UPAYA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENANGANI KONFLIK SOSIAL
ANTARA SUKU AMBALAU DAN SUKU KAYELI DI AREA PERTAMBANGAN KABUPATEN BURU
(Studi Kabupaten Buru)
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan
perkembangan manusia yang mempunyai karateristik yang beragam. Manusia memiliki
perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku,
agama, kepercayaan, aliran politik serta budaya dan tujuan hidupnya. Dalam
sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Selama
masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan
terjadi. Dari sini, ada benarnya jika sejarah umat manusia merupakan sejarah
konflik.Konflik selalu terjadi di dunia. Dalam sistem sosial yang bernama
negara, bangsa, organisasi, perusahaan dan bahkan dalam sistem sosial terkecil
bernama keluarga dan pertemanan. Konflik terjadi di masa lalu, sekarang dan
pasti akan terjadi di masa yang akan datang[1].
Konflik juga terjadi karena masalah ekonomi atau penghidupan
masyarakat. Misalnya konflik terjadi antara petani dan Perusahaan Perkebunan atau
Departemen Kehutanan dan Lembaga Pemerintah-Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengenai
tanah pertanian. Konflik juga terjadi antara kelompok masyarakat yang satu dan
lainnya. Misalnya, di kota-kota besar, konflik karena memperebutkan lahan
parkir dan penguasa pasar oleh para preman sering terjadi[2].
Orang memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama lain
atau mempunyai kebutuhan yang sama mengenai sesuatu yang terbatas jumlahnya.
Kebutuhan mrerupakan pendorong terjadinya perilaku manusia. Jika kebutuhan
orang diabaikan atau terlambat, maka bisa memicu terjadinya konflik. Demokratisasi
disertai dengan liberalisasi kehidupan merupakan penyebab lain yang
meningkatkan terjadinya konflik di Indonesia. Demokrasi merupakan sistem yang
menghargai kebebasan berserikat, berpendapat dan tampil beda. Demokrasi telah
menciptakan masyarakat yang pluralistik. Dalam masyarakat pluralistik, kemungkinan
terjadinya konflik tinggi. Agar konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan
baik, dalam sistem demokrasi tersedia mekanisme menyelesaikan konflik, yaitu
pemungutan suara (voting) dan
pelaksaan hukum tanpa pandang bulu[3].
Konflik
ekonomi biasa terjadi antara warga masyarakat dan pemerintah pusat atau PEMDA. Sebagai
contoh, konflik mengenai pertambangan emas, timah atau penggalian pasir. Di
Jawa Barat, banyak pertambangan emas rakyat, gurandil, yang menggali emas di
lokasi PT Aneka Tambang. Umumnya, penambang ini tidak mempunyai ijin
pertambangan dan mencemari air. Di samping itu, banyak terjadi gurandil yang
terkubur oleh lubang-lubang galian emas yang rontok. Pemerintah melarang
mereka, tetapi para gurandil tetap melakukan penambangan. Di Propinsi Bangka
dan Belitung, rakyat melakukan penambangan timah yang tidak berizin.Penambang ini
menimbulkan kerusakan lingkungan karena menimbulkan rawan berupa
cekungan-cekungan tanah berisi air yang membuat tanah tidak dapat direklamasi[4].
Pada dasarnya Luas wilayah izin pertambangan rakyat
yang diberikan kepada masyarakat diatur dalam pasal 13 dan 17 peraturan Menteri
Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE1986 tentang Pedoman Pengelolaan
Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B). Dalam
Pasal 13 diatur tentang luas maksimal wilayah pertambangan rakyat yang
diberikan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat dan luas wilayah
pertambangan sungai[5].
Luas
maksimal satu wilayah pertambangan rakyat adalah 15 hektare. Sementara itu,
luas wilayah pertambangan sungai cukup diukur atau ditetapkan menurut panjang
dan lebar sungai. Sementara itu, dalam pasal 17 Peraturan Menteri Pertambangan
dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan
Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B) diatur tantang luas
wilayah untuk: satu izin pertambangan rakyat; perorangan; kelompok masyarakat;
dan koperasi.[6].
Dalam
Pasal 5 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan diatur tentang jangka waktu izin pertambangan rakyat. Dalam
ketentuan itu ditentukan bahwa izin pertambangan rakyat diberikan untuk jangka
waktu paling lama lima tahun. Jika diperlukan, izin tersebut dapat diperpanjang
untuk jangka waktu yang sama. Jangka waktu yang diberikan kepada pemegang izin
pertambangan tidak terbatas. Namun di Indonesia banyak pertambangan yang tidak
memiliki izin atau illegal yang sesuai dengan prosedur yang dijelaskan dalam
undang-undang dan Peraturan Menteri.
Beberapa kasus pertambangan illegal sudah banyak yang
terjadi misalnya pada wilayah Propinsi Kalimantan Barat, Kecamatan Mandor[7],
kemudian daerah pesisir sungai Kapuas, wilayah yang dijadikan tempat
pertambangan mulai dari Hulu sungai sampai ke hilir sungai tersebut, bahkan
para penambang terus menambang emas sampai ke anakan sungai tersebut.
Disepanjang sungai ini setidaknya sudah ada 2.000 mesin Diesel yang sudah mencemari sungai hingga anak-anakannya.
Jumlah pekerja diperkirakan mencapai lebih dari 10 ribu orang yang terbagi
dalam 1.400-an kelompok penambang. Ironisnya, mayoritas penambang itu tak
berizin alias penambang liar. Para penambang itu umumnya berpindah-pindah. Pasalnya,
cadangan emas Kapuas diduga menipis setelah dikeruk massal pasca krisis moneter
1997.
Meski ilegal, aksi para penambang ini bisa tetap
berlangsung bertahun-tahun. Para penambang mengaku sudah membayar uang keamanan
kepada aparat yang setiap bulan datang mengunjungi kamp-kamp
penambangan.Pemerintah Daerah setempat seperti tak berdaya.Yang bisa dilakukan
hanya sebatas mendata keberadaan para penambang. Di tempat inilah para
penambang liar seperti merasa mendapatkan lahan ladang yang paling subur untuk
dijadikan tempat pengerukan kekayaan alam, dan bahkan kejadian ini telah
terjadi bertahun-tahun tanpa pernah terdengar suara akan ada pihak yang
bertanggung jawab jika suatu saat akan ada dampak berbahaya yang terjadi.
Bahkan para penambang ini menggunakan metode penambangan tidak lagi menggunakan
cara tradisional melainkan dengan mesin Jet yang menyedot air dan pasir untuk
dibuang ke permukaan tanah menambah rusaknya struktur lingkungan[8].
Tidak terkecuali juga kondisi yang terjadi di Kabupaten Buru. Tambang
emas pertama kali ditemukan pada bulan November 2011 oleh Yono seorang
petani SP 2, Desa Debowae Kecamatan Waeapo. Temuan tersebut pertama kali
diketahuinya lewat mimpi, kemudian bersama tiga rekannya yaitu Saing Bugis,
Lalaban Bugis, dan Susiono, menuju lokasi Sungai Anoni Dusun Wamsait, Desa Dafa
dan selama empat hari mendulang mereka berhasil mendapatkan empat gram emas
murni. Lokasi tersebut ditempati masyarakat marga adat Besan, Wael dan Nurlatu
dan berada di wilayah Petuanan Kayeli. Masyarakat sekitar mulai datang ke
lokasi untuk mendulang dan dipungut biaya sebesar 100 ribu per orang oleh marga
adat[9].
Dalam perjalanannya
timbul sengketa di antara para pemungut karcis masuk yaitu antara marga adat
Wael dan Besan, sehingga lokasi tambang emas di tutup sementara waktu untuk mengantisipasi
konflik antara marga tersebut. Timbul tuntutan dari masyarakat adat untuk di
buka kembali lahan tambang emas dan pada tanggal 31 Desember 2011 diadakan
pertemuan antara bupati dengan masyarakat adat dan diberi kesempatan dibuka,
hanya untuk masyarakat lokal/adat sampai tanggal 2 Februari 2012 (akhir jabatan
bupati). Tidak ada dasar hukum untuk penambangan. Pada akhir Januari tanggal 22
penambang liar mencapai jumlah fatastik15 ribu penambang. Dan terjadi dampak
sosial ekonomi.Naiknya harga sembako,
perubahan pola profesi, kerusakan lingkungan, ganguan KAMTIBMAS.
Pada tanggal 7 Februari
2012 bupati bersama seluruh kepala soa/adat melaksanakan pertemuan di Kec.Waeapo
yang di hadiri seluruh muspidah dan anggota DPRD Kabupaten Buru dan disepakai
pada tanggal 13 Februari untuk sementara lokasi tamban ditutup dari kegiatan
penambangan untuk mencegah meluasnya dampak sosial serta akan diatur dan diproses
perjanjiannya. Pada tanggal 8 Februari s/d 11 Februari 2012 kegiatan
sosialisasi dan hibauan kepada para penambang untuk segera turun dari lokasi.
Tanggal 13 Februari 2012 di laksanakan penertiban oleh gabungan PEMDA, POLRI dan TNI terhadap
para penambang untuk turun dari lokasi tambang emas. Masih ada masyarakat adat
yang belum sepakat.
Dalam
hal ini pemerintah tetap mempunyai peran yang paling besar, oleh karena itu untuk
menjaga agar alam yang sudah rusak dan terganggu keseimbangannya ini agar tidak
menjadi semakin rusak, diperlukan ketegasan dari pihak pemerintah selaku
regulator untuk menerbitkan peraturan yang bisa mencegah terjadinya PETI
menindak para pelaku PETI terutama para cukong atau pemilik modal karena tanpa
pemilik modal para penambang tidak akan bisa bekerja serta diperlukan kesadaran
dari para pelaku PETI[10]
bahwa apa yang mereka lakukan hanya mendatangkan sedikit keuntungan bagi mereka
tetapi mendatangkan kerugian yang besar bagi alam dan manusia yang efeknya bisa
berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun[11].
B.
Fokus Penelitian
1.
Konflik pengelolaan
tambang emas di Kabupaten Buru.
2.
Upaya
Pemerintah Daerah Dalam Mengatasi Konflik di areal Pertambangan.
C.
Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang di atas peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui konflik pengelolaan tambang emas di Pulau Buru maka
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konflik pengelolaan tambang emas di
Kabupaten Buru?
2. Bagaimana upaya Pemerintah Daerah Dalam Mengatasi Konflik di areal
Pertambangan?
D.
Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1) Untuk
mengetahui konflik pengelolaan tambang
emas di Pulau Buru.
2) Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah daerah
dalam mengatasi konflik di areal pertambangan.
E.
Manfaat
Penelitian
Manfaat
penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan
baik dari aspek teoritis maupun praktis, diantaranya :
1) Manfaat
teoritis, penilitian
ini diharapkan mampu memberikan penambahan khazanah keilmuan terutama berkenan dengan penyelesaian konflik.
2) Manfaat
praktis, penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan rujukan baik bagi praktisi
sosial, politisi
maupun pemerintah yang berkaitan
dengan upaya
penyelesaian
konflik.
F.
Penegasan Isitilah
Penegasan istilah adalah
penggambaran secara umum tentang konsep atau istilah tertentu yang berkaitan
dengan penelitian, yaitu:
a.
Konflik
Istilah konflik berasal dari kata kerja bahasa Latin configere yang berarti saling memukul.
Dari bahasa latin diadopsi ke dalam bahasa Inggris, conflict yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia, konflik.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
b.
Upaya
Dalam
kamus besar bahasa indonesia, kata upaya berarti usaha, ikhtiar (untuk mencapai
suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dsb).[12]
berdasarkan makna dalam kamus besar bahasa indonesia tersebut dapat disimpulkan
bahwa kata upaya dilakukan dalam rangka mencapai suatu maksud, memecahkan
persoalan, mencari jalan keluar dan sebagainya.
c.
Pertambangan
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan
dan penjualan bahan galian.
d.
Suku
Adalah
suatu golongan manusia yang mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya bedasarkan garis keturunan yang dianggap sama dengan merujuk kepada ciri khas seperti: budaya, bahasa, agama, perilaku.
G.
Defenisi
Operasional
Dengan difinisi operasional
maka memberikan kejelasan dan indikator terhadap peneliti sendiri mengenai data
apa yang akan dicari, dan oranglain tau maksud konsep yang dipakainya dalam
penelitian. Maka adapun indikatornya:
a. Bagaimana
peran Pemerintah dalam menanggulangi konflik pengelolaan tambang emas di Pulau
Buru:
1)
Intensitas
konflik.
2)
Bentuk-Bentuk
Konflik.
b.
Bagaimana upaya
pemerintah daerah dalam mengatasi konflik di lokasi tambang emas.
1)
Bentuk kebijakan
pemerintah dalam mengatasi konflik di lokasi pertambangan.
2)
Peran aparat
keamanan dalam mengatasi konflik di lokasi pertambangan emas.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Deskripsi Teori
a.
Teori Konflik
Istilah
konflik berasal dari kata kerja bahasa Latin configere yang berarti saling memukul. Dari bahasa latin diadopsi
ke dalam bahasa Inggris, conflict yang
kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia, konflik. Para pakar telah
mengemukakan berbagai definisi mengenai konflik. Definisi yang dikemukakan para
pakar tersebut tampak berbeda, walaupun intinya sama, karena mereka
mendefinisikan konflik dari perspektif yang berbeda. Ada yang mendefinisikan
dari perspektif psikologi, sains prilaku, sosiologi, komunikasi, antropologi
dan ilmu sosial[13].
Banyak
orang berpendapat bahwa konflik merupakan sesuatu yang buruk, negatif, dan
merusak. Oleh karena itu, konflik harus dicegah dan dihindari. Stephan P.
Robbins (1992) menyebut asumsi ini sebagai pandangan
tradisional (traditional point of view). Mereka yang menyatakan konflik
sebagai sesuatu yang merusak mengasosiasikan konflik dengan sesuatu yang
negatif, antara lain sebagai berikut: konflik menimbulkan sesuatu yang buruk,
seperti pertentangan kompetisi, perkelahian, perang, dan kerugian. Konflik
merusak keharmonisan hidup dan hubungan baik antarmanusia. Konflik merusak
keharmonisan keselarasan serta keseimbangan hidup dan interaksi sosial
antarmanusia[14].
Sebagian
pemimpin dan manajer menganggap konflik itu baik dan diperlukan. Stephen P.
Robbins (1992), menyebut asumsi sebagai pandangan penganut yang senang
berinteraksi (the interactionist view)menurut
asumsi ini konflik diperlukan untuk menciptakan perubahan dan kemajuan. Konflik
merupakan proses tesis, antitesis, sintesis dan sintesis. Mereka yang
berpendapat konflik baik dan membangun sesuatu yang baru akan menganjurkan para
pemimpin manajer untuk meneruskan konflik yang sedang terjadi-secara
minimal-untuk mendorong kreativitas dan kritik diri. Tanpa konflik, Orde Lama
masih terus berkuasa dan Orde Baru tidak akan pernah ada. Demikian juga, tanpa
konflik, reformasi juga tidak akan pernah terjadi di Indonesia.
Adapun beberapa
aktifitas konflik berdasarkan bentuk, ciri hingga pihak yang terlibat antaralain:
1.
Konflik konstruktif dan konflik deskruktif
Dalam
koflik konstruktif terjadi siklus konflik konstruktif yaitu siklus di mana
pihak-pihak yang terlibat konflik sadar akan terjadinya konflik dan merespon
konflik secara potisitf untuk menyelesaiakan konflik. Secara give and take.
Kedua belah pihak berupaya berkonpromi atau berkolaborasi sehingga terciptanya
win dan win Solution
yang memuaskan kedua belah pihak yang terlibat konflik.
Konflik konstruktif juga adalah sebagai konflik yang
prosesnya mengarah kepada mencari solusi mengenai subtansi konflik.Konflik
jenis ini membangun sesuatu yang baru atau mempererat hubungan pihak-pihak yang
terlibat konflik; ataupun mereka memperoleh sesuatu yang bermanfaat dari
konflik. Pihak-pihak yang terlibat konflik secara fleksibel menggunakan
berbagai teknik manajemen konflik, seperti negosiasi, give and take, humor, bahkan voting untuk mencari solusi yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak.
Sedangkan konflik deskrutif,
pihak-pihak yang terlibat konflik tidak fleksibel atau kaku karena tujuan
konflik didefinisikan secara sempit yaitu untuk mengalahkan satu sama lain.
Interaksi konflik berlarut-larut, siklus konflik tidak terkontrol karena menghindari isu konflik
yang sebenarnya interaksi pihak-pihak yang terlibat konflik membentuk spiral
yang panjang yang makin lama makin menjauhkan jarak pihak-pihak yang terlibat
konflik. Pihak-pihak yang terlibat konflik menggunakan teknik manajemen konflik
kompetisi, ancaman konfrontasi, kekuatan, agresi dan sedikit sekali menggunakan
nigosiasi untuk menciptakan win dan win solution. Konflik jenis ini merusak
kehidupan dan menurunkan kesehatan organisasi konflik deskrutif sulit
diselesaikan karena pihak-pihak yang terlibat konflik berupaya saling
menyelamatkan muka mereka. Upaya menyelematkan muka membuat konflik berlangsung
lama.
2.
Konflik realitas dan non-realitas
Menurut Lewis Coser seperti dikutip oleh Joseph P.
Flogerdan Marshal S. Poole (1984) mengelompokkan konflik menjadi konflik
realitas dan konflik non realitas.Konflik realitas. Konflik yang terjadi karena
perbedaan dan ketidaksepahaman cara pencapain tujuan atau mengenai tujuan yang
akan dicapai. Dalam konflik jenis ini interaksi konflik memfokuskan pada isu
ketidaksepahaman mengenai subtansi atau objek konflik yang harus diselesaikan
oleh pihak yang terlibat konflik. Di sini, metode manajemen konflik yang
digunakan adalah dialog, persuasi, musyawarah, voting dan negosiasi. Kekuasaan dan agresi sedikit sekali
digunakan. Sedangkan konflik non realistis. Konflik yang terjadi tidak
berhubungan dengan isu subtansi penyebab konflik. Konflik ini dipicu oleh
kebencian atau prasangka terhadap lawan konflik yang mendorong melakukan agresi
untuk mengalahkan atau menghancurkan lawan konfliknya. Penyelesaian perbedaan
pendapat mengenai isu penyebab konflik tidak penting. Hal yang penting adalah
bagaimana mengalahkan lawannya. Oleh karena itu, metode manajemen konflik yang
digunakan adalah agresi, menggunakan kekuasaan, kekuatan dan paksaan. Contoh
jenis konflik ini adalah konflik karena perbedaan suku dan ras, yang sudah menimbulkan
kebencian yang mendalam[15].
Dan konflik kebijakan
pertambangan, konflik terjadi di area pertambangan di Pulau Buru di sebabkan
karena pemerintah daerah ingin mengambil alih tetapi ada sebagian masyarakat
adat yang tidak sepakat. Sehingga terjadi konflik di antara masyarakat dengan
pemerintah daerah.
Konflik pertambangan adat
dan pemerintah daerah kabupaten Buru dikarenakan pengelolaan tambang yang tidak
tradisonal lagi semenjak awal 2012 dan hal ini mengakibatkan pencemaran
lingkungan dan dampak ekonomi yang sanggat tinggi. Sehingga pemerintah ingin
mengambil alih lokasi tambang tersebut namun ada saja profokator yang menyebabkan
terjadinya konflik antara Masyarakat Adat Kayely dan Ambalau terjadi.
Faktor penyebab terjadinya
konflik di tambang emas karena ada oknum-oknum yang tidak bertangung jawab yang
membuka lokasi tambang tanpa izin Pemerintah dan perebutan lokasi tambang yang sudah
ditutup sesuai Intruksi Bupati No. 1 Tahun 2012. Berdasarkan
bagan di atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 bahwa semua yang melakukan
aktifitas bertambangan maupun yang membeli emas harus patuh memiliki izin usaha
sesuai dengan peraturan pemerintah daerah Kabupaten Buru Nomor 11 Tahun 2012
tentang tatacara izin pertambangan.
b.
Teori Kebijakan
Publik
Istilah “kebijakan” disempadankan dengan
kata bahasa Inggris “Policy” yang
dibedakan dari kata “kebijaksanaan” (wisdom) maupun “kebajikan” (virtues).
Dengan demikian kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealu dan Prewit bahwa kebijakan
adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang
konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang
terkena kebijakan itu). Demikian juga yang disampaikan Titmuss (1974)
mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang
diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu yang senantiasa berorientasi kepada
masalah (problem-oriented) dan
berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa suatu kebijakan adalah suatu
ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak
yang dibuat secara terencana konsisten dalam mencapai tujuan tetentu.[16]
Kemudian menurut tadaro (1997) dalam Trodoyo Kusumastanto (2003: 13) menambahkan
bahwa suatu kebijakan sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung.
Artinya dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan,
kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri melainkan merupakan paket
kebijakan yang komponen-komponennya saling melengkapi dan menunjang.
Pada dasarnya kebijakan dan pembangunan
adalah dua konsep yang terkait. Ketika pembangunan adalah konteks dimana
kebijakan beroperasi maka kebijakan yang menunjuk pada kerangka kerja
pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian tujuan-tujuan
pembangunan kedalam beragam program dan proyek.[17]
Dengan
demikian kebijakan publik adalah seperangkat tindakan (Course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline),
rencana (plan), peta (map) atau strategi yang dirancang untuk
menerjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah kedalam program
dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu.[18]
Demikian
Edward III dan Sharkanshy menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah apa yang
pemerintah katakan dan dilakukan atau tidak dilakukan. Demikian juga yang
disampaikan Dye (1992) kebijakan publik adalah apapun yang pemerintah pilih
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.[19]
Dalam elemen utama “kebijakan” adalah tujuan, proses implementasi dan pencapaian
hasil suatu inisiatif atau keputusan kolektif yang dibuat oleh pembuat
kebijakan ( pemerintah).[20] Dan maksud dan tujuan dari kebijakan
publik dibuat adalah untuk memecahkan masalah publik yang tumbuh kembang di
masyarakat.[21]
Wahab (1991: 13) dalam Joko Widodo
(2007: 14) bahwa kebijakan publik ini berkaitan dengan apa yang senyatanya
dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan.
Dalam
memahami berbagai definisi kebijakan public trsebut diatas, maka menurut Young
dan Quinn dalam Suharto Edi ( 2008 :
44 ) perlu dipahami beberapa konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik:
a). Tindakan Pemerintah yang berwenang.
Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplemntasikan oleh badan
pemerintah yang memilki kewenangan hukum, politis dan finansial untuk
melakukannya.
b). Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan
masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan
yang konkrit yang berkembang di masyarakat.
c). Seperangkat tindakan yang
berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan
tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang
dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak.
d). Sebuah keputusan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan
kolektif untuk memecahkan masalah. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan
berdasarkan keyakinan bahwa suatu akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan
karenanya tidak memerlukan tindakan tertentu.
e). Sebuah justifikasi yang dibuat oleh
seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan
atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah
dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan
yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan
pemerintah, maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode secara umum berisi cara atau langkah-langkah
praktis yang ditempuh oleh peneliti untuk mencapai tujuan dari penelitian itu
sendiri. Pada bagian ini dipaparkan jenis penelitian, sumber penelitian, teknik
pengumpulan data, subyek penelitian, lokasi penelitian dan analisis data.
A.
Jenis
penelitian
Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskritif kualitatif, yaitu menggambarkan
dan menelah secara lebih jelas dari beberapa faktor yang berkaitan dengan kondisi,
situasi dan fenomena yang sedang diselidiki[22], penelitian
ini mengambarkan peran pemerintah dalam menangulangi konflik pengelolaan
tambang emas di Pulau Buru.
B. Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat dimana penelitian
dilakukan untuk mendapatkan informasi dan data-data yang diperlukan untuk
menunjang penelitian ini. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di tambang emas
Gunung Botak dan ke Pemerintah Daerah.
C.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Sumber data
primer, diperoleh dari hasil penelitian lapangan secara langsung dari
sebenarnya dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan konflik pengelolaan tambang
emas dalam hal ini untuk memperoleh sumber data primer digunakan teknik
wawancara dan observasi. Adapun peneliti mewawancara narasumber sebagai data
primer adalah sebagai berikut:
1) Raja adat petuanan Kayely beserta marga yang berada
dalam petuanan Kayely. Informasi yang digali adalah apa yang menjadi latar
belakang sampai lokasi tambang emas tidak ingin dikelola pemerintah.
2) Pemerintah Daerah beserta bidang-bidang yang terkait.
Informasi yang digali adalah apa penyebab konflik pengelolaan tambang emas di
Pulau Buru.
3) Masyarakat yang ingin menambang (wajib membayar)
karcis masuk sebesar Seratus Ribu Rupiah perorang dan semua pembayaran di
lokasi tambang tidak masuk ke Pemerintah Daerah.
b. Sumber data sekunder, diperoleh dari teknik
dokumentasi dan kepustakaan. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari dan
mengumpulkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan data melalui
informasi secara tertulis atau gambar-gambar yang berhubungan fakta dan kondisi
dilapangan tentang konflik pengelolaan tambang emas di Pulau Buru.
D. Subyek
penelitian
Subyek penelitian adalah orang yang bermanfaat untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar sebuah penelitian, karena sebagai
subyek yang mampu memberikan informasi yang luas-luasnya, maka dalam penelitian
ini peneliti sangat berhati hati dalam menentukan informan, agar didapatkan
informasi yang valid dan lengkap.
Peneliti menetapkan para informan peneliti yang dipandang dapat
memberikan pengalaman yang seluasnya, terutama yang berhubungan dengan konflik
pengelolaan tambang emas, sehingga ditetapkan subyek penelitian ini adalah:
Raja kayely, Pemerintah Daerah dan masyarakat yang ikut menambang dan
masyarakat yang tidak ikut menambang.
E.
Teknik pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini mengunakan teknik:
a.
Wawancara
Penelitian ini mengunakan wawancara terstruktur, dalam
melakukan wawancara peneliti telah menyiapkan instrument penelitian berupa
pertanyaan-pertanyaan tertulis yang telah disiapkan secara rinci khusunya yang
berkaitan dengan konflik pengelolaan tambang emas di Pulau Buru. Pihak yang
akan diwawancara dalam penelitian ini adalah Raja Kayely, Pemerintah Daerah dan
masyarakat yang ikut menambang maupun yang tidak ikut menambang.
b. Observasi
Diartikan sebagai pengamatan dan penacatatan secra
sistematis terhadap gejala yang tampak objek penelitian.Pengamatan dan
pencatatan yang dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya
peristiwa.Observasi yang peneliti lakukan dengan melihat langsung peran
pemerintah dalam pengelolaan konflik di tambang emas Pulau Buru.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode untuk mengumpulkan
data-data yang digunakan untuk menelusuri data-data yang mendukung penelitian
ini, dikatakanya juga bahwa dokumentasi juga biasa dipergunakan sebagai data
sekunder atau umum. Teknik dokumentasi merupakan penelusuran dokumen-dokumen
resmi dalam menjajaki sumber tertulis sehingga memperkaya data, disamping itu
juga dapat membantu peneliti dalam menganalisis.
Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data
yang ada hubungannya dengan penelitian terhadap konflik pengelolaan tambang
emas di Pulau Buru. Teknik dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal atau
variabel yang berupa catatan, traskip, buku, surat kabar, majalah, agenda dan
sebagainya. Dokumentasi dapat menjawab perumusan dari penelitian ini tentang
konflik pengelolaan tambang emas di Pulau Buru.
F. Teknik Analisis
Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskritif
kualitatif.Data diperoleh kemudian dikumpulkan untuk diolah secara
sistematis.Dimulai dengan wawancara, observasi, mengedit, mengklasifikasi,
mereduksi dan selanjutnya aktifitas penyajian data serta menyimpulkan
data.Teknis analisis data dalam penelitian ini mengunakan metode analisis
interaktif[23].
a. Reduksi data
Merangkum, meringkas atau mengambil kesimpulan dari
data-data yang suda kita dapatkan, dengan mencari fokus atau pokok permasalahan
terhadap konflik pengelolaan tambang emas di Pulau Buru. Dengan demekian kita
nantinya akan mendapatkan hasil penelitian yang lebih valid. Dari penelitian
ini nanti akan dirangkum data-data yang sudah didapatkan baik data primer
maupun dari data sekunder. Dengan hakikat objek tersebut, Husserl berpendapat
bahwa untuk menangkap hakikat objek-objek tersebut, diperlukan tiga macam
reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam mencapai tahap
keilmuan pengetahuan[24],
yaitu:
1)
Reduksi untuk
menyingkirkan segala sesuatu (data) yang subjektif untuk menerima data-data
yang objektif.
2)
Reduksi untuk
menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang objek yang diperoleh dari sumber lain
dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada.
b. Display Data
Penyajian data atau display data merupakan langkah
kedua setelah reduksi data dilakukan oleh peneliti. Penyajian data diikuti oleh
proses mengumpulkan data-data yang saling berhubungan satu sama lain melalui
wawancara.
Pendokumentasian dan pengamatan yang lebih mendalam.
Hal ini dimaksud untuk memperkuat hasil reduksi data untuk diolah lebih lanjut
sehingga pada akhirnya akan menghasilkan suatu kesimpulan terhadap konflik
pengelolaan tambang emas di Pulau Buru setelah data diperoleh berupa tulisan
baik dari catatan maupun rekaman yang suda reduksi, harus didisplay secara
tertentu untuk masing-masing pola, kategori, fokus atau tema yang hendak
dipahami dan dimegerti[25]
data kemudian disajikan dalam bentuk diskritif. Data-data yang saling berhubungan
dikelompokkan sehingga terbentuk kelompok-kelompok data yang selanjutnya akan
disimpulkan.
c. Pengambilan kesimpulan
Langkah ketiga yaitu kesimpulan.Setelah peneliti
menarik kesimpulan dari hasil penelitian, peneliti mempelajari dan memahami
kembali data-data hasil penelitian, meminta pertimbangan kepada berbagai pihak
mengenai data-data yang diperoleh dilapangan.Isi kesimpulan tersebutkan
menyatakan kredibilitas dari asumsi awal yang ditentukan oleh peneliti tehadap
konflik pengelolaan tambang emas di Pulau Buru.
Daftar Pustaka
A. Michale huberman, Matthew B. Milles,. Analisis data kwalitatif. 2009. UI
press. Jakarta.
Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. 2008. Rajawali Pers.
Jakarta.
Fajarrahma, 2014. pertambangan emas illegal di bumi khatulistiwadiakses
10 Juni 2016
Jhon, Cresswell,. Research Design, pendekatan kwalitatif, Kuantitatif
dan Mised. Yogyakarta: Pustaka belajar.
Ikbar, Yanuar,
MA, Metode penelitian sosial kualitatif, 2012, Rafika Aditama. Bandung,
Thomas Sunaryo.”Manajemen Konflik dan Kekerasan”,
Makalah pada Sarasehan tentang Antisipasi Kerawanan Sosial di DKI. Diselenggarakan oleh Badan Kesatuan
Bangsa Prop.DKI tgl.15-17 September 2002, di Bogor.
Kementrian dalam
negeri,2013. Pemerintah Daerah wajib redam potensi konflik di masyarakat. http://www.kemendagri.go.id/article/2013/09/18/pemerintah-daerah-wajib-redam-potensi-konflik-dalam-masyarakat.
Hessel Nogi S.
T,. 2013. “Teori dan Konsep Kebijakan Publik” dalam
Kebijakan Publik yang Membumi, konsep, strategi dan
kasus, Yogyakarta.
Salim
Hsz, Hukum Pertambangan Di Indonesia,
Makalah Kepolisian
Daerah Maluku Resort
Pulau Buru
tentang Sosialisasi Undang-Undang
No 4 Tahun
2009 tentang pertambangan, diakses 10 Juni 2016
Suharto, edi.
2008. Analisis Kebijakan Publik “Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan
Sosial. Edisi Revisi. Alfabeta. Bandung.,
Suharto, edi.
2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika aditama. Bandung.,
Widodo, joko.
2007. Analisis Kebijakan Publik “Konsep
dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik”.
Bayumedia Publishing. Malang.,
Wirawan. 2013.
Konflik dan manajemen konflik Teori,aplikasi,dan penelitian. Ghalia
Indonesia.
[1] Thomas
Sunaryo.”Manajemen Konflik dan
Kekerasan”, Makalah pada Sarasehan tentang Antisipasi Kerawanan Sosial di
DKI. Diselenggarakan oleh Badan Kesatuan
Bangsa Prop.DKI tgl.15-17 September 2002, di Bogor.
[2] Kementrian
dalam negeri,2013. Pemerintah Daerah wajib redam potensi konflik di masyarakat.
http://www.kemendagri.go.id/article/2013/09/18/pemerintah-daerah-wajib-redam-potensi-konflik-dalam-masyarakat.
[3] Drs. Hessel Nogi S. T,. 2013. “Teori dan Konsep Kebijakan Publik” dalam
Kebijakan Publik yang
Membumi, konsep, strategi dan kasus, Yogyakarta. hal: 13
[4] Wirawan.
2013. Konflik dan manajemen konflik Teori,aplikasi,dan penelitian. Ghalia Indonesia. Hal: 15
[7]
Fajarrahma, 2014. pertambangan emas illegal di bumi khatulistiwa, , diakses 10
Juni 2016
[9] Makalah Kepolisian Daerah
Maluku
Resort
Pulau
Buru
tentang Sosialisasi
Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang
pertambangan, diakses 10 Juni 2016
[11] Makalah
Kepolisian Daerah Maluku Resort Pulau Buru tentang Sosialisasi Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang
pertambangan, dikases 10 Juni 2016
[12] Hasan Alwi, 2007. Kamus Besar Bahasa
Indonesia”. Jakarta. Balai Pustaka.hal: 1250. Cetakan Keempat.
[13] Wirawan.
2013. Konflik dan manajemen konflik Teori,aplikasi,dan penelitian. Ghalia Indonesia. Hal: 1
[14]Wirawan,
konflik dan manajemen konflik. Teori, aplikasi dan penelitian, 4 Juni 2014
[15]Wirawan,
konflik dan manajemen konflik, teori aplikasi dan penelitian 2013, 2 Juni 2014
[16] Edi Suharto. 2008. Analisis Kebijakan Publik
“Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Edisi Revisi. Alfabeta.
Bandung., hal: 7
[17] Edi Suharto. 2008. Analisis
Kebijakan Publik “Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Edisi
Revisi. Alfabeta. Bandung., hal:1
[18] Edi Suharto. 2006. Membangun Masyarakat
Memberdayakan Rakyat. Refika aditama. Bandung., hal: 107
[19] Joko Widodo, 2007. Analisis Kebijakan Publik “Konsep dan
Aplikasi Proses Kebijakan Publik”.
Bayumedia Publishing. Malang., hal: 12
[20] Ibid.,hal: 109
[21] Joko Widodo, 2007. Analisis Kebijakan Publik
“Konsep dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik”.
Bayumedia Publishing. Malang., hal: 12
[22]Cresswell,
Jhon. Research Design, pendekatan kwalitatif, Kuantitatif dan Mised.
Yogyakarta: Pustaka belajar. Hal:167
[23]Matthew B.
Milles, A. Michale huberman. Analisis data kwalitatif. 2009. UI press. Jakarta
[24]Dr. Drs.
Yanuar Ikbar, MA, Metode penelitian sosial kualitatif, 2012, Rafika Aditama.
Bandung, hal:164
[25]Sanapiah
Faisal. Format-format Penelitian Sosial. 2008. Rajawali Pers. Jakarta. Hal:256
Tidak ada komentar:
Posting Komentar