Selasa, 15 November 2016

New Publik Manajamen Kontekstualitas Dengan Indonesia


A.    Pendahuluan

Pada dasarnya dalam jurnal ini menganggap bahwa ekonomi sektor publik dan manajemen sektor publik harus saling melengkapi satu sama lain. Karena dianggap orang-orang yang berada di manajemen sektor publik (birokrasi) tidak memiliki akses yang cukup untuk ekonomi sektor publik. Dengan demikian jurnal ini berusaha untuk mengeksplorasi relevansi ekonomi sektor publik dalam menunjang pelaksanaan dan pengelolaan serta pelayanan sektor publik terutama pentingnya perspektif pilihan publik atau aspirasi dan partipasi publik dalam  kebijakan publik dan pengambilan keputusan pada sektor publik. Tidak hanya itu untuk menciptakan alokasi sumber daya yang efisien dalam sektor publik, minimalisasi kegagalan birokrasi, dan desain yang efisien serta membentuk lembaga fiskal etis merupakan tawaran dalam artikel pilihan publik dan manajemen sektor publik ini. 

Pada dasarnya kehadiran paradigma pilihan publik dalam manajemen sektor publik merupakan reaksi dari tidak memadainya model administrasi publik tradisional (Setiyono, 2007), dimana birokrasi pemerintah terlalu membatasi kebebasan individu sehingga kekuasaan pemerintah perlu dikurangi. Selain itu Birokrasi klasik selama ini dianggap memiliki kekakuan yang progresif, sistem yang kompleks dan pengambilan keputusan  top-down, aturan hirarkis,  yang menyebabkan jauh dari harapan-harapan warganegara (Anthony B. L. Cheung (1997) dalam Hermawan, D. (2013: 101). Selain itu jika ditinjau dari aspek ekonomi, model birokrasi tradisional tidak memiliki struktur dan insentif yang memadai yang membuat birokrasi menjadi tidak efisien. Selain itu birokrasi yang ada pada model birokrasi Weber pada dasarnya kurang termotivasi oleh kepentingan yang lebih luas, misalnya saja pelayanan kepada masyarakat. Karena dari asumsi teori birokrasi klasik weber ini, dominasi ambisi individu akan memberikan hasil yang tidak selaras dengan tujuan dan sasaran organisasi.

Pada dasarnya ambisi individu menyebabkan individu berupaya memperbesar anggaran. Akibatnya birokrat akan berupaya untuk memaksimalkan manfaat bagi dirinya, yakni meningkatkan kekuasaa, prestis, keamanan, dan pendapatannya dengan memanfaatkan struktur hirarki birokrasi dengan mengesampingkan tujuan organisasi. Secara umum, argumen yang diberikan oleh teori pilihan publik diarahkan untuk mengurangi dominasi campur tangan pemerintah dan mereduksi birokrasi. Karena demikian struktur pasar kemudian dijadikan sebagai alternatif dalam sektor publik (Akbar 2015: 3).

 Karena jika struktur dan insentif dalam birokrasi harus ditinjau kembali untuk meningkatkan kinerjanya, mengapa urusan publik tidak diserahkan saja kepada sektor privat, dimana struktur dan sistem insentif sekarang berada dan sejumlah pelayanan pemerintah juga dapat dikelola dalam sektor privat. Dari perspektif ini, pelayanan publik harus dipangkas hingga pada titik minimum dengan fungsi-fungsinya diserahkan kepada sektor privat ( Niskanen (1973) dalam Kuncoro (2008 : 128) .

Masalah insentif (incentive problem) dan informasi asimetri di sektor publik telah lama diidentifikasi oleh para ekonom. Dua pihak yang bersinggungan adalah birokrat dan masyarakat umum. Teori paling awal mengenai hal ini dikembangkan dalam kerangka kerja model Niskanen (1971). Menurut Niskanen, seseorang ketika belum terpilih menjadi birokrat akan berupaya untuk memaksimumkan fungsi kesejahteraannya sebagai anggota masyarakat. Namun, ketika ia sudah terpilih menjadi birokrat, preferensinya menjadi berbeda. Fungsi kesejahteraan birokrat bergantung pada seperangkat variabel, seperti gaji, keuntungan dan manfaat atas posisi politik yang spesifik diembannya, reputasi, dan kekuasaan. Kesemua faktor ini adalah dependen pada besarnya anggaran pemerintah. Lebih lanjut, pihak yang lebih kuat (decisive) dalam anggaran daerah bukannya masyarakat melainkan birokrat. Dan kemudian para birokrat berperilaku memaksimisasi anggaran (budget maximization) sebagai proksi atas kekuasaannya. 

C.    Pokok Pikiran Artikel

Dalam artikel ini menjelaskan terkait praktik pilihan publik dalam sektor publik terutama dalam hal kebijakan anggaran publik. Pada dasarnya kehadiran  public choice theory atau teori tentang pilihan publik yang merupakan bagian dari teori ekonomi mengkritik beberapa asumsi dasar dari administrasi publik tradisional. 

Konsep public choice ini merupakan pengembangan dari konsep libertarian yang menganggap bahwa hak individu untuk kebebasan dan kemerdekaan adalah merupakan hal yang sangat penting. Perspektif pilihan publik diakui sebagai pendekatan yang berbeda untuk mempelajari  kebijakan ekonomi dan pengambilan keputusan pada sektor publik. Dengan demikian menurut P. M. Jackson perlunya membangun hubungan simbiosis kuat antara mereka yang terlibat di bidang ekonomi sektor publik (privat sector) dan mereka yang peduli dengan isu-isu manajemen sektor publik (birokrasi) untuk menghasilkan sinergitas dalam manajemen sektor publik yang diperlukan untuk memajukan serta untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas di pelayanan di sektor publik.

Kehadiran konsep pilihan publik untuk merancang organisasi sektor publik, dengan membangun teknik manajemen, serta partisipatif dalam merumuskan kebijakan. Karena konsep manajemen adalah tentang mencapai tujuan organisasi melalui efisien, efektif, dan dapat diterima secara proses moral, maka ekonomi telah banyak memberikan kontribusi bagi perumusan prinsip-prinsip manajemen. Selain itu dalam artikel ini juga memaparkan terkait kontribusi teori ekonomi untuk analisis dan desain kebijakan untuk memberikan pemahaman peristiwa dan fenomena dalam domain Kebijakan publik. Karena public choice pada dasarnya bisa menjadi petunjuk bagi pengambil keputusan untuk menentukan pilihan kebijakan yang paling efektif.

Dalam artikel ini juga mengkritisi birokrasi tradisional yang amat besar berpotensi: (1) kurang responsif kepada tuntutan yang beragam; (2) menimbulkan biaya sosial yang tinggi bagi benefisiari; (3) gagal menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan; (4) mencegah salah guna barang publik; (5) cenderung tidak mampu mengontrol aksi publik yang menyimpang dari tujuan dan sasaran publik; dan (6) memperparah masalah ketimbang mengobati masalah yang ada.


D.    Pembahasan

Pada dasarnya ekonomi sektor publik memainkan peran penting dalam menyediakan dasar yang kuat untuk prinsip-prinsip umum manajemen sektor publik. Memang, pada tingkat yang lebih umum itu adalah ekonomi yang menetapkan sebagian besar prinsip-prinsip manajemen umum. Ekonomi sektor publik memberikan kontribusi untuk desain lembaga fiskal dan perumusan kebijakan publik.

Dan hadirnya pendekatan pilihan public dalam manajemen sektor public menurut Caporaso & Levine, sebagai penerapan metode-motede ekonomi  terhadap politik. Karena pada dasaarnya public choice adalah sebuah perspektif untuk bidang politik yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non pasar. Demikian Buchanan yang mengatakan bahwa teori public choice menggunakan alat-alat atau metode yang telah dikembangkan ke dalam teori-teori ekonomi dan diaplikasikan ke sektor politik (pemerintah, ilmu politik, dan ekonomi publik). Sehingga teori  public choice (pilihan publik) Menurut Staniland, adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana pemerintah membuat keputusan yang terkait dengan kepentingan publik (masyarakat). (Karjuni Dt. Maani, 2013: 158-159). 

Sedangkan sektor public (public sektor)  itu sendiri secara sederhana, dapat diartikan sebagai sekor pelayanan yang menyediakan barang/jasa bagi masyarakat umum dengan sumber dana yang berasal dari pajak dan penerimaan negara lainnya, dimana kegiatannya banyak diatur dengan ketentuan perturan (I G Agung Rai, 2008: 3). Namun disisilain juga Broadbent dan Guthrie (1992) mengidentifikasikan sektor public dari segi kegiatan (aktivitas) dan segi kepemilikan. Dilihat dari segi kegiatan (aktivitas), sektor publik adalah seluruh kegiatan yang dibiayai oleh pemerintah, baik dari hasil pungutan pajak maupun penerimaan negara lain-lain, termasuk yang bersumber dari utang. Jenis kegiatan yang dilakukan adalah penyediaan pelayanan yang bersifat monopolistik, yang dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat. Dilihat dari segi kepemilikan, sektor publik adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh umum atau masyarakat, bukan oleh pemegang saham atau sekelompok orang.
Dengan demikian dalam upaya melakukan perbaikan birokrasi pemerintahan, Osborne dan Gabler (1996) dalam Kurnia, 2014 ; 317) dengan menngkombinasikan sektor publik dan sektor privat dalam birokasi pemerintahan karena Jiwa wiraswasta itu menekankan pada upaya untuk meningkatkan sumberdaya baik ekonomi, sosial, budaya politik yang dipunyai oleh pemerintah dari yang tidak produktif bisa menjadi produktif, dari yang produtivitas rendah menjadi produtivitas tinggi.  Peningkatan kapasitas sumberdaya ini menjadi sangat penting dengan kompleksitas masalah yang ada di masyarakat karena kedudukan sektor publik atau birokrasi pemerintahan tidak hanya terpaku pada aturan legalitas yang kaku saja akan tetapi berorientasi dinamis untuk melaksanakan aturan yang legal. Perkembangan masyarakat berimplikasi pada peningkatan tuntutan masyarakat dan tuntutan ini membutuhkan jawaban. Jika jawaban tidak sepadan dengan tuntutannya maka akan membawa pada ketidakpuasan masyarakat. Untuk itu maka administrasi publik harus mampu manjawabnya.
Dari pandangan diatas dengan merefleksikan teori pilihan publik atau  Public choice theory yang merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip mikroekonomi yang mengedepankan kebebasan publik untuk memilih dan berpartisipasi, maka Dunleavy (1986) berpendapat bahwa aktor yang rasional dalam pendekatan teori pilihan public pada dasarnya berasumsi bahwa:
  1. Dalam membuat keputusannya, individu cenderung berupaya untuk mendapatkan manfaat terbesar dengan ongkos yang minim. Mereka bertindak secara rasional ketika ingin mengejar preferensinya dalam tindakan yang efisien dan memaksimalkan manfaat yang akan diterimanya.
  2. Individu pada dasarnya egoistis, cenderung memperhatikan kepentingannya, mengambil tindakan jika tindakan itu memberikan konsekuensi positif bagi kesejahteraannya.
Sehingga seperti yang disampaikan P. M. Jackson dimuka bahwa ekonomi sektor publik dan manajemen sektor publik dua hal yang harus saling melengkapi satu sama lain. Karena selama ini (birokrasi) tidak memiliki akses yang cukup untuk ekonomi sektor publik. Dengan hadirnya paradigm ekonomi dalam sektor publik mampu mengeksplorasi relevansi ekonomi sektor publik dalam menunjang pelaksanaan dan pengelolaan serta pelayanan sektor publik terutama pentingnya perspektif pilihan publik atau aspirasi dan partipasi publik dalam  kebijakan publik dan pengambilan keputusan pada sektor publik. Tidak hanya itu untuk menciptakan alokasi sumber daya yang efisien dalam sektor publik, minimalisasi kegagalan birokrasi, dan desain yang efisien serta membentuk lembaga fiskal etis dalam kebijakan sektor publik.
Terlebih dengan isu superioritas informasi yang dimiliki birokrat pemerintah tradisional maka akan mampu mempengaruhi suara mayoritas hasil akhir dari pengambilan keputusan-keputusan publik melalui agenda kontrol. Lebih lanjut, dengan tajam menunjukkan bahwa apabila agenda anggaran publik telah didominasi oleh agen-agen politik maka hasil (outcome) dari anggaran pengeluaran tersebut akan ditentukan dengan taktik ancaman (threat) Romer dan Rosenthal (1979) dalam (Kuncoro, 2008: 128). Dalam literatur Ekonomi Publik Lokal misalnya menyatakan bahwa perbedaan anggaran daerah merupakan akibat dari ketidakseimbangan kekuatan antara masyarakat dengan birokrat daerah dalam pengambilan keputusan-keputusan publik. Romer dan Rosenthal mengistilahkan hal ini sebagai “tingkat pembalikan” (reversion level). Romer dan Rosenthal (1979) ,Kuncoro, 2008: 128). Ini akibat pembatasan terhadap kebebasan individu karena dominasi pemerintah sehingga kekuasaan pemerintah perlu dikurangi dan struktur pasar kemudian dijadikan sebagai alternatif dalam sektor publik.
Namun kehadiran konsep public choice dalam manajemen sektor public ternyata juga menuai banyak kritikan misalnya, (Buchanan, JM. et.al, (1980), dalam Prakosa, K. B. (2003: 23) menurutnya dalam pendekatan teori  public choice bahwa  proses  politik  dalam  suatu  negara dapat merupakan suatu proses yang disebut a complex competitive game. Dalam proses politik ini berbagai aktor ekonomi berupaya untuk mempertahankan  dan  meluaskan  kepentingan masing-masing yang banyak kejadian saling bertentangan. Dan akhirnya aktor-aktor ekonomi  yang kuat dan menguasai dana yang banyak dapat melakukan kegiatan-kegiatan  lobbying  untuk  mempengaruhi  para  pembuat  undang-undang dan peraturan dan terutama sekali dapat mempengaruhi para birokrat. Apalagi jika diimplementasikan dalam negara berkembang kompetisi tersebut akan melahirkan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang luar biasa.


E.     Kontekstualitas Dengan Indonesia

Pada dasarnya sebagai penganut negara hukum (Rechtsstaat) dalam sistem ketatanegaraan, maka di Indonesia dibawah naungan demokrasi akan berlangsung dan berkembang apabila negara bergerak atas dasar hukum. Artinya keterlibatan rakyat dalam menentukan kebijakan negara dalam menentukan kepemimpinan pemerintahan diselenggarakan dalam koridor hukum. Dengan kata lain bahwa demokrasi dan negara hukum sangat erat kaitannya ( Hakim, 2006: 9). Dan konsep public Choice pada dasarnya sebagai refleksi dari kebebasan berdemokrasi, dimana ada penghormatan terhadap kebebasan inidividu dan kekuasaan yang tidak monopolisitk, serta mekanisme pasar, namun jika dikontekstualisasikan di Indonesia maka sedikit rumit dalam pengimplementasiannya.
 Walaupun menurut Kasali (2012) dalam Sutrisno (2015), memberikan pemahaman bahwa nilai sektor bisnis memang saatnya diadopsi oleh sektor  belakangan bukan hanya mewabah dalam institusi korporasi, melainkan juga dalam dunia pemerintah, walaupun inovasi saat ini masih ada yang pro dan kontra di Indonesia akan tetapi apabila inovasi tidak dilakukan maka tidak akan pernah ada pembaharuan atau perubahan khususnya pada sektor publik.
Namun perlu juga mempertimbangkan pendapat (martel, 1986) dalam Dyah Mutiarin, et.,al (2014: 176-176) bahwa asumsi dasar terkait perubahan birokrasi sebenarnya ada 3 sebagai berikut:
1.      Bila kondisi organisasi sekarang dalam kondisi maju dan berkembang, mka organisasi tidak perlu melakukan perubahan apapun.
2.      Bahwa problema saat ini yang dihadapi organisasi dapat diselesaikan dengan cara/metode peyelesaian masalah masa lalu.
3.      Bahwa perubahan hanya akan menimbulkan masalah.

Apalagi terkait dengan kebijakan anggaran di indonesia, selama ini bagi pemerintah di Indonesia anggaran adalah instrument terpenting dalam kebijakan ekonomi yang mencerminkan prioritas kebijakan dalam memutuskan kemana uang harus dibelanjakan dan dari mana mesti dikumpulkan. Anggaran memiliki dampak yang sanga luas yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Namun tidak jarang kalangan tertentu dari masyarakat yang terpinggirkan tanpa sumber daya ekonomi dan kemampuan untuk memepengaruhi kebijakan politik pemerintah yang mestinya mendapatkan layanan pemerintah justru kurang memiliki akses utuk terlibat dalam proses penyusunan kebijakan politik termasuk kebijakan APBD. Sebagai sebuah produk politik, anggaran merefleksikan relasi politik antar aktor yang berkepentingan terhadap alokasi sumber daya dengan pemerintah sebagai pemegang otoritas untuk melaksanakan fungsi alokasi. Meski demikian seringkali yang terjadi relasi politik tersebut belum mampu mengartikulasikan dan mengakomodasikan kepentingan masyarakat ke dalam anggaran, bahkan yang terjadi justru semakin menjauh dari kepentingan masyarakat (Krisnho Hadi (2006) dalam salahudin (2012: 17).  
Di Indonesia dalam beberapa hal tidak dinafikan bahwa pendekatan pilihan publik sudah efektif dilakukan namun sebagian besar masih sulit dicerna untuk dilaksanakan pada sektor publik. Terlebih kencederungan atas pembedaan terkait dengan sektor publik dan sektor privat yang makin menganga. Misalnya terkait masalah kepemilikan barang publik, ini menjadi permasalahan tiada akhir yang melanda dunia dan Indonesia. Pemahaman “Hitam putih” terhadap perbedaan antara sektor public dengan sektor privat dari segi kepemilikan menjadi kurang valid dan kurang relevan lagi akhir-akhir ini. Secara internasional dan nasional telah terjadi gelombang “privatisasi” di lembaga dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang semula dimiki dan dikelola oleh pemerintah, sekarang berpindah sebagian atau seluruh kepemlikannya ke sektor privat.  Kondisi serupa juga terjadi dilembaga pelayanan umum milik pemerintah yang awalnya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, kemudian diperbolehkan melakukan pelyanan bagi masyarakat dengan mengenakan harga komersial (I G Agung Rai, 2008: 4).
Walaupun Peter Drucker (1975) dalam I G Agung Rai,( 2008: 4) memberikan cara yang lebih mudah untuk membedakan antara organisasi pelayanan ( service institution) dengan organisasi bisnis (business enterprise) sebagai berikut. Perbedaan mendasar antara organisasi pelayanan dan organisasi bisnis dalam hal meperoleh pembayaran. Organisasi bisnis, memperoleh pembayaran ketika mereka memproduksi barang yang diinginkan konsumen dan yang bersedia ditukarkan konsumen dengan daya belinya, sebaliknya, organisasi pelayanan pada umumnya mempeoleh dana dari alokasi anggran, Pendapatan mereka dialokasikan dari bagian pendapatan umum yang tidak terikat dengan apa yang mereka kerjakan, melainkan diperoleh dari pajak, retribusi, atau hibah.

  





Komponen Sektor Publik Menurut Government Finace Statisitc (GFS) Manual yang di Keluarkan Oleh IMF (2001)  dalam  (I G Agung Rai, 2008: 8).

Perbedaan yang paling mendasar antara mamanjemen sektor publik dan maanjemen sektor privat terletak pada tingkat kepatuhan terhadap ketentuan atau peraturan yang berlaku dan adanya unsur politik yang mendasari pengambilan keputusan. Ketentuan dan peraturan tesebut dapat berupa peraturan yang ditetapkan oleh lembaga tinggi negara yang berupa undang-undang dasar, undang-undang kebijakan pemerintah, sampai dengan ketentuan dari para pelaksana pemerintahan mulai dari presiden, gubernur, sampai dengan bupati beserta jajarannya.
Unsur politik yang mendasari kebijakan manajemen pada sketor publik tidak terlepas dari interaksi antara manjemen yang diwakili oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah dengan legislatif yang merupakan wakil rakyat dan kekuatan politik yang ada disuatu negara. Dengan, demikian pendekatan fungsi manajemen sektor publik agak berbeda dengan pendekatan fungsi manajemen sektor privat yang biasanya dihasilkan dari interaksi antara manajemen (direksi) dan pemilik prusahaan yang diwakili oleh komisaris. Dasr keputusan manjemen sektor privat lebih banyak didasarkan pada rasional ekonomi atau tingkat keuntungan yang ingin dicapai.
Proses Manajemen Pada Organisasi Sektor Publik Prentice Hall (2000: 21 dalam I G Agung Rai, 2008: 10)


Kemudian salah satu contoh kasus misalnya terkait implikasi pendekatan teori public choice  terhadap  kebijakan  insentif  pajak dilaksanakan di Indonesia. Untuk menjelaskan implikasi ini, terlebih dahulu harus diakui bahwa masyarakat ekonomi kelas atas di Indonesia merupakan  masyarakat  pencari rente ekonomi. Komponen rent seeking society sangat menentukan dalam proses ekonomi Indonesia. Dalam suasana seperti ini, maka  sangatlah  tidak  mungkin  untuk mengharapkan hadirnya insentif pajak yang mengabdikan  kepada  pilihan  publik  atau kepentingan  publik  jika  kebijakan  insentif pajak ini merugikan kepentingan para aktor yang  membentuk  distributional  coalition dalam  Indonesia’s  rent-seeking  society. Diperkirakan, deregulasi yang bertujuan untuk menciptakan mekanisme pasar demi berlangsungnya pilihan publik dapat diakomodasikan secara wajar dan optimal, akan mengalami halangan. Halangan akan datang dari para  aktor  yang  membentuk  jaringan mirip  kartel  seperti  yang  dikemukakan Mancur Olson oleh karena mekanisme pasar yang  sebenarnya  (genuine  market  mechanism)  akan  merugikan  mereka.  Kompetisi yang wajar yang berjalan atas dasar informasi yang terbuka untuk semua orang, dan pelayanan  yang  sama  dari  segi  undang-undang dan peraturan untuk semua orang, jelas merupakan  penghalang  utama  untuk kegiatan pencarian rente-ekonomi. Implikasi  kebijakan  untuk  melaksanakan deregulasi ekonomi untuk tujuan pelayanan  pilihan  publik  yang  maksimum mengandung pengertian penertiban luar biasa  terhadap  perilaku  melembaga  dalam masyarakat  Indonesia.  Dan  penertiban  ini adalah meruapakan suatu program aksi yang menyangkut rekonstruksi politik. Peraturan-peraturan yang transparan hanya dapat efektif untuk menjamin berlangsungnya pilihan publik  jika  terdapat  suatu  tatanan  politik yang betul-betul demokrtis di mana system cheks  and  balances  berjalan  sehingga menimbulkan tradisi kebijakan publik yang bersih (Prakosa, K. B. (2003: 24).


F.     Kesimpulan
Pada dasarnya ekonomi sektor publik memainkan peran penting dalam menyediakan dasar yang kuat untuk prinsip-prinsip umum manajemen sektor publik. Ekonomi sektor publik memberikan kontribusi untuk desain lembaga fiskal dan perumusan kebijakan publik. P. M. Jackson menyampaikan bahwa ekonomi sektor publik dan manajemen sektor publik dua hal yang harus saling melengkapi satu sama lain. Karena selama ini (birokrasi) tidak memiliki akses yang cukup untuk ekonomi sektor publik. Dengan hadirnya paradigm ekonomi dalam sektor publik mampu mengeksplorasi relevansi ekonomi sektor publik dalam menunjang pelaksanaan dan pengelolaan serta pelayanan sektor publik terutama pentingnya perspektif pilihan publik atau aspirasi dan partipasi publik dalam  kebijakan publik dan pengambilan keputusan pada sektor publik. Tidak hanya itu kehadiran public choice selain untuk menciptakan alokasi sumber daya yang efisien dalam sektor publik, juga nantinya mampu minimalisasi kegagalan birokrasi.
Namun dalam beberapa hal tidak dinafikan bahwa sebagian besar masih sulit dicerna untuk dilaksanakan pada sektor public di Indonesia. Terlebih kencederungan atas pembedaan terkait dengan sektor publik dan sektor privat yang makin menganga terutama terkait masalah kepemilikan barang publik.
Selain itu pendekatan ini juga nantinya akan memunculkan proses politik berbagai aktor ekonomi yang berupaya untuk mempertahankan  dan  meluaskan  kepentingan masing-masing yang banyak kejadian saling bertentangan. Dan akhirnya aktor-aktor ekonomi yang kuat dan menguasai dana yang banyak dapat melakukan kegiatan-kegiatan lobbying  untuk  mempengaruhi  para  pembuat  undang-undang dan peraturan dan terutama sekali dapat mempengaruhi para birokrat. Apalagi jika diimplementasikan dalam negara berkembang kompetisi tersebut akan melahirkan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang luar biasa.














Daftar Pustaka

Akbar, M. (2015). Penerapan Prinsip Prinsip New Public Management Dan Governance Dalam Reformasi Administrasi. Reformasi, 5(2), 453-469. 23 Oktober 2015
Hakim, Z. (2006). Pengaruh Perubahan Regulasi Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Di Kota Pekalongan Dan Kabupaten Pemalang Tahun 2005 (Analisis Yuridis-Empiris Terhadap Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004) (Doctoral Dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Hermawan, D. (2013). New Public Management Dan Politik Birokrasi Dalam Reformasi Birokrasi Indonesia. Jurnal Administratio, 4(2).
Kurnia, I. (2014). Perkembangan Diacronis Administrasi Publik (Dari New Public Management Ke Good Governance). Academica, 2(1). 23 Oktober 2015
Kuncoro, H. (2008). Variansi Anggaran Dan Realisasi Anggaran Belanja Studi Kasus Pemerintah Daerah Provinsi Dki Jakarta. Jurnal. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Mutiarin, Dyah., Et.al. 2014. Manajemen Birokrasi Dan Kebijakan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Maani  K. 2013. Pergulatan Antara Ekonomi Dan Politik Dalam Perspektif Public Choice. Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang. Jurnal Tingkap Vol. IX  No. 2 Th. 2013. Diakses pada 23 Oktober 2015
Prakosa, K. B. (2003). Analisis Pengaruh Kebijakan Tax Holiday Terhadap Perkembangan Penanaman Modal Asing Di Indonesia (Tahun 1970-1999). Economic Journal Of Emerging Markets, 8(1). 23 Oktober 2015
Rai, I. G. A. (2008). Audit kinerja pada sektor publik: konsep, praktik, studi kasus. Penerbit Salemba. 23 Oktober 2015
Setiyono, B. (2007). Pemerintahan Dan Manajemen Sektor Publik. 21 Oktober 2015 21 Oktober 2015
Salahudin. 2012. Korupsi Demokrasi dan Pembangunan Daerah. Lembaga Anti Korupsi Pro Otonomi Daerah Bima, Dompu, Sumbawa (LAPINDA BIDOS) NTB Bekerjasama dengan Buku Litera. Yogyakarta.
Sutrisno, M. R. D. S. (2015). Inovasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (Studi Pada Layanan Cetak Tiket Mandiri Di Stasiun Besar Malang). Jurnal Administrasi Publik, 3(11), 1814-1820. 23 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar