah dicanangkan dunia yaitu dengan pendekatan: Save, Study, dan Use. Pendekatan ini lebih bersifat holistic, yaitu pendekatan menyeluruh yang diharapkan dapat melindungi spesies dengan tidak meninggalkan aspek manfaat. Dimana prinsip perlindungan (save) dapat dijabarkan sebagai usaha pengelolaan, legislasi, perjanjian internasional, dan sebagainya. Dalam prinsip pemanfaatan (use),[2] sering direncanakan untuk program-program manfaat bagi masyarakat, berbagai komoditi perdagangan, turisme dan jasa pariwisata. Sedangkan prinsip study atau penelitian dapat meliputi penelitian dasar seperti, penelitian keragaman spesies, habitat, komunitas, ekosistem dan juga perilaku serta ekologi dari spesies.[3]
Maka adapun beberapa pendekatan Collaborative governance dalam mengkaji konservasi hutan, khususnya konservasi hutan mangrove di Kabupaten Bima dan Kabupaten Banyuwangi antaralain:

a)      Model Konsesi
      Secara konseptual, konsep konsensi konservasi merupakan hal baru dalam konteks upaya pelestarian Alam. Negara yang pertama kali mengadopsi gagasan ini adalah Peru, yang mengkonsesikan hutan Los Amigos di lembah Amazon seluas 136.000 hektare pada tahun 2001 lalu. Konsep konsesi ini dirumuskan secara bersama dan multipihak, dengan melibatkan masyarakat dan calon pemegang konsesi (Non Governmental Organization - NGO atau LSM ) yang harus bisa menjamin bahwa konsesi tersebut akan memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat setempat. Dengan cara konsesi konservasi ini hutan tetap dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan akan tetapi, dengan cara-cara yang tetap menjamin kelestariannya.
Kawasan yang dikonsesikan tetap merupakan aset daerah dan dimiliki oleh masyarakat, karena lahan itu tidak akan mungkin dibawa pergi pemegang konsesi (NGO).  Karena konsesi konservasi bukan berarti ahli konservasi (pemegang konsesi) menjadi pihak yang menang dan langsung bisa pulang. Tidak demikian, mereka punya kewajiban untuk membantu masyarakat disekitar kawasan agar mampu mendapatkan keuntungan secara langsung. Memang, tidak dengan cara yang instan, melainkan melaui serangkaian langkah yang dilakukan secara simultan seperti riset, pembinaan masyarakat, serta mencarikan alternatif pendapatan ekonomi bagi masyarakat  untuk mengganti kebiasaan mereka dari berladang berpindah menjadi petani yang menetap. Atau, bisa juga dengan menjadikan masyarakat sekitar sebagai penjaga dan pemelihara hutan, untuk menggantikan usaha lamanya sebagai penebang ataupun pemburu.[4]

b)     forest for people”
Di Indonesia sendiri ada konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yaitu “forest for people” melalui beberapa pendekatan antaralain :
1)      Pengelolaan sumberdaya hutan harus menyesuaikan dengan watak sumberdayanya dan tidak dalam satu model hutan (model forest) secara nasional. Oleh karena itu, prinsip dan watak pengelolaan sumberdaya hutan untuk kehutanan Indonesia hendaknya memiliki tujuan kearah perencanaan, pemanfaatan, pembinaan, dan perlindungan sumberdaya hutan, yang disesuaikan dengan keadaan fisik dan lingkungan setempat, berdasarkan kepada prinsip sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan.
2)      Tujuan pengelolaan sumberdaya hutan adalah untuk memaksimalkan seluruh fungsi dan manfaat hutan. Jika fungsi-fungsi hutan dapat dimaksimalkan, maka diharapkan hutan dapat lestari dan rakyat akan dapat merasakan manfaatnya. Tujuan ini hanya akan tercapai jika terjadi persamaan persepsi akan pentingnya perubahan dasar-dasar pengelolaan sumberdaya hutan, dari tindakan-tindakan ekstraktif, menuju sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis pada strategi kehutanan sosial yang berintikan pada prinsip dan watak pengelolaan ekosistem hutan (Forest Ecosystem Mangement) .
3)      Menggunakan pendekatan sistem berbasis ekosistem. Dimana pendekatan ini yang paling mengena untuk pengelolaan kehutanan Indonesia. Para pakar di perguruan tinggi, praktisi, LSM, dan pemerintah bersama menyamakan persepsi tentang posisi rakyat dalam pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem. Di dalamnya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan power Sharing, Input Sharing dan Output sharing didalam pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan.
4)      Pengembangan ekonomi dan bisnis dalam pengelolaan sumberdaya hutan tidak terbatas pada pemahaman tentang ekonomi produksi saja, tetapi ekonomi yang berdasarkan kepada aspek-aspek perlindungan dan pemanfaatan semua fungsi-fungsi hutan.
5)      Forest for People harus diartikan sebagai stategi pengelolaan hutan yang berorientasi kepada peningkatan harga diri “rakyat terpinggirkan”, memberdayakan intuisi masyarakat dan pemerintah, menciptakan proses pembelajaran kepada semua stakeholders pengelolaan hutan, penghormatan perlindungan dan penguatan terhadap hak-hak rakyat  pada sumberdaya alam hutan.
6)      Pengelolaan sumber daya perlu membuka dan mengakui secara transparan eksistensi “rakyat”, memberi peluang akan hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pembinaan, dan perlindungan hutan. Pengelolaan hutan harus dimulai dari penyamaan pemahaman bahwa salah satu tugas pemerintah adalah melibatkan secara aktif masyarakat yang ada disekitaran hutan, dan memberikan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat yang sama dengan hak stakeholders yang lainnya.
7)      Peran pemerintah yang paling sentral untuk mendukung lajunya gerakan forest for People tersebut dengan cara “membuka peluang bagi tumbuh kembangnya seluruh tatanan nilai masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan baik dilakukan oleh masyarakat sendiri atau melalui bantuan fasilitas dan mediasi LSM dan perguruan tinggi.[5]

c)      CBNRM (Community Based Nature Resource Management)
Demikian juga konsep pengelolaan dan pemanfaatan Sumber daya hutan berbasis Masyarakat melalui 3 tahap Pendekatan CBNRM (Community Based Nature Resource Management)
1.   Perencanaan
Pengetahuan, cara pemanfaatan, dan kebutuhan stakeholder terhadap kawasan konservasi harus didengar dan dipertimbangkan dalam penyusunan semua rencana pengelolaan, baik untuk kepentingan eksplorasi, ekslpoitasi, maupun konservasi. Masyarakat lokal juga harus didorong sehingga menjadi mampu mengidentifikasi kebutuhan mereka, sumber daya alam yang tersedia, dan siapa saja yang bisa dilibatkan dalam pelaksanaan CBRNM
2.      Pelaksanaan
Ketika program dilakukan, stakeholder juga harus dilibatkan dan megambil peran, misalnya pada program training, monitoring, pendidikan konservasi, penanaman kembali hutan bakau, atau program pengembangan usaha.
3.      Monitoring
Monitoring bertujuan untuk melihat sejauh mana kemajuan sebuah program atau kegiatan pengelolaan yang telah dan sedang berjalan. Stakeholder, terutama masyarakat, berhak mengetahui dan menilai setiap perkembangan tersebut.
Sasaran dari program CBRNM adalah pertama, terbukanya akses bagi masyarakat (lokal) dan stakeholder lain terhadap informasi dan pengelolaan. Kedua, Memberi peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup lewat pemanfaatan sumber daya hayati yang tersedia sehingga mendorong mereka untuk terus mempertahankan keberadaannya. Ketiga, Penguatan posisi mayarakat dan stakeholder lain dalam proses-proses pembuatan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.
Dengan demikian prinsip pemberdayaan masyarakat (CBRNM) harus berupaya mengembangkan kemampuan mayarakat lokal untuk menafaatkan sekaligus mengontrol keanekaragaman hayati didalam maupun diluar kawasan sesuai dengan kebutuhan hidup mereka, dalam prinsip kesetaraan peran, CBRNM harus mampu memberi peluang yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat lokal dalam menafaatkan keanekargaman hayati yang tersedia, dalam berorientasi pada lingkungan, ketergantungan hidup masyarakat lokal terhadap kawasan konservasi dan keanekaragaman hayati justru  harus mampu mendorong upaya-upaya pelestariannya, pada prinsip untuk menghargai dan menerima pengetahuan lokal/tradisional, mengenali kearifan-kearifan lokal dan kelembagaan adat yang bermanfaat dalam membentuk sistem pengelolaan kawasan yang sesuai dengan kondisi kultural masyarakat setempat.[6]
d). Ekoturisme (eco-turism)
Mengembangkan konsep ekoturisme dalam suatu kawasan konservasi selain untuk menjaga kelestarian suatu kawasan adanya aktivitas dan kunjungan turis ke kawasan konservasi tersebut berpengaruh positif bagi pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.[7] Mereka diberi pengetahuan agar dapat menjadi pemandu wisatawan asing dan domestik, supir, dan karyawan diberbagai agen perjalanan pariwisata. Dengan pekerjaan itupun mereka mendapatkan penghasilan tambahan (income generating).[8] Karena untuk menciptakan masyarakat yang makmur, bahagia dan sejahtera maka diperlukan produktivitas yang tinggi dan Menurut Peter F Drucker, maka sumbernya yang primer adalah pengetahuan.[9] Dengan melului pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat disekitar kawasan konservasi, maka akan mengalihkan kebiasaan masyarakat sekitar dari merusak menjadi melindungi.
Dengan demikian Menurut Clarke (1999) dalam jatna Supriatna (2008 : 316) perlu adanya gagasan untuk membangun hubungan antara masyarakat sekitar dengan kawasan konservasi melalui 7 pendekatan Management Plan:
1.      Public Relations. Memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai arti dan nilai dari keanekaragaman hayati khususnya resiko dan keuntungan kalau mereka mengeksploitasinya. Memberikan pengertian seperti ini tidaklah gampang karena sebagian masyarakat sangat menggantungkan hidupnya dari kawasan tersebut.
2.      Consultation. Diskusi dengan masyarakat sekitar untuk mengetahui permasalahan dan bagaimana cara bersama mengatasinya dengan cara win-win solution antara kepentingan kawasan konservasi dan ekonomi masyarakat
3.      Derving benefits. Dicarikan jalan dimana masyarakat sekitar mungkin dapat keuntungan dari sekitar atau buffer zone kawasan konservasi, seperti keuntungan dari; ekowisata atau sebagai pekerja didalam atau diluar kawasan
4.      Revenue sharing. Dibuatkan suatu mekanisme dimana hasil keuntungan dari pembangunan kawasan di kawasan buffer zone dibagi keuntungannya dengan masyarakat sekitar.
5.      Resource harvesting. Masyarakat sekitar diizinkan memanen spesies tertentu yang tidak dilindungi di dalam kawasan. Tentu hal ini harus sangat berhati-hati karena akan mempengaruhi ekosistem, kecuali kita mampu merencanakannya dengan baik, monitor dan control yang ketat  dan dalam kerangka pengelolaan pembangunan berkelanjutan.
6.      Participation in manajement. Representatif dari masyarakat sekitar duduk dalam management board, tetapi keputusannya tidak bersifat teknis melainkan lebih kepada perencanaan umum.
7.      Transfer of management. Pengelolaan kawasan konservasi diberikan kepada masyarakat sekitar.

C.    Potret Collaborative Governance dalam Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten Bima NTB dan Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur

1.   Collaborative Governance dalam Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten Bima NTB
Kabupaten Bima terdiri dari 155 pulau kecil, 74 diantaranya sudah memiliki nama, sedangkan tiga diantaranya memiliki populasi penduduk yang padat.  Dengan total luasan hutan mangrove di Kabupaten Bima yang menyusut hingga 621,2 hektar pada Tahun 2011, dan kemudian menyusut lagi sampai 550,8 (ha) luasan hutan mangrove pada tahun 2013, yang tersebar di seluruh wilayah pesisir Kabupaten Bima, yang diantaranya masih dalam kondisi baik dengan luas kawasan sebanyak 158,79 (ha), kemudian dalam kondisi sedang dengan luas kawasan 125,07 (ha) sedangkan dalam kondisi rusak dengan luas kawasan 266,95 (ha)[10] Juga pada tahun 2006 berdasarkan Data Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Dodokan Moyosari NTB dalam Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Dodokan Moyosari bahwa jumlah luasan hutan mangrove sekitar 861,68 hektar, dengan tingkat rusak sedang pada saat itu sebanyak 307,85 hektar, dan sangat rusak mencapai 451,14 hektar[11] Walaupun itu tak seberapa jika dibandingkan dengan total luas wilayah Kabupaten Bima yang mencapai 4.389,400 kilometer per segi.[12]
Namun perlu diketahui bencana geologis dan klimatologis seperti banjir rob maupun bencana lain yang lebih besar semakin nyata didepan mata. Walaupun hingga saat ini belum menimbulkan korban jiwa tapi sudah menimbulkan kerugian materiil yang cukup banyak. Misalnya kerugian materiil akibat bencana gelombang pasang yang terjadi di pesisir utara Bima mencapai Rp 2,47 Milliar.[13]
Juga dibeberapa tahun terakhir ini masyarakat pesisir seperti di Kecamatan Woha, Palibelo, Sape dan Bolo semakin getol meminta perhatian pemerintah menyikapi banjir rob yang terjadi. Misalnya juga saat bulan tertentu luapan air laut (banjir) rob[14] kadang menggenangi landasan pacu Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima. Masalah itu terjadi karena abrasi pantai yang terus meningkat setiap tahunnya. Garis pantai yang semakin mendekati daratan sehingga kecenderungan penurunan luas daratan. Abrasi pantai terjadi hampir disepanjang pesisir jalan menuju Kota-Bima, dan bagian utara kecamatan Ambalawi dan Wera, Sape dan Langgudu, sebagian kecil kecamatan parado bagian selatan (Lakip BLH, 2014: 13). 
Permasalahan lainnya berdasarkan hasil survei beberapa pihak di Desa Sangiang Kecamatan Wera Kabupaten Bima yang diperkuat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Masyarakat di desa itu menghadapi kesulitan mendapatkan air tawar karena bercampur dengan air laut. Kondisi itu memaksa masyarakat di desa itu  harus berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor menempuh jarak sampai satu kilometer lebih untuk mengambil air tawar di sekitar bukit. Intrusi air asin ke dalam akuifer daratan di wilayah pesisir desa itu disebabkan karena tidak ada tanaman penyangga. Karena selain menahan banjir rob, mangrove juga berfungsi menjaga kesimbangan hidrostatik air bawah tanah tawar dan air asin dari laut.
Sehingga muncul inisiatif Pemerintah Daerah melalui Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bima sebagai leading sector dalam konservasi hutan mangrove di Kabupaten Bima dengan melaksanakan program rehabilitasi hutan mangrove sebagai langkah rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumberdaya alam. Melalui pelaksanaan program penanaman kembali hutan mangrove di beberapa wilayah pesisir seperti Sape, Palibelo, Bolo, Langgudu dan Soromandi, yang berdasarkan Anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) sebanyak 12 ribu bibit pohon yang ditanam Dengan luas 4 hektar (ha) dan berdasarkan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) sebanyak Rp. 700 juta rupiah untuk pelaksanaan konservasi mangrove di kecamatan Sape Desa pesisir Kowo dan Buncu sebanyak 15 ribu bibit pohon mangrove jenis Rhizophora dengan luas kawasan yang dimanfaatkan sebanyak 6 hektar dengan pelibatan masyarakat setempat, demikian juga di Kecamatan langgudu seluas 30 hektar dan soromandi 10 hektar (Lakip BLH, 2014: 28 ).
Dalam upaya proteksi Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bima juga masih mengandalkan Kelompok binaan yang telah mengikuti pelatihan rehabilitasi hutan mangrove dan juga memberdayakan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) yang sebelumnya sudah di bentuk oleh Dinas Kelautan Perikanan lengkap dengan transportasi guna melaksanakan pengawasan terhadap hutan mangrove, dan kegiatan pengawasan tersebut baru terlaksana di wilayah bagian teluk kecamatan Sape dan Lambu (Lihat Lakip DKP, 2013: 43).
Namun juga tidak lupa bahwa salah satu kunci sukses konservasi mangrove, adalah keterlibatan sektor Swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).[15] Swasta selain dinilai sebagai salah satu poin penting untuk menjaga keberlangsungan wilayah mangrove, swasta juga mampu menjalankan prinsip-prinsip bisnis yang berkelanjutan, sedangkan Organisasi nonpemerintah (LSM) peduli lingkungan, pada dasarnya mempunyai kekuatan yang disiapkan think-tank artinya selain punya kemampuan sebagai Lobbyist yang mampu meyakinkan untuk merumuskan kebijakan bagi pemerintah yang berpihak pada lingkungan dan upaya pelestrian alam juga sebagai wadah bagi masyarakat yang didalamnya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan power Sharing, Input Sharing dan Output sharing didalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove yang berkelanjutan.[16] 
Hubungan Pemerintah dengan kedua elemen tersebut harus dibentuk menjadi sebuah kemitraan dalam konservasi mangrove. Kemitraan yang dimaksud selain memberikan platform kolaborasi bagi  lembaga/sektor tersebut untuk menghadapi masalah dan tantangan yang mengancam ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat, juga mampu mempromosikan investasi untuk konservasi ekosistem pesisir dalam hal ini hutan mangrove dan juga dapat mengembangankan suatu kawasan konservasi selain dengan tidak hanya menjalankan konsep pelestarian kawasan dengan pembangunan masyarakat lokal juga akhirnya mampu menambah penerimaan pendapatan bagi Pemerintah Daerah (PAD) Kabupaten Bima.
Selain itu kehadiran kedua Elemen tersebut dapat menjadi mitra dalam kegiatan konservasi terutama dalam hal kegiatan monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi ini kadang masih dipandang sebelah mata, padahal bagian ini sangatlah penting untuk menunjang keberhasilan dan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dari program konservasi yang sedang dan telah dilaksanakan. Hal ini dilakukan bukan untuk mencari kesalahan melainkan untuk pembelajaran program dan pendampingan untuk Pemerintah Daerah.
Sehingga Pemerintahan Daerah Kabupaten Bima melaksanakan kemitraan dengan LSM Akar Nusa yang merupakan satu-satunya LSM peduli lingkungan di Kabupaten Bima. Namun demikian karena LSM atau Lembaga Swadaya Masyarakat adalah kebanyakan merupakan organisasi non-nirlaba termasuk LSM Akar Nusa tersebut maka tantangan LSM selama ini karena tidak banyak LSM yang benar-benar professional, karena dalam artian keanggotaanya biasanya paruh waktu.[17]

2.   Collaborative Governance dalam Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten Banyuwangi
Fenomena kerusakan lingkungan pesisir di muncar Banyuwangi jawa timur, dimana hasil tangkapan ikan merosot drastis dari 80.000 ton menjadi sekitar 20.000 ton. Fenomena tersebut di sinyalir terjadi karena akibat kerusakan ekosistem pantai, antaralain karena kerusakan mangrove. Berdasarkan data dinas kelautan dan perikanan banyuwangi, Luasan hutan Bakau (Mangrove) di pesisir selat bali kini hanya tersisa 3.000 hektar, atau 60 persen dari jumlah jumlah hutan mangrove yang sebelumnya tercatat pada tahun 2000. Perluasan tambak menjadi  penyebab utama berkurangnya hutan bakau. Juga kebiasaan masyarakat yang menganggap bahwa hutan mangrove sebagai lahan kosong (lahan tidak bermanfaat) sehingga seringkali dengan sengaja dialih fungsikan menjadi peruntukan lain yang dianggap lebih menguntungkan, misalnya untuk perkembangan kota, daerah pertanian, atau untuk aquakultur. Dan akhirnya masyarakat pesisir mengaku sudah merasakan dampak dari kerusakan hutan Bakau (Mangrove). Kini setelah mangrove berkurang masyarakat kecamatan muncar merasa tangkapan ikan, kepiting, dan kerang berkurang drastis di wilayahnya.[18]
Selain itu dengan dibukanya tambang galian C di banyak wilayah pesisir kabupaten Banyuwangi. Sehingga menurut Ketua serikat nelayan Banyuwangi Daniel Sahabuddin dalam kegiatan temu nelayan dari 13 provinsi di Jakarta pada tanggal 15-17 januari 2013, Sekitar 60 juta rakyat indonesia yang menggantungkan hidup langsung dan tak langsung dari sekor kelautan dan perikanan. Akan tetapi kehidupan nelayan mulai terpuruk akibat kebijakan pemerintah yang memberikan izin-izin tambang galian C di sepanjang tebing/perbukitan di teluk banyuwangi, aktivitas pertambangan semakin masif, Oli mesin dan lumpur terus mengotori perairan tangkap, air laut keruh  dan terumbu karang sebagai indikator kesehatan perairan mati tertutup lumpur juga yang lebih mengenaskan lagi kebijakan negara yang mengkonversi hutan bakau (Mangrove) dan reklamasi kawasan pesisir yang kesemuanya dapat merusak ekosistem laut.[19]
Sehingga muncul inisiatif pemerintah melakukan pengelolaan hutan mangrove yang dikembangkan sebagai wisata alam terbatas di desa Sumberasri Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi, dengan melakukan kerja sama antara Balai Taman Nasional Alas Purwo dan Pemerintah Desa dalam pengembangan wisata alam terbatas ada proses-proses pengelolaan, mulai dari perencanaan, strategi, serta program-program pengelolaan. Dari relasi kedua pihak dalam pengelolaan hutan mangrove memunculkan perjanjian pengelolaan kawasan Taman Nasional Alas Purwo, serta lembaga Badan Pengelola Ekowisata Mangrove Bedul. Balai Taman Nasional Alas Purwo bekerja sama dengan Pemerintah Desa mengembangkan potensi sumber daya hutan mangrove sebagai wisata alam terbatas (Ekowisata Mangrove Blok Bedul) adanya aturan-aturan konservasi kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Para pelaku/pengelola individu maupun kelompok masyarakat sebagai pelaku tindakan sosial melakukan pengelolaan. Didalam sebuah praktik sosial pengelolaan hutan mangrove di desa Sumberasri merupakan upaya mengembalikan, melindungi hutan dan semua biota yang ada, serta sebagai upaya pemberdayaan masyarakat kawasan Taman Nasional Alas Purwo ( Endrik Finta Sanjaya, 2013: 5).
Relasi yang dibangun Balai Taman Nasional Alas Purwo bekerja sama dengan Pemerintah Desa dalam pengelolaan hutan mangrove sebagai wisata alam terbatas cukup kuat dan memadai (asosiatif). Hal ini ditunjukkan Balai Taman Nasional Alas Purwo dan Pemerintah Desa dalam kerja sama melakukan pengelolaan kawasan Taman Nasional Alas Purwo dengan mengidentifikasi ekologi dan sosial ekonomi secara bersama-sama, serta strategi dan pelaksanaan rencana perlindungan dan rehabilitasi hutan mangrove secara bersama-sama untuk menyelamatkan lingkungan ( Endrik Finta Sanjaya, 2013: 7).

D.    Keseimpulan
Salah satu kunci sukses konservasi mangrove adalah adanya kemitraan yang dibangun untuk memberikan platform kolaborasi bagi lembaga/sektor dalam hal ini pemerintah dengan LSM, Pemerintah dengan masyarakat lokal selain untuk menghadapi masalah dan tantangan yang mengancam ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat, juga mampu mempromosikan investasi untuk konservasi ekosistem pesisir dalam hal ini hutan mangrove dan juga dapat mengembangankan suatu kawasan konservasi selain dengan tidak hanya menjalankan konsep pelestarian kawasan dengan pembangunan masyarakat lokal juga akhirnya mampu menambah penerimaan pendapatan bagi Pemerintah Daerah (PAD) Kabupaten Bima melalui pengembangan hutan mangrove berbasis pariwisata seperti di Kabupaten Banyuwangi.








                                                   Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Dietz, Ton. 2005. Pengakuan Hak atas sumber Daya Alam Kontur Georgrafi Lingkungan Politik. Yogyakarta. Pustaka Belajar. Cetakan Kedua.
Djamal, Zoer’aini, I. 2010. Prinsip-prinsip Ekologi, Ekosistem Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta. Bumi Aksara. Cetakan Keenam.
Dwi S, Rachmad K.. 2012. Sosiologi  lingkungan  dan sumber daya  Alam. AR-RUZZ Media. Jogjakarta. Cetakan ke I.
Hidayat, Herman, dkk. 2011. Politik Ekologi “ Pengelolaan Taman Nasioanal Era Otda”. Jakarta. LIPI Press, Anggota Ikapi, Bekerjasama Dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Harahab, Nuddin. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah pesisir. Yogyakarta. Graha Ilmu. Cetakan Pertama.
Iskandar, Zulrizka. 2012. Psikologi Lingkungan “Teori dan Konsep”. Bandung, Refika Aditama. Cetakan Pertama,
Jung, Yung D. et.al. Collaboarative Governance in the United States and Korea. SNUpress. Seoul Korea.
Keeley, Martin 2007. Hutan mangrove yang menakjubkan “buku panduan pendidikan Lingkungan hidup Berbasis Kurikulum”. MAP-Indonesia dan PSAP- UGM. Jogyakarta. Cetakan Pertama.
Klaus, Vaclav. 2012. Kebebasan Politik dan perubahan iklim. Jakarta. atas kerjasama Freedom Institute dan Friedrich Naumann Foundation. Cetakan pertama.
Purba, Jonny. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Soerjani, Mohamad. 2007. Kebijakan Lingkungan dalam Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestri “Alternatif Penatagunaan Lahan Dalam Pembangunan”.  Institut  pendidikan dan pengembangan Lingkungan (IPPL). Jakarta.
Soerjani, mohamad et. Al. 2008. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan Kependudukan Dalam  Pembangunan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Supriatna, Jatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Sumber Kompas:
Kompas Edisi, Rabu, 23 Januari 2013  Sadar Bencana Belum di Adopsi dalam Rencana Pembangunan “Identifikasi  Risiko di Derah“ Kolom Lingkungan dan Kesehatan.
Kompas, Edisi Sabtu 19 Januari, 2013. Kolom Kesehatan dan Lingkungan ”Masyarakat Pesisir” Nelayan Desak Keberpihakkan Pemerintah”
Kompas, Edisi,  jum’at 18 Januari 2013. Kolom Lingkungan dan kesehatan “Protokol Nagoya”, Inventarisasi Sumber daya Genetik Lamban.
Kompas, Edisi, Sabtu 23 Desember 2012. “Nelayan Muncar terjerat Konsumerisme”. Kolom Nusantara.
Sumber Lainnya:
Bimakab.BPS.go.id
Dwi S, Bowo, 2009. Good Forest Governance: Sebuah Keniscayaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari. Jurnal Ilmu Kehutanan. UGM, Yogyakarta. Vol.III, No1 Januari.
Haryono, Nanang. 20102. Jejaring Untuk Membangun Kolaborasi Sektor Publik. Universitas Airlangga. Surabaya. Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012.  
M.Kasnir et al, 2009. Analisis Kesesuaian Dan Daya Dukung Penatakelolaan Minawisata Bahari Di Kepulauan Spermonde Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Forum Pascasarjana Vol. 32 No. 4 Oktober 2009: 285-293 
Riny Novianty, dkk.(2011). Identifikasi kerusakan dan upaya rehabilitasi ekosistem mangrove di pantai utara Kabupaten Subang. Jurnal Akuatika, 2(2).
Sanjaya, e. F. (2014). Relasi antara balai taman nasional alas purwo dan pemerintah desa dalam pengelolaan hutan mangrove.
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Dodokan Moyosari merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Departemen Kehutanan. Wilayah kerja BPDAS Dodokan Moyosari meliputi Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Gelombang Pasang tejang Desa Sangiang-Wera, 33 Rumah alami kerusakan. http://bimakab.go.id/article-gelombang-pasang-terjang-desa-sangiang-wera-33-rumah-alami-kerusakan.html Di akses pada 17 Desember 2015.
Karakteristik umum wilayah kabupaten Bima  www.Bimakab.go.id diakses pada 17 Desember 2015.
Dept. Kehutanan http://www.dephut.go.id di akses 17 Desember 2015.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bima Tahun 2013
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bima Tahun 2014
Posted by Dr. Henry Bastaman, MES, Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas KLH, http://www.menlh.go.id/peningkatan-kapasitas-kelembagaan-lingkungan-hidup-daerah-dan-piagam-bumi/ di akses pada Hari Kamis 25 Oktober 2015




[1]  Lihat Vaclav Klaus. 2012. Kebebasan Politik dan perubahan iklim. Jakarta. atas kerjasama Freedom Institute dan Friedrich Naumann Foundation. Hal: 23.  Peringatan Vaclav Klaus bahwa keadaan lingkungan kita semakin parah, sumber daya alam kita menyusut, dan  sumber daya alam itu akan habis, atau akan habis dalam waktu dekat, dan tidak ada, atau mungkin tidak akan ada lagi penggantinya. Namun kapanpun saat itu tiba, kehabisan itu hanya akan menjadi catatan kaki sejarah. Seperti sumber daya alam yang telah banyak hilang sebelumnya.
[2] Salah satu aspek pemanfaatan yang direkomendasikan untuk kawasan hutan pada umumnya ialah  kegiatan ekowisata yang merupakan salah satu atraksi yang dapat melibatkan masyarakat banyak dan memberikan kontribusi peningkatan ekonomi pemerintah daerah dan masyarakat lokal Herman Hidayat, Dkk (2011: 187).
[3]Dalam Aspek studi ini, pada dasarnya juga bermaksud melakukan pengkajian secara Holistik, baik dari aspek lingkungan, sosial, budaya, maupun ekonomi dimaksudkan untuk menjaga kawasan hutan dari kerusakan dan dapat diminimalisasi sehingga pada saat yang sama masyarakat lokal, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan bahkan masyarakat Internasional dapat menikmati manfaat hutan secara optimal, tidak saja pada generasi sekarang tetapi juga untuk generasi mendatang. Opcit.,  hal: 215
[4] Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. hal: 85-86.
[5]  Model pengelolaan Hutan dengan Konsep Forest for people ini bukan berarti membagi-bagikan hutan kepada semua masyarakat  (seperti halnya penebangan liar yang pernah terjadi sekitar tahun 1998 yang seolah-olah legal),  model pengelolaan hutan dengan konsep ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak tanggal 2-3 juni 1999 berdasarkan hasil lokakarya yang dilkaukan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Nuddin Harahab. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam  perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta. hal: 45, 46, 47 dan 48
[6]  Dalam pendekatan ini Selanjutnya, peran masyarakat juga akan ditentukan oleh tiga hal. Pertama, sejauh mana pengetahuan lokal dapat dihargai dan dimanfaatkan dalam membentuk sebuah system pengelolaan kawasan konservasi yang baik. Kedua, seberapa besar kepedulian warga komunitas lokal terhadap alamnya sehingga mampu mendorong kearah upaya-upaya untuk menjaga dan megelola keanekaragaman hayati didalam maupun diluar kawasan. Ketiga, seberapa banyak  manfaat  (materil dan nonmaterial) yang bisa diterima masyarakat dari kawasan konservasi sehingga keberadaannya memiliki nilai yang menguntungkan secara terus menerus. Walaupun agak sulit untuk mencari contoh keberhasilan dari program-program yang menggunakan pendekatan CBNRM, namun secara konseptual CBRNM bisa menjadi rujukan dalam membangun model pengelolaan kawasana konservasi yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan kelestarian keanekaragaman hayatinya. Lihat Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. hal: 367- 368.
[7]   Ekowisata bukanlah hanya sebagai satu corak kegiatan pariwisata khusus, melainkan suatu konsep pariwisata, yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelesatarian. Pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat, dan menjaga kualitas lingkungan Ekowisata Pemanfaatan yang berkelanjutan, salah satunya dengan pendekatan ekoturisme. Ekoturisme dapat dilakukan di kawasan dan bahkan di koridor yang dibuat. Karena ekoturisme sangat menunjang dalam pendapatan negara umumnya dan kuhusnya daerah yang mempunyai kawasan konservasi tersebut. (Jatna Supriatna 2008: 387).
[8]   Herman Hidayat, dkk .2011. Politik Ekologi “Pengelolaan Taman Nasional Era Otda. Atas  Kerjasama LIPI Dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta . hlm: 83
[9]  Anwar Abbas. 2008. Bung Hatta dan Ekonomi Islam “Pergulatan Menagkap Makna Keadilan dan Kesejahteraan. Multi preesindo. Jakarta., hal: 338
[10] Lihat Data Potensi Ekosistem, Energi Dan Sumber daya Mineral Laut, Pesisir dan Pulau-pulau kecil  kabupaten Bima 2013, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bima.
[11]  Dengan karakteristik hidup dilingkungan dengan substrat tumbuh dilingkungan pasir dan berlumpur dengan kondisi abrasi mencapai 1,00 m/tahun. “Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Dodokan Moyosari merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Departemen Kehutanan. Wilayah kerja BPDAS Dodokan Moyosari meliputi Provinsi Nusa Tenggara Barat.      
    Di Akses pada tanggal 17 Desember  2015
[12]  Dengan jumlah penduduk Kabupaten Bima  sebanyak 443.663 jiwa yang terdiri dari 220.981 jiwa (49,81 persen) laki-laki dan 222.682 jiwa (50,19 persen) perempuan dengan kepadatan penduduk sebanyak 101 jiwa/km² data sensus penduduk 2011  http://www.bimakab.go.id/pages-Sumber-Daya-Alam.html di akses pada tgl 17 Desember 2015
[13]  Nilai ini baru total kerugian kerusakan rumah penduduk dan infrastruktur jalan yang terdata di Kecamatan Wera dan Ambalawi saja. Setelah bencana gelombang pasang yang menghantam pesisir utara kecamatan  Wera dan Ambalawi tanggal 8 januari 2013 Pukul 17.00 Wita lalu, berdasarkan hasil sementara pendataan Tim BPBD di lokasi, "sebanyak total 33 rumah mengalami kerusakan,  27 rumah diantaranya mengalami kerusakan sedang dan 6 rumah mengalami kerusakan berat". Kerugian Akibat Gelombang Pasang Wera Capai Rp 2,47 Miliar http://kahaba.net/berita-bima/8263/kerugian-akibat-gelombang-pasang-wera-capai-rp-247-miliar.html. Lihat Juga Gelombang Pasang tejang Desa Sangiang-Wera, 33 Rumah alami kerusakan. http://bimakab.go.id/article-gelombang-pasang-terjang-desa-sangiang-wera-33-rumah-alami-kerusakan.html Di akses pada 17 Desember 2015
[14]  Banjir rob adalah luapan air laut ketika terjadi pasang pada air laut akibat kecenderungan penurunan luas daratan dan akibat abrasi pantai.

[15]Mangrove For The Future: Aktivitas Manusia Berkontribusi Atas Kerentanan PesisirHttp://Www.Mongabay.Co.Id/Tag/ Mangrove For The Future: Aktivitas Manusia Berkontribusi Atas Kerentanan Pesisir / Di Akses Tanggal 17 Desember 2015.

[16] Lihat Nuddin Harahab. 2012, Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta hlm, 215
 Praktik kemitraan biasa dilakukan antara perusahaan dan masyarakat lewat program Community Development atau CSR (Corprate Sosial Responsibility), atau antara pemerintah dan masyarakat atau popular dengan istilah private-public partnership. Lihat juga Rachmad K. Dwi Susilo.2012.  Sosiologi Lingkungan dan Sumber daya Alam “Perspektif teori dan isu-isu Mutakhir”. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta. Cetakan Pertama Hal: 240
[17] Lihat juga Jatna Supriatna. 2008.  Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal: 446).
[18]Kompas Edisi Sabtu 23 Desember 2012. “Nelayan Muncar terjerat Konsumerisme”. Kolom Nusantara hal: 24.
[19] lihat di Kompas, Edisi Sabtu 19 Januari, 2013. Kolom Kesehatan dan Lingkungan ”Masyarakat Pesisir” Nelayan Desak Keberpihakkan Pemerintah hal; 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar