BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ketika Demokrasi Barat mulai
ditransplantasikan ke dalam negara-negara non Barat dan beberapa negara bekas
jajahan yang memiliki sejarah dan budaya yang sangat berbeda, demokrasi
tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami
berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang
berbeda. Begitupun dengan dinamika
sejarah sistem Demokrasi di Negara Republik Indonesia, pada dasarnya Indonesia
adalah negara demokrasi berdasarkan hukum yang mengutamakan kepentingan
umum. Sesuai dengan bunyi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Kedaulatan
atau kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”
juga terdapat dua tempat lagi yang bermakna demokrasi. Selain itu, pasal 1 UUD
1945 menyebutkan tentang sistem pemerintahan negara, yang menentukan bahwa
negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Disamping itu,
Indonesia mengutamakan kepentingan umum, negara kesejahteraan (welfare
state) yang menurut Moh. Hatta disebut sebagai ‘negara pengurus’. Oleh
sebab itu, apabila melihat Indonesia dari aspek demokrasi, hukum dan
mengutamakan kepentingan umum, maka secara gamblang dapatlah dikatakan bahwa
Indonesia adalah negara demokrasi berdasarkan hukum yang mengutamakan
kepentingan umum maupun kesejahteraan rakyatnya.
Sejak merdeka sampai
sekarang, Indonesia selalu mengatasnamakan sebagai Negara Demokrasi, mulai dari
demokrasi parlementer yang coba di tawarkan pada masa Orde Lama oleh Presiden
Soekarno yang mengutamakan asas-asas inisiatif pembangunan, kemudian setelah
adanya dekrit presiden Soekarno (1959) maka bergantilah status menjadi
demokrasi terpimpin yang secara praktis mengimplementasikan bentuk-bentuk
keotoriteran dan kini di Era Reformasi kembali ke “Foundamental Norm” yaitu
Demokrasi pancasila yang berasaskan kekeluargaan dan musyarawarah (Miriam
Budiardjo, 2008; 129).
Akan tetapi terdapat sesuatu hal
yang sering muncul menjadi permasalahan dalam praktek demokrasi, yaitu masalah
bagaimana pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat itu
diimplementasi dan direalisasi, sehingga efektif dalam praktek dan dalam
kenyataan. (Henry B. Mayo dalam Miriam Budiardjo, 2008).
Pada dasarnya demokrasi
itu harus memenuhi hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan
dan hak memiliki (live, liberty, property ) (Kencana Syafiie, 2010; 130). Terlebih (Montesquieu dalam Imam Hidajat, 2009) mengemukakan
sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui
teori ‘separation of powers’ atau ‘trias politica’, yakni suatu
sistem pemisahan kekuasaan dalam negara ke dalam kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif, yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri
yang merdeka, artinya secara prinsip semua kekuasaan itu tidak boleh dipegang
hanya oleh seorang saja. Karena dengan adanya lembaga
perwakilan, persoalanpersoalan kompleks yang dihadapi masyarakat akan dapat
diselesaikan. Dengan demikian lembaga perwakilan berfungsi untuk menjembatani
dan menyalurkan aspirasi rakyat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Oleh karena itu secara umum lembaga perwakilan
ini mempunyai fungsi perundang-undangan, fungsi pengawasan dan fungsi sebagai
sarana pendidikan politik. Dari pemikiran tentang ‘hak-hak
politik rakyat’ dan ‘pemisahan kekuasaan’ inilah terlihat munculnya ide
pemerintahan rakyat (democracy).
Akan tetapi konsep memang tidak selalu relevan dengan prakteknya di
lapangan, munculnya istilah Demokrasi elitis (Salahudin, 2012), yang melihat bahwa rakyat hanya sebagai orang yang
tidak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik, karena rakyat
dianggap tidak mampu dan tidak berwenang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang kompleks dalam masalah-masalah pemerintahan. Selain itu sistem ini
mengharapkan rakyat agar lebih baik
apatis dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan-tindakan yang merusak
budaya, masyarakat dan kebebasan. Rakyat dianggap sudah cukup berperan dalam
kehidupan negara melalui penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan secara
periodik dalam negara. Melalui pemilihan umum, rakyat sudah melakukan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Goesniadhie S. Kusnu, 2008 Dalam konteks demokrasi elitis,
peran rakyat digantikan oleh sekelompok elit politik dalam melaksanakan
pemerintahan. Lembaga perwakilan akan menjalankan tugas dan
fungsinya secara bebas tanpa dibayangi oleh kontrol dan protes dari rakyatnya.
Dalam arti Ketidakmampuan lembaga legislatif untuk bersikap demokratis untuk
melaksanakan apa yang tampak sebagai suatu mandat yang jelas dari rakyat
niscaya akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap pranata-pranata demokratis.
Parlementerpun mulai di pandang sebagai “tempat Berbicara saja” yang tak
efektif, yang tak kompeten dalam melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan
kepada mereka ketika mereka dipilih (Friedrich A. Hayek, 2011).
Bentuk-bentuk
kelemahan dan kebobrokan pemerintah lainnya terlihat ketika Banyaknya kebijakan
yang gagal karena bertentangan dengan kebutuhan masyarakat. Jawabannya hanya
satu, karena sistem belum benar-benar demokratis, tidak memulai merencanakan
kebijakan dari bawah (bottom-up), atau dengan kata lain konsep demokrasi
itu barulah sebatas wacana saja, atau implementasi kebijakan publik hanyalah
dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan (Lihat Nugroho, 2009 dalam Azhari, 2011 ).
Negara demokrasi secara praktis
seharusnya menghormati nilai-nilai HAM, yakni
kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers,
berorganisasi, kebebasan berbicara, kebebasan memilih wakil, bebas dari rasa
takut, kebebasan memeluk agama dan lain-lain. Karena dari semua kebebasan itu
bisa mendorong lahirnya kekuatan moral masyarakat, control sosial, moral dan
etika politik, transparansi dan budaya malu yang pada gilirannya bisa
menumbuhkembangkan sistem manajemen politik dan ekonomi social yang handal,
efektif, efisien, produktif, professional dan bersih dari praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) (Imam Hidajat, 2009; 87).
Karena yang menjadi inti utama pembahasan dalam sistem demokrasi ialah
hak asasi dan kedudukan warga Negara sebagai “ZoonPoliticon” yang secara
harfiahnya mempunyai kebutuhan prosperitas dan harus di penuhi. Karena Demokrasi
menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh
rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat, warga masyarakat yang telah terkonsep
sebagai warga negara (Miriam Buadiardjo, 2008).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang
diatas, adapun masalah yang muncul ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana
seharusnya peran dan kedudukan masyarakat sipil dalam persperktif demokrasi di
Indonesia?
1.3
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dan kegunaan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan oleh dosen mata kuliah Negara dan Masyarakat Sipil, untuk
menjelaskan Peran dan Kedudukan Masyarakat sipil dalam Proses Demokrasi
agar dapat diketahui, di pahami, dan diaplikasikan oleh pembaca, khususnya oleh
mahasiswa.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Demokrasi dan Warga Negara
2.1.2 Definisi Demokrasi
Istilah demokrasi
berasal dari dua asal kata, yang mengacu pada sistem pemerintahan zaman
Yunani-Kuno yang disebut ‘demokratia’, yaitu ‘demos’ dan ‘kratos
atau kratein’. Menurut artinya secara harfiah yang dimaksud
dengan demokrasi, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos
atau cratein yang berarti memerintah, pemerintahan yang
dijalankan oleh rakyat. Demokrasi menyiratkan arti kekuasaan politik atau
pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (Imam
Hidajat, 2009). Dengan demikian dilihat dari arti kata asalnya,
demokrasi mengandung arti pemerintahan oleh rakyat. Sekalipun sejelas itu arti
istilah demokrasi menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktek
demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda.
Demokrasi adalah
kemufakatan yang di peroleh dari
musyawarah yang di ikuti oleh para wakil (rakyat). Melalui mekanisme inilah keberdayaan dan kedaulatan
rakyat itu benar-benar di wujudkan, untuk dapat melahirkan kemufakatan yang benar-benar mencerminkan
aspirasi rakyat, di tuntut adanya kesetiaan dan kejujuran para wakil dalam
mengemban amanat rakyat yang di wakilkan (Soenarto, 2003).
Sedangkan Menurut J. Kristiadi (1994) dalam Imam Hidajat,
(2008) menyatakan bahwa demokrasi adalah proses untuk memberikan masalah system
dan struktur politik, nilai-nilainya dan semua itu berorientasi peningkatan
harkat dan martabat manusia. Demokrasi bukanlah sesuatu hal yang final
melainkan fenomena yang selalu berproses (in
the process of becoming).
Menurut Friedrich A. Hayek, (2011) Demokrasi adalah proses untuk merencanakan sesuatu yang
bermuara pada keputusan dan kesepakatan bersama yang dideskripsikan dalam suatu
“kesejahteraan umum”. Dalam suatu negara demokratis, kekuasaan absolut dapat di
berikan sepenuh-penuhnya kepada negara, tetapi tetap dalam koridor demokrasi
tanpa melepaskan kontrol demokratik.
Menurut Unesco, (1949)
dalam Miriam Budiardjo, (2008) demokrasi
sebagai nama yang paling baik dan paling wajar untuk semua system organisasi
politik dan social yang di perjuangkan oleh pendukung-pendukung yang
berpengaruh. Demokrasi
ini kemudian dibangun dan dikembangkan sebagai suatu rangkaian institusi dan
praktek berpolitik yang telah sejak lama dilaksanakan untuk merespon
perkembangan budaya, dan berbagai tantangan sosial dan lingkungan di
masing-masing negara. Mohtar Mas’oed (2001) menjelaskan demokrasi sebagai
sistem politik ideal dan ideologi yang berasal dari Barat. Demokrasi
menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh
rakyat, warga masyarakat yang telah terkonsep sebagai warga negara.
(Henry B. Mayo, dalam Kusnu Goesniadhie S, 2008) Demokrasi adalah sistem
yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik.
2.2 Warga Negara
Warga negara ialah individu/kelompok-kelompok yang
berdasarkan hukum, yang merupakan anggota negara dan tak terpisahkan dengan
negara tersebut. Warga negara adalah orang-orang yang mengakui
pemerintahan negara sebagai pemerintahannya. Bukan warga negara (orang
asing) adalah orang-orang yang tidak mengakui pemerintahan negara
sebagai pemerintahannya.
Warga
(Masyarakat) adalah Sekelompok manusia, yang tinggal menetap dalam suatu
wilayah atau Negara tertentu yang secara sah dan berinteraksi menurut kesamaan
pola tertentu, diikat oleh suatu harapan dan kepentingan yang sama, yang
keberadaanya langsung secara kontinyu, degan satu rasa identitas bersama. Dalam
Bahasa Inggris, Warga (masyarakat) di sebut Society, yang berasal dari kata
Latin, socius, yang berarti: teman atau kawan. Kata “Warga” berasal dari bahasa
Arab, syirk, yang artinya bergaul. Baik kata socius, maupun kata syirk
sama-sama menunjuk pada apa yang kita maksud dengan kata warga (Masyarakat),
yakni sekelompok orang yang saling mempengaruhi satu sama lain, dalam suatu
proses pergaulan, yang berlangsung secara kesinambungan. Pergaulan ini terjadi
karena adanya nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur serta harapan
dan keinginan, yang merupakan kebutuhan bersama (Antonius Atoskhi, 2002).
Tidak semua kelompok orang dapat di
sebut sebagai warga (Masyarakat), kecuali hal-hal berikut terdapat didalamnya:
1)
Setiap Anggota kelompok harus sadar bahwa dia
merupakan bagian dari kelompok yang
bersangkutan.
2)
Ada hubungan timbal-balik antara anggota yang
satu dengan anggota yang lainnya.
3)
Ada suatu factor yang dimiliki bersama,
seperti: nasib yang sama, tujuan dancita-cita yang sama, kepentingan yang sama,
dan sebagainya.
4)
Memiliki struktur, nilai dan norma serta pola
perilaku yang memiliki kesamaan.
5)
Memiliki system social, seperti system
kekerabatan, rukun tetangga, rukun warga serta nama-nama lain yang kurang lebih
sama degan itu.
6)
Mengalami suatu proses perubahan yang akan
mempengaruhi anggota, secara langsung atau tidak langsung (Yohannes Babari,
2002).
Secara
jelas hal-hal mengenai kewarganegaraan diatur dalam UUD 1945 (amandemen):
pasal 26 UUD 1945 (definisi warga negara ) dinyatakan
sebagai berikut:
a)
Penduduk
adalah warga negara Indonesia dan orang-orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
b)
Syarat-syarat
menjadi kewarganegaraan negara ditetapkan dengan undang-undang.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Peran Dan Kedudukan Warga Negara dalam
Proses Demokrasi
Seperti
yang telah di sampaikan di muka bahwa kunci-kunci demokratisasi ada dalam diri
masyarakat dan pemerintahan, dan kunci ini paling banyak berada di tangan civil society. Kalau civil society lemah
maka demokratisasi akan menjadi amat lemah pula, demikian sebaliknya (Imam
Hidajat, 2009; 88).
Menjelang akhir masa presiden
soeharto ada seruan kuat dari kalangan masyarakat, terutama civil society, untuk lebih meningkatkan
pelaksanaan hak politik, dan agar stabilitas, yang memang di perlukan untuk pembangunan
yang berkesinambungan, agar tidak menghambat proses demokratisasi (Soenarto,
2003).
Pada
hakikatnya teori-teori kotrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari
pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat (Democracy) serta Dalam
usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai
hak politik, antara lain kebebasan mengutarakan pendapat merupakan bagian dari
pemenuhan unsur kebutuhan dan kedudukan warga negara dalam proses demokrasi.
(Miriam Budiardjo, 2008).
Dalam rangka pengembangan
demokrasi ada beberapa peran penting yang harus di lakukan oleh masyarakat dan
pemerintah. Yang pertama, masyarakat
harus berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum karena menurut Arief Budiman dalam Imam Hidajat, 2008: 83) Bahwa
system politik yang demokratis yang sejati, syarat minimalnya adalah adanya
kekuasaan politik masyarakat yang seimbang, di samping adanya faktor
keseimbangan lainnya, seperti ideologi, ekonomi, social dan system budaya., Kedua di terapkannya multi partai karena sejatinya peran partai politik adalah membangun
demokrasi, menghidupakan semangat politik rakyat, memperjuangkan aspirasi masyarakat, dan melawan penguasa (Pemerintah)
yang tidak berpihak kepada rakyat, Ketiga
di terapkannya otonomi daerah (desentralisasi luas), Ke empat Kemudian
pada konteks Ekonomi misalnya sedikit banyak telah berhasil di tingkatkan
melalui serentetan Rencana lima tahun,
karena demi terciptanya nilai-nilai demokratisasi sehingga masyarakat di ikut
sertakan dalam proses perencanaan anggaran participatory
budgeting dalam penyusunan anggaran APBD (di
daerah), ke lima dalam proses kebijakan pemerintah, harus menjadikan demokrasi sebagai pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintah. Pola
yang di kehendaki adalah botto- up,
yaitu pola partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagai subyek utama dalam
pembangunan. Keenam Pemerintah di tuntut untuk menjalankan fungsi dan
tugasnya dengan nenerapkan prinsip good governance, yaitu responsive, transparansif,
akuntabilitas, persamaan, keadilan dan penegakkan hukum. Konsep penyelenggaran
yang demokratis seperti yang di jelaskan di atas di yakini mampu mendorong
terwujudnya kesejahteraan masyarakat, masyarakat menjadi mandiri, masyarakat
memiliki kebebasan dalam menentukan arah
pembangunan yang di inginkan, masyarakat dapat mengontrol proses pembanguan
dengan bebas dan bertanggung jawab (Salahudin, 2012).
Menyambung dari Pernyataan Ir. Soekarno “Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan Negara kita kepada paham
kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong royong, dan keadilan social, enyahkanlah
tiap-tiap pikiran individualism dan liberalism daripadanya”. Di lain pihak Drs.
Moh. Hatta mengatakan “walaupun yang di bentuk adalah Negara kekeluargaan,
namun perlu di tetapkan beberapa hak warga Negara agar jangan timbul Negara
kekuasaan (Machtsstaat)”. Atas pernyataan Bung Hatta tersebut maka di
buatlah pasal-pasal dalam UUD 1945 mengenai hak Asasi warga Negara, walaupun
dalam jumlah terbatas tapi sudah menyerap aspirasi, terutama pasal 27-31
mencakup hak dan kedudukan warga Negara, baik dibidang Politik, Ekonomi, Sosial
dan Budaya (Miriam Budiardjo, 2008).
(Menurut
Salahudin, 2012 ) Berbicara hak asasi, sesungguhnya konsep demokrasi pada dasarnya mengutamakan
nilai dasar atas persamaan dan pemerataan dalam hal ini, masyarakat demokratis
mengharapkan kesempatan yang sama dalam setiap individu, termasuk kesempatan
yang sama dalam mendapatkn pekerjaan.
Salah satu masalah demokrasi selama ini ialah tidak adanya persamaan
persepsi antara penguasa dan masyarakat mengenai konsep “ kepentingan umum” dan
keamanan nasional”. Tidak jelas kapan kepentingan individu itu berakhir kapan
kepentingan umum itu di mulai (Miriam Budirdjo, 2008). Oleh karena itu (Friedrich
A. Hayek, 2011) menyatakan Masyarakat
yang demokratis mampu berfikir dan berperan dalam skala nilai-nilai yang
mencakup semua hal, tidak hanya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan individunya
sendiri saja akan tetapi semua kebutuhan yang merangkum kebutuhan sesamanya
yang dekat atau sesamanya yang lebih jauh.
Menurut Gramsci, 2013) Negara selama ini selalu “memenangkan” posisi diatas sipil karena karena negara menggunakan
seni politik yang sama dengan seni militer; perang pergerakan semakin meningkat
menjadi perang posisi, dan dapat di katakan bahwa suatu negara akan memenangkan pertempuran sejauh ia
mempersiapkannya dengan seksama dan mendetail secara teknis pada masa damai
inilah konsep yang sering di sebut sebagai formula “Hegemoni Sipil”.
Oleh
karena itu juga agar kedudukan dan peran masyarakat terlihat sesuai dengan
hak-haknya sebagai warga negara yang demokratis maka Oleh Stahl dalam Miriam Budiardjo, 2008 di sebut
dalam empat unsur yang harus di penuhi oleh negara, yaitu:
a.
Hak-hak
Manusia
b.
Kemudian
pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
c.
Pelaksanaan
dalam pemerintahan harus berdasarkan peratuaran- perturan (wetmatigheid van
bestuur)
d.
Menciptakan
peradilan administrasi dalam perselisihan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
“Peran
dan kedudukan Warga Negara dalam proses Demokrasi” mengingatkan
kita pada apa yang menjadi hak dan kewajiban kita atas Negara. Ketika Hak sudah
kita peroleh maka sebaliknya Kewajibanlah yang kita sumbangsihkan. Dan sebaliknya
ketika kewajiban sudah kita tunaikan maka hakikatnya haklah yang wajib kita
dapatkan. Begitulah partispasi dan sumbangsih kita terhadap nilai-nilai
demokratis, selalu mengutamakan kejujuran, musyawarah dan mufakat untuk mencari
solusi yang lebih soluktif.
Sesuai dengan Firman Allah dalam (Surah An-nur: ayat 55)
“Dan allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersatukan sesuatu apapun dengan aku..”
4.2 Saran
Saran penulis adalah sebagai warga Negara yang sadar
akan kedudukannya Dalam Suatu negara Demokrasi, maka kita harus berpartisipasi,
baik menekan, mengkritisi dalam setiap pembuatan keputusan atau kebijakan
karena hal tersebut menyangkut kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Salahudin.
2012. Korupsi Demokrasi dan Pembangunan
Daerah. Lembaga Anti Korupsi Pro Otonomi Daerah Bima, Dompu, Sumbawa
(LAPINDA BIDOS) NTB Bekerjasama dengan Buku Litera. Yogyakarta.
Budiardjo, Miriam. 2008.
Dasar-dasar Ilmu politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Syafieie, Kencana I. 2010. Pengantar Ilmu Pemerintahan. PT Rafika
Aditama. Bandung
Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks “ Catatan-catatan dari Penjara”. Pustaka
Belajar. Yogyakarta Bekerjasama Dengan International Publisher, New York.
Atosokhi, Antonius Gea. 2002. Character Building II Relasi Dengan
Sesama.Gramedia. Jakarta.
H.M Seonarto, 2003.
Euphoria, reformasi atau REVOLUSI “Pergulatan
Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa. Pustaka Belajar. Yogyakarta.
Hidajat, Imam. 2009. Teori-teori Politik. Setara Press.
Malang.
A Hayek, Friederich.2011. Ancaman Kolektivitas. Di
terbitkan atas kerjasama Routledge Classic, London dengan Freedom Institute.
Jakarta
Samudra, Azhari. 2011. Pertimbangan Kearifan local dalam perspektif
Administrasi dan Finance.
Goesniadhie
S. Kusnu. 2008. Demokrasi dalam Konsep
Praktek _ Kgsc’s Blog.html DI AKSES pada tgl 20 sepetember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar