Selasa, 15 November 2016

MAKALAH HAM DAN DEMOKRASI


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang  
            Ketika Demokrasi Barat mulai ditransplantasikan ke dalam negara-negara non Barat dan beberapa negara bekas jajahan yang memiliki sejarah dan budaya yang sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang berbeda.     Begitupun dengan dinamika sejarah sistem Demokrasi di Negara Republik Indonesia, pada dasarnya Indonesia adalah negara demokrasi berdasarkan hukum yang mengutamakan kepentingan umum.  Sesuai dengan bunyi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Kedaulatan atau kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” juga terdapat dua tempat lagi yang bermakna demokrasi. Selain itu, pasal 1 UUD 1945 menyebutkan tentang sistem pemerintahan negara, yang menentukan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Disamping itu, Indonesia mengutamakan kepentingan umum, negara kesejahteraan (welfare state) yang menurut Moh. Hatta disebut sebagai ‘negara pengurus’. Oleh sebab itu, apabila melihat Indonesia dari aspek demokrasi, hukum dan mengutamakan kepentingan umum, maka secara gamblang dapatlah dikatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi berdasarkan hukum yang mengutamakan kepentingan umum maupun kesejahteraan rakyatnya.
            Sejak merdeka sampai sekarang, Indonesia selalu mengatasnamakan sebagai Negara Demokrasi, mulai dari demokrasi parlementer yang coba di tawarkan pada masa Orde Lama oleh Presiden Soekarno yang mengutamakan asas-asas inisiatif pembangunan, kemudian setelah adanya dekrit presiden Soekarno (1959) maka bergantilah status menjadi demokrasi terpimpin yang secara praktis mengimplementasikan bentuk-bentuk keotoriteran dan kini di Era Reformasi kembali ke “Foundamental Norm” yaitu Demokrasi pancasila yang berasaskan kekeluargaan dan musyarawarah (Miriam Budiardjo, 2008; 129).
            Akan tetapi terdapat sesuatu hal yang sering muncul menjadi permasalahan dalam praktek demokrasi, yaitu masalah bagaimana pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat itu diimplementasi dan direalisasi, sehingga efektif dalam praktek dan dalam kenyataan. (Henry B. Mayo dalam Miriam Budiardjo, 2008).
Pada dasarnya demokrasi itu harus memenuhi hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberty, property ) (Kencana Syafiie, 2010; 130). Terlebih (Montesquieu dalam Imam Hidajat, 2009) mengemukakan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui teori ‘separation of powers’ atau ‘trias politica’, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip semua kekuasaan itu tidak boleh dipegang hanya oleh seorang saja. Karena dengan adanya lembaga perwakilan, persoalan­persoalan kompleks yang dihadapi masyarakat akan dapat diselesaikan. Dengan demikian lembaga perwakilan berfungsi untuk menjem­batani dan menyalurkan aspirasi rakyat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
 Oleh karena itu secara umum lembaga perwakilan ini mempunyai fungsi perundang-undangan, fungsi pengawasan dan fungsi sebagai sarana pendidikan politik. Dari pemikiran tentang ‘hak-hak politik rakyat’ dan ‘pemisahan kekuasaan’ inilah terlihat munculnya ide pemerintahan rakyat (democracy).
Akan tetapi konsep memang tidak selalu relevan dengan prakteknya di lapangan, munculnya istilah Demokrasi elitis (Salahudin, 2012), yang  melihat bahwa rakyat hanya sebagai orang yang tidak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik, karena rakyat dianggap tidak mampu dan tidak berwenang untuk menyelesaikan persoalan-­persoalan yang kompleks dalam masalah-­masalah pemerintahan. Selain itu sistem ini mengharapkan  rakyat agar lebih baik apatis dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan-tindakan yang merusak budaya, masyarakat dan kebebasan. Rakyat dianggap sudah cukup berperan dalam kehidupan negara melalui penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan secara periodik dalam negara. Melalui pemilihan umum, rakyat sudah melakukan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Goesniadhie S. Kusnu, 2008 Dalam konteks demokrasi elitis, peran rakyat digantikan oleh sekelompok elit politik dalam melaksanakan pemerintahan. Lembaga perwakilan akan menjalankan tugas dan fungsinya secara bebas tanpa dibayangi oleh kontrol dan protes dari rakyatnya. Dalam arti Ketidakmampuan lembaga legislatif untuk bersikap demokratis untuk melaksanakan apa yang tampak sebagai suatu mandat yang jelas dari rakyat niscaya akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap pranata-pranata demokratis. Parlementerpun mulai di pandang sebagai “tempat Berbicara saja” yang tak efektif, yang tak kompeten dalam melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan kepada mereka ketika mereka dipilih (Friedrich A. Hayek, 2011).
   Bentuk-bentuk kelemahan dan kebobrokan pemerintah lainnya terlihat ketika Banyaknya kebijakan yang gagal karena bertentangan dengan kebutuhan masyarakat. Jawabannya hanya satu, karena sistem belum benar-benar demokratis, tidak memulai merencanakan kebijakan dari bawah (bottom-up), atau dengan kata lain konsep demokrasi itu barulah sebatas wacana saja, atau implementasi kebijakan publik hanyalah dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan (Lihat Nugroho, 2009 dalam Azhari, 2011 ).
            Negara demokrasi secara praktis seharusnya menghormati nilai-nilai HAM, yakni  kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, berorganisasi, kebebasan berbicara, kebebasan memilih wakil, bebas dari rasa takut, kebebasan memeluk agama dan lain-lain. Karena dari semua kebebasan itu bisa mendorong lahirnya kekuatan moral masyarakat, control sosial, moral dan etika politik, transparansi dan budaya malu yang pada gilirannya bisa menumbuhkembangkan sistem manajemen politik dan ekonomi social yang handal, efektif, efisien, produktif, professional dan bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) (Imam Hidajat, 2009; 87).
            Karena yang menjadi inti utama pembahasan dalam sistem demokrasi ialah hak asasi dan kedudukan warga Negara sebagai “ZoonPoliticon” yang secara harfiahnya mempunyai kebutuhan prosperitas dan harus di penuhi. Karena Demokrasi menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat, warga masyarakat yang telah terkonsep sebagai warga negara (Miriam Buadiardjo, 2008).
           




















1.2  Perumusan Masalah
                 Berdasarkan Latar belakang diatas, adapun masalah yang muncul ialah sebagai berikut:
1.      Bagaimana seharusnya peran dan kedudukan masyarakat sipil dalam persperktif demokrasi di Indonesia?

1.3    Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dan kegunaan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Negara dan Masyarakat Sipil, untuk menjelaskan Peran dan Kedudukan Masyarakat sipil dalam Proses Demokrasi agar dapat diketahui, di pahami, dan diaplikasikan oleh pembaca, khususnya oleh mahasiswa.

















BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Demokrasi dan Warga Negara
2.1.2 Definisi Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari dua asal kata, yang mengacu pada sistem pemerintahan zaman Yunani-Kuno yang disebut ‘demokratia’, yaitu ‘demos’ dan ‘kratos atau kratein’. Menurut artinya secara harfiah yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos atau cratein yang berarti memerintah, pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Demokrasi menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (Imam Hidajat, 2009). Dengan demikian dilihat dari arti kata asalnya, demokrasi mengandung arti pemerintahan oleh rakyat. Sekalipun sejelas itu arti istilah demokrasi menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktek demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda.
Demokrasi adalah kemufakatan  yang di peroleh dari musyawarah yang di ikuti oleh para wakil (rakyat). Melalui  mekanisme inilah keberdayaan dan kedaulatan rakyat itu benar-benar di wujudkan, untuk dapat melahirkan  kemufakatan yang benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat, di tuntut adanya kesetiaan dan kejujuran para wakil dalam mengemban amanat rakyat yang di wakilkan (Soenarto, 2003).
            Sedangkan Menurut J. Kristiadi (1994) dalam Imam Hidajat, (2008) menyatakan bahwa demokrasi adalah proses untuk memberikan masalah system dan struktur politik, nilai-nilainya dan semua itu berorientasi peningkatan harkat dan martabat manusia. Demokrasi bukanlah sesuatu hal yang final melainkan fenomena yang selalu berproses (in the process of becoming).
            Menurut Friedrich A. Hayek, (2011) Demokrasi adalah  proses untuk merencanakan sesuatu yang bermuara pada keputusan dan kesepakatan bersama yang dideskripsikan dalam suatu “kesejahteraan umum”. Dalam suatu negara demokratis, kekuasaan absolut dapat di berikan sepenuh-penuhnya kepada negara, tetapi tetap dalam koridor demokrasi tanpa melepaskan kontrol demokratik.
Menurut Unesco, (1949) dalam Miriam Budiardjo, (2008)  demokrasi sebagai nama yang paling baik dan paling wajar untuk semua system organisasi politik dan social yang di perjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh. Demokrasi ini kemudian dibangun dan dikembangkan sebagai suatu rangkaian institusi dan praktek berpolitik yang telah sejak lama dilaksanakan untuk merespon perkembangan budaya, dan berbagai tantangan sosial dan lingkungan di masing-masing negara. Mohtar Mas’oed (2001) menjelaskan demokrasi sebagai sistem politik ideal dan ideologi yang berasal dari Barat. Demokrasi menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, warga masyarakat yang telah terkonsep sebagai warga negara.
(Henry B. Mayo, dalam Kusnu Goesniadhie S, 2008) Demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

2.2 Warga Negara
            Warga negara ialah individu/kelompok-kelompok yang berdasarkan hukum, yang merupakan anggota negara dan tak terpisahkan dengan negara tersebut. Warga negara adalah orang-orang yang mengakui pemerintahan negara sebagai pemerintahannya. Bukan warga negara (orang asing) adalah orang-orang yang tidak mengakui pemerintahan negara sebagai pemerintahannya.
            Warga (Masyarakat) adalah Sekelompok manusia, yang tinggal menetap dalam suatu wilayah atau Negara tertentu yang secara sah dan berinteraksi menurut kesamaan pola tertentu, diikat oleh suatu harapan dan kepentingan yang sama, yang keberadaanya langsung secara kontinyu, degan satu rasa identitas bersama. Dalam Bahasa Inggris, Warga (masyarakat) di sebut Society, yang berasal dari kata Latin, socius, yang berarti: teman atau kawan. Kata “Warga” berasal dari bahasa Arab, syirk, yang artinya bergaul. Baik kata socius, maupun kata syirk sama-sama menunjuk pada apa yang kita maksud dengan kata warga (Masyarakat), yakni sekelompok orang yang saling mempengaruhi satu sama lain, dalam suatu proses pergaulan, yang berlangsung secara kesinambungan. Pergaulan ini terjadi karena adanya nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur serta harapan dan keinginan, yang merupakan kebutuhan bersama (Antonius Atoskhi, 2002).
            Tidak semua kelompok orang dapat di sebut sebagai warga (Masyarakat), kecuali hal-hal berikut terdapat didalamnya:
1)        Setiap Anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan bagian dari  kelompok yang bersangkutan.
2)        Ada hubungan timbal-balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya.
3)        Ada suatu factor yang dimiliki bersama, seperti: nasib yang sama, tujuan dancita-cita yang sama, kepentingan yang sama, dan sebagainya.
4)        Memiliki struktur, nilai dan norma serta pola perilaku yang memiliki kesamaan.
5)        Memiliki system social, seperti system kekerabatan, rukun tetangga, rukun warga serta nama-nama lain yang kurang lebih sama degan itu.
6)        Mengalami suatu proses perubahan yang akan mempengaruhi anggota, secara langsung atau tidak langsung (Yohannes Babari, 2002).
            Secara jelas hal-hal mengenai kewarganegaraan diatur dalam UUD 1945 (amandemen):
pasal 26 UUD 1945 (definisi warga negara ) dinyatakan sebagai berikut:
a)                  Penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang-orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
b)                 Syarat-syarat menjadi kewarganegaraan negara ditetapkan dengan undang-undang.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Peran Dan Kedudukan Warga Negara dalam Proses Demokrasi
            Seperti yang telah di sampaikan di muka bahwa kunci-kunci demokratisasi ada dalam diri masyarakat dan pemerintahan, dan kunci ini paling banyak berada di tangan civil society. Kalau civil society lemah maka demokratisasi akan menjadi amat lemah pula, demikian sebaliknya (Imam Hidajat, 2009; 88).
            Menjelang akhir masa presiden soeharto ada seruan kuat dari kalangan masyarakat, terutama civil society, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan hak politik, dan agar stabilitas, yang memang di perlukan untuk pembangunan yang berkesinambungan, agar tidak menghambat proses demokratisasi (Soenarto, 2003).
               Pada hakikatnya teori-teori kotrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan  absolut  dan menetapkan hak-hak politik rakyat (Democracy) serta Dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain kebebasan mengutarakan pendapat merupakan bagian dari pemenuhan unsur kebutuhan dan kedudukan warga negara dalam proses demokrasi.
 (Miriam Budiardjo, 2008).  
Dalam rangka pengembangan demokrasi ada beberapa peran penting yang harus di lakukan oleh masyarakat dan pemerintah. Yang pertama, masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum karena menurut Arief Budiman dalam Imam Hidajat, 2008: 83) Bahwa system politik yang demokratis yang sejati, syarat minimalnya adalah adanya kekuasaan politik masyarakat yang seimbang, di samping adanya faktor keseimbangan lainnya, seperti ideologi, ekonomi, social dan system budaya., Kedua di terapkannya multi partai  karena sejatinya peran partai politik adalah membangun demokrasi, menghidupakan semangat politik rakyat, memperjuangkan aspirasi  masyarakat, dan melawan penguasa (Pemerintah) yang tidak berpihak kepada rakyat, Ketiga di terapkannya otonomi daerah (desentralisasi luas), Ke empat  Kemudian pada konteks Ekonomi misalnya sedikit banyak telah berhasil di tingkatkan melalui serentetan  Rencana lima tahun, karena demi terciptanya nilai-nilai demokratisasi sehingga masyarakat di ikut sertakan dalam proses perencanaan anggaran participatory budgeting dalam penyusunan anggaran APBD (di daerah),  ke lima dalam proses kebijakan pemerintah, harus  menjadikan demokrasi sebagai pilar  utama dalam penyelenggaraan pemerintah. Pola yang di kehendaki adalah botto- up, yaitu pola partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagai subyek utama dalam pembangunan. Keenam  Pemerintah di tuntut untuk menjalankan fungsi dan tugasnya dengan nenerapkan prinsip  good governance, yaitu responsive, transparansif, akuntabilitas, persamaan, keadilan dan penegakkan hukum. Konsep penyelenggaran yang demokratis seperti yang di jelaskan di atas di yakini mampu mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat, masyarakat menjadi mandiri, masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan  arah pembangunan yang di inginkan, masyarakat dapat mengontrol proses pembanguan dengan bebas dan bertanggung jawab (Salahudin, 2012).
Menyambung dari Pernyataan Ir. Soekarno “Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan Negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong royong, dan keadilan social, enyahkanlah tiap-tiap pikiran individualism dan liberalism daripadanya”. Di lain pihak Drs. Moh. Hatta mengatakan “walaupun yang di bentuk adalah Negara kekeluargaan, namun perlu di tetapkan beberapa hak warga Negara agar jangan timbul Negara kekuasaan (Machtsstaat)”. Atas pernyataan Bung Hatta tersebut maka di buatlah pasal-pasal dalam UUD 1945 mengenai hak Asasi warga Negara, walaupun dalam jumlah terbatas tapi sudah menyerap aspirasi, terutama pasal 27-31 mencakup hak dan kedudukan warga Negara, baik dibidang Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya (Miriam Budiardjo, 2008).
            (Menurut Salahudin, 2012 ) Berbicara hak asasi, sesungguhnya  konsep demokrasi pada dasarnya mengutamakan nilai dasar atas persamaan dan pemerataan dalam hal ini, masyarakat demokratis mengharapkan kesempatan yang sama dalam setiap individu, termasuk kesempatan yang sama dalam mendapatkn pekerjaan.
Salah satu masalah demokrasi selama ini ialah tidak adanya persamaan persepsi antara penguasa dan masyarakat mengenai konsep “ kepentingan umum” dan keamanan nasional”. Tidak jelas kapan kepentingan individu itu berakhir kapan kepentingan umum itu di mulai (Miriam Budirdjo, 2008). Oleh karena itu (Friedrich A. Hayek, 2011)  menyatakan Masyarakat yang demokratis mampu berfikir dan berperan dalam skala nilai-nilai yang mencakup semua hal, tidak hanya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan individunya sendiri saja akan tetapi semua kebutuhan yang merangkum kebutuhan sesamanya yang dekat atau sesamanya yang lebih jauh.
Menurut Gramsci, 2013) Negara selama ini selalu “memenangkan” posisi  diatas sipil karena karena negara menggunakan seni politik yang sama dengan seni militer; perang pergerakan semakin meningkat menjadi perang posisi, dan dapat di katakan bahwa suatu negara  akan memenangkan pertempuran sejauh ia mempersiapkannya dengan seksama dan mendetail secara teknis pada masa damai inilah konsep yang sering di sebut sebagai formula “Hegemoni Sipil”.  
            Oleh karena itu juga agar kedudukan dan peran masyarakat terlihat sesuai dengan hak-haknya sebagai warga negara yang demokratis maka Oleh Stahl dalam Miriam Budiardjo, 2008 di sebut dalam empat unsur yang harus di penuhi oleh negara, yaitu:
a.       Hak-hak Manusia
b.      Kemudian pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
c.       Pelaksanaan dalam pemerintahan harus berdasarkan peratuaran- perturan (wetmatigheid van bestuur)
d.      Menciptakan peradilan administrasi dalam perselisihan

           



BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
            “Peran dan kedudukan Warga Negara dalam proses Demokrasi” mengingatkan kita pada apa yang menjadi hak dan kewajiban kita atas Negara. Ketika Hak sudah kita peroleh maka sebaliknya Kewajibanlah yang kita sumbangsihkan. Dan sebaliknya ketika kewajiban sudah kita tunaikan maka hakikatnya haklah yang wajib kita dapatkan. Begitulah partispasi dan sumbangsih kita terhadap nilai-nilai demokratis, selalu mengutamakan kejujuran, musyawarah dan mufakat untuk mencari solusi yang lebih soluktif.
Sesuai dengan Firman Allah dalam (Surah An-nur: ayat 55)
“Dan allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersatukan sesuatu apapun dengan aku..”  
4.2 Saran
                 Saran penulis adalah sebagai warga Negara yang sadar akan kedudukannya Dalam Suatu negara Demokrasi, maka kita harus berpartisipasi, baik menekan, mengkritisi dalam setiap pembuatan keputusan atau kebijakan karena hal tersebut menyangkut kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara.           








DAFTAR PUSTAKA
Salahudin. 2012. Korupsi Demokrasi dan Pembangunan Daerah. Lembaga Anti Korupsi Pro Otonomi Daerah Bima, Dompu, Sumbawa (LAPINDA BIDOS) NTB Bekerjasama dengan Buku Litera. Yogyakarta.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Syafieie, Kencana I. 2010. Pengantar Ilmu Pemerintahan. PT Rafika Aditama. Bandung
Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks “ Catatan-catatan dari Penjara”. Pustaka Belajar. Yogyakarta Bekerjasama Dengan International Publisher, New York.
Atosokhi, Antonius Gea. 2002. Character Building II Relasi Dengan Sesama.Gramedia. Jakarta.
H.M Seonarto, 2003. Euphoria, reformasi atau REVOLUSI “Pergulatan Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa. Pustaka Belajar. Yogyakarta.
Hidajat, Imam. 2009. Teori-teori Politik. Setara Press. Malang.
A Hayek, Friederich.2011. Ancaman Kolektivitas. Di terbitkan atas kerjasama Routledge Classic, London dengan Freedom Institute. Jakarta
Samudra, Azhari. 2011.  Pertimbangan Kearifan local dalam perspektif Administrasi dan Finance.
Goesniadhie S. Kusnu. 2008. Demokrasi dalam Konsep Praktek _ Kgsc’s Blog.html DI AKSES pada tgl 20 sepetember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar