ANALISIS
POLITIK LEGILASI DALAM PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BIMA 2011-2031
A.
Latar
Belakang
Sejak memasuki era
reformasi Indonesia mengalami desentralisasi secara besar-besaran. Di satu sisi
efeknya, selain terjadi desentralisasi otoritas politik dan administrasi dari
pusat ke daerah yakni pelaku politik seperti pemerintah Daerah, politik lokal, organisasi
non pemerintah, dan elite lokal terhadap intervensi dari pusat, disisi lain
juga terjadi desentralisasi kekuasaan dari tangan lembaga presiden kepada
lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Berbagai lembaga-lembaga tinggi negara
terutama DPR akhirnya memiliki kekuasaan yang relatif besar untuk mengendalikan
proses pengambilan kebijakan di tingkat Nasional, maupun Daerah.[1]
Pada dasarnya Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) melaksakan fungsi legislasinya dalam rangka melahirkan
hukum positif “in abstracto” sebagai
proses awal sebelum proses penegakkan hukum merupakan suatu proses yang sangat kompleks
(M. Solly Lubis (1989, hal: 64). Hal ini tampak meski telah ada aturan hukum,
namun di dalamnya tetap sarat oleh interaksi politik.[2]
Terutama dalam proses
Legislasi di Daerah (Perda) dengan aturan hukum terkait legislasi dan
konfigurasi politik yang relatif demokratis, seharusnya legislasi di daerah
akan melahirkan Perda yang aspiratif. Faktanya, banyak terbit Perda yang
bermasalah (tidak aspiratif) di era otonomi seluas-luasnya ini. Itu tidak
terlepas dari interaksi politik dalam legislasi yang mencerminkan demokrasi
elitis/oligarkis (Henk Schulte,. et al
2014: 22).
Asumsi yang kemudian
dibangun dari pemahaman demikian itu adalah bahwa legislasi sangat dipengaruhi
oleh interaksi politik. Jika konfigurasi politik yang dianut suatu negara
demokratis maka dalam legislasinya akan memberi peranan besar dan partisipasi
penuh kelompok sosial dan individu dalam masyarakat. Sebaliknya, jika
konfigurasi politik yang dianut otoriter, maka peranan dan partisipasi
masyarakat dalam legislasi relatif kecil. Hal demikian ini barang tentu juga
terjadi dalam legislasi peraturan daerah (Perda).
Ditengarai, banyaknya
Perda bermasalah/tidak aspiratif tersebut dikarenakan proses pembentukannya
yang elitis. Elitisme ini ditunjukkan oleh suatu keadaan di mana legislasi
Perda hanya dilakukan oleh elite daerah (legislatif daerah dan eksekutif
daerah) saja.
Tidak terkecuali dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 9 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima 2011-2031 terutama dalam
urusan pengelolaan lingkungan hidup[3].
Sebenarnya urusan pengelolaan lingkungan hidup menjadi masalah tersendiri di
Indonesia. Misalnya saja daya dukung Peraturan Daerah Kabupaten/Kota terutama
dalam pengelolaan hidup yang ada di Indonesia banyak tidak memadai, secara umum
di Jawa saja, ada 278 peraturan daerah mengatur eksploitasi sumber daya alam
tanpa mengatur pemulihannya.[4]
Padahal jelas-jelas harus
diakui bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 sebagai panduan
daerah-daerah di Indonesia dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan lingkungan
hidup diharapkan menjadi sebuah loncatan besar dalam upaya untuk melindungi dan
mengelola lingkungan hidup. Karena untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai
Instrumen hukum yang mewajibkan dan mengatur bagaimana caranya
mengimplementasikan paradigma pembangunan berkelajutan melalui instrument
kajian lingkungan hidup strategis
(KLHS), Amdal, Izin Lingkungan, sampai pada pengawasan dan penegakkan
hukum yang jauh lebih ketat. Ini dimaksudkan untuk memastikan terjembataninya
kepentingan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di satu
pihak dan kepentingan perlindungan lingkungan hidup dipihak lain.[5]
Fenomena demikian itu
sungguh mengherankan, mengingat hukum yang menjadi pedoman dalam legislasi
telah merumuskan ketentuan yang mendukung demokratisasi dalam legislasi Perda
pada satu sisi, dan pada sisi bersamaan konfigurasi politiknya telah dianggap
demokratis pula. Muncul pertanyaan, bagaimana mungkin konfigurasi politik yang
telah dianggap demokratis dan hukum sebagai dasar legislasi juga telah
mendukung demokratisasi legislasi, namun ternyata dalam praktik legislasinya
belum mencerminkan demokrasi.
B.
Definsi
Legislasi
Legislasi’ berasal dari
bahasa Inggris legislation. Dalam khasanah
ilmu hukum, ‘legislasi’ mengandung makna dikotomis yang bisa berarti (1) proses
pembentukan hukum, dan juga bisa berarti (2) produk hukum. Sehingga legislasi
dimaknai sebagai proses pembentukan hukum dalam rangka melahirkan hukum positif
(dalam arti hukum perundang-undangan/peraturan perundang-undangan) (Andang L.
Binawan, 2005: 9).
Carl J. Friedrich
mengemukakan bahwa parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat (representative
assembly), maka legislasi adalah fungsi utamanya. Sedangkan menurut Montesqueieu, lembaga
perwakilan rakyat (representative body) dibentuk untuk membuat UU, atau
untuk melihat apakah UU dilaksanakan sebagaimana seharusnya, dan memberikan
persetujuan dalam hal kekuasaan eksekutif menentukan menaikkan keuangan publik
(public money).[6]
Proses pembentukan
hukum (legislasi) dalam melahirkan hukum positif (in abstracto) akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh konfigurasi
politik tertentu yang berinteraksi dalam proses tersebut. Karena politik itu
adalah penentuan kebijakan umum mengenai pengelolaan dan pengendalian
masyarakat (public policy making).[7]
Secara konseptual,
konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu negara dapat ditelaah
secara dikotomis, yaitu: pertama, konfigurasi politik demokratis, dan kedua,
konfigurasi politik otoriter. Jika konfigurasi politik yang dianut suatu negara demokratis, maka dalam proses legislasinya
akan demokratis pula sebab konfigurasi tersebut akan memberikan peranan besar
dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam
masyarakat. Sedangkan jika konfigurasi politik yang dianut negara otoriter,
maka dalam proses legislasi peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
Hal ini dikarenakan energi politik lebih besar daripada energi hukum, sehingga
proses legislasi selalu sarat dengan intervensi politik. Asumsi tersebut untuk
sebagian dapat dikatakan benar, sebab proses legislasi berada di lembaga
legislatif yang cenderung lebih beraspek politik.[8]
Akan tetapi asumsi tersebut belum lengkap,
karena dalam legislasi tidak semata-mata hanya persoalan intervensi dan
interaksi politik ke dalam proses tersebut. Nyata dalam teori maupun praktik
akan tampak bahwa proses legislasi juga tidak lepas dari hukum (dalam arti
hukum perundang-undangan/peraturan perundang-undangan) yang menjadi pedoman
dalam proses tersebut.
Satjipto Rahardjo, (2003)
misalnya, mengatakan bahwa inti legislasi terdiri atas dua golongan besar,
yaitu tahap sosiologis (sosio-politis) dan tahap yuridis. Dalam tahap
sosiologis berlangsung proses-proses untuk mematangkan suatu gagasan dan/atau
masalah yang selanjutnya akan dibawa ke dalam agenda yuridis. Apabila gagasan
itu berhasil dilanjutkan, bisa jadi bentuk dan isinya mengalami perubahan,
yakni makin dipertajam (articulated) dibanding
pada saat ia muncul. Pada titik ini, ia akan dilanjutkan ke dalam tahap yuridis
yang merupakan pekerjaan yang benar-benar menyangkut perumusan atau
pengkaidahan suatu peraturan hukum. Tahap ini melibatkan kegiatan intelektual
yang murni bersifat yuridis yang niscaya ditangani oleh tenaga-tenaga yang khusus
berpendidikan hukum. [9]
Bagi Ann Siedman
et.al., (2001, hal: 26-30) proses pembentukan hukum (law-making process) haruslah berpatokan
pada dan melalui enam tahapan penting, yaitu: (1) asal-usul rancangan
undang-undang (a bill’s origins), (2)
konsep (the concept paper), (3) penentuan
prioritas (prioritise), (4)
penyusunan rancangan undang-undang (drafting
the bill), (5) penelitian (research),
dan (6) siapa yang mempunyai akses? (who
has acces and supplies input into the drafting process).
Proses legislasi untuk
menjadikan hukum positif (in abstracto)
nyatanya selalu merupakan hasil dari proses yang sarat dengan berbagai muatan,
nilai, dan kepentingan para aktor, yang di dalamnya baik pada saat dalam proses
pembentukan hingga pemberlakuannya niscaya mengandung pemihakan-pemihakan.
Berangkat dari
pemahaman-pemahaman yang demikian, maka interaksi politik dan hukum dalam mempengaruhi
proses pembentukan Perda menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. Idealnya, pembentukan
Perda berpegang pada peraturan hukum, sebab pada dasarnya hukum telah
merumuskan bagaimana melakukan legislasi yang baik pada satu sisi, dan
sekaligus dengan tidak mengabaikan interaksi dan intervensi politik pada sisi
yang bersamaan.
Mengkaji legislasi
dalam ranah Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre),
niscaya harus menerima suatu kenyataan bahwa legislasi, meski berpedoman pada
hukum, pada dasarnya merupakan pencerminan dari proses yang terjadi dalam
kehidupan sosio-politik (socio-political
life). Fakta legislasi demikian itu dikarenakan organ yang berkewenangan
untuk membentuk hukum itu merupakan lembaga politik. Oleh karenanya, studi ini
selanjutnya cenderung untuk memilih asumsi bahwa setiap legislasi selalu dipengaruhi
oleh interaksi politik tertentu yang tengah berlangsung di negara yang
bersangkutan. Berdasar asumsi ini dapat diketengahkan bahwa suatu negara yang
konfigurasi politiknya demokratis, akan demokratis pula dalam proses
legislasinya.[10]
DPR merupakan cermin
representasi politik (political
representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial
atau regional (regional representation).
DPD dilahirkan dan ditampilkan sebagai salah satu lembaga perwakilan rakyat
yang menjembatani kebijakan (policy),
dan regulasi pada skala nasional oleh pemerintah (Pusat) di satu sisi dan
Daerah di sisi lain.[11]
C.
Analisis
Studi Kasus
Pemerintah Daerah
Kabupaten Bima memiliki Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima 2011-2031, sebagai aturan yang mengatur
tentang tataruang wilayah kabupaten Bima terutama penempatan, peruntukkan,
pemanfaatan lahan yang harus memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan.
Seperti yang dijelaskan pada pasal 4 huruf g, h dan I dalam Perda tersebut,
menjelaskan bahwa pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan
lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi dan, pengembangan kawasan
budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan lingkungan hidup yang
didahului dengan kajian lingkungan hidup strategis, dan bertujuan untuk
peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan. Ini tidak lain
merupakan upaya pengejawantahan atas Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang penataan ruang dimana penyelenggaraan penataan ruang
dilakukan dengan tidak mengabaikan lingkungan alam dan tersedianya ruang
terbuka untuk menciptakan keseimbangan lingkungan dan wadah sosial masyarakat[12] dan juga Undang-undang nomor 32 tahun 2009 yang mengaharapkan
etika lingkungan hidup tidak lagi sekedar berhenti menjadi perbincangan
teoririts dan normatif melainkan dapat menjiwai dan terimplementasi secara
konkret (Sonny Keraf, 2010: xv).
Namun beberapa kasus
yang terjadi di Kabupaten Bima terkait penataan ruang berbicara lain. Kasus
konversi hutan mangrove menjadi perumahan, tambak ikan dan udang, dan tambang
pasir, padahal dalam Perda tersebut mangrove menjadi kawasan lindung.[13] Hingga akhirnya
kerugian materiil akibat bencana gelombang pasang yang terjadi di pesisir utara
Bima mencapai Rp 2,47 Milliar.[14]
Juga dibeberapa tahun terakhir ini masyarakat pesisir seperti di Kecamatan
Woha, Palibelo, Sape dan Bolo semakin getol meminta perhatian pemerintah
menyikapi banjir rob yang terjadi. Misalnya juga saat bulan tertentu luapan air
laut (banjir) rob kadang menggenangi landasan pacu Bandara Sultan Muhammad
Salahuddin Bima. Masalah itu terjadi karena abrasi pantai yang terus meningkat
setiap tahunnya. Garis pantai yang semakin mendekati daratan sehingga
kecenderungan penurunan luas daratan. Abrasi pantai terjadi hampir disepanjang
pesisir jalan menuju Kota-Bima, dan bagian utara kecamatan Ambalawi dan Wera,
Sape dan Langgudu, sebagian kecil kecamatan parado bagian selatan.
Penyebab abrasi pantai adalah
akibat penebangan pohon-pohon mangrove untuk di ambil kayunya dan konversi
untuk tambak garam dan lahan budidaya laut (misalnya tambak bandeng, udang dan
lain-lain). Abrasi pantai pada beberapa lokasi disepanjang jalan yang ada di
kabupaten Bima sudah mendekati pemukiman, penduduk, kawasan, wisata pesisir dan
fasilitas umum (jalan raya). Kondisi tersebut akan menyebabkan relokasi yang
membutuhkan biaya yang besar.[15]
Permasalahan lainnya
berdasarkan hasil survei beberapa pihak di Desa Sangiang Kecamatan Wera
Kabupaten Bima yang diperkuat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Masyarakat di
desa itu menghadapi kesulitan mendapatkan air tawar karena bercampur dengan air
laut. Kondisi itu memaksa masyarakat di desa itu harus berjalan kaki atau
menggunakan sepeda motor menempuh jarak sampai satu kilometer lebih untuk
mengambil air tawar di sekitar bukit. Intrusi air asin ke dalam akuifer daratan
di wilayah pesisir desa itu disebabkan karena tidak ada tanaman penyangga.[16]
Karena selain menahan banjir rob, mangrove juga berfungsi menjaga kesimbangan
hidrostatik air bawah tanah tawar dan air asin dari laut.[17]
Selain itu banyaknya
kasus pengkaplingan tanah oleh para pengusaha tambak diwilayah pesisir juga
wilayah sempadan sungai di Kabupaten Bima, dan yang lebih disayangkan lagi
tanah-tanah diwilayah pesisir tersebut sudah mendapatkan surat izin dan
kepemilikan yang sah dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bima. Serta
banyaknya usaha atau kegiatan yang ada disektoral wilayah pesisir yang belum
memiliki izin Dokumen
Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) serta AMDAL (Analsis dampak Lingkungan) dari
pemerintah dan Pemerintah mentolerir akan hal itu.[18]
Selain itu
ketidakmampuan Perda tersebut dalam mengatur Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima
juga terlihat dalam implementasinya, misalnya ego sektoral yang terjadi pada
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), walaupun dalam Perda lainnya yaitu Perda
No. 2 tahun 2008 terkait Tupoksi dan Urusan Pemerintah Daerah Kabupaten Bima
menjelaskan bahwa urusan wajib Pemerintah Kabupaten Bima salah satunya adalah
urusan Lingkungan hidup, namun karena kepentingan lain, seringkali
mengesampingkan urusan wajib tersebut, misalnya dalam kasus pembangunan One Way” landasan pacu Bandara Sultan
Muhammad Salahudin Bima.
Satu sisi konsep
pembangunan lingkungan hidup ataupun dari sisi kawasan hijau dikabupaten Bima,
maka jelas akan ada kesempatan untuk mengembangkan hutan mangrove akan tetapi
dari sisi sarana dan prasarana infrastruktur yang ada dikabupaten Bima justru
seringkali menekan keberadaan mangrove seperti halnya rencana pembangunan Ibu
Kota dibagian selatan Kabupaten Bima, maka pemerintah berencana membangun dan memperpanjang
landasan pacu ‘run way” Bandara
Sultan Muhammad Salahuddin Kabupaten Bima, padahal tepat disekitar Bandara
tersebut baru saja dilakukan penanaman mangrove oleh Dinas terkait. Bayangkan
disatu sisi ketika SKPD terkait ( Dinas Kelautan Perikanan dan Badan Lingkungan
Hidup) yang punya peranan dalam konservasi mangrove, mengelolaan dan melakukan
perlindungan (rehabilitasi) terhadap hutan mangrove di Kabupaten Bima akan
tetapi disatu sisi Dinas PU (Perizinan Umum) justru malah sebaliknya, mengintervensi
keberadaan mangrove dengan melakukan pengembangan dan perluaasan “run way” bandara sultan Muhammad
Salahuddin Bima yang sampai harus mengorbankan ekosistem hutan mangrove yang
ada disekitarnya dengan alasan pengembangan wilayah.
Daftar
Pustaka
Schulte
Nordholt Henk et., al. 2014. Politik Lokal di Indonesia. Yayasan
Pustaka Obor Indonesia dan KTTLV. Jakarta.
Andang
L Binawan (2003) Hukum di Pusaran Waktu. Kompas.
Undang-Undang
No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3A).
Kompas
Edisi, Rabu, 23 Januari 2013 Sadar
Bencana Belum di Adopsi dalam Rencana Pembangunan “Identifikasi Risiko di Derah“
Kolom Lingkungan dan Kesehatan hal: 13.
Keraf,
Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Kompas. Jakarta.
Asshidique,
Jimly. 2000. Pokok-pokok hukum Tata negara Indonesia Pasca Reformasi. BIP.
Jakarta. lihat Suhelmi, Ahmad. 2007.
Pemikiran Politik Barat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. hal: 201
M.
Solly Lubis (1989) Serba-Serbi Politik dan Hukum. Mandar Maju, Bandung,
Mahfud
. (1993) Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Liberty, Yogyakarta.
Satjipto
Rahardjo. (2003). Sisi-Sisi Lain Hukum
di Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
Maria
Farida Indrati S. (2007) Ilmu Perundang-Undangan (2), Proses dan Teknik Pembentukannya.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
Efriza.
2014. Studi Parlemen. Setara Press. Malang
Haeril.
2015. Skripsi Upaya Dinas Kelautan dan Perikanan dalam Konservasi Hutan
Mangorve di Kabupaten Bima. Universitas Muhammadiyah Malang.
LAKIP
Pemerintah Kabupaten Bima Badan Linkungan Hidup 2014,
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Bima 2011-2031,
[1]
Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken.2014. Politik Lokal di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan
KTTLV. Jakarta. hal: ix
[2] Aturan hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang
No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3A). Dalam
rangka memenuhi perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) dan
Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Maka UU P3A merupakan
ketentuan yang mengikat bagi semua lembaga yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan (Menimbang huruf a). Dengan demikian, kehadiran hukum (UUP3)
dalam proses legislasi juga merupakan hal yang seharusnya diperhatikan.
[3] Pada pasal 4
huruf g, h dan i, menjelaskan bahwa pengelolaan pemanfaatan lahan dengan
memperhatikan peruntukan lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi dan,
pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan
lingkungan hidup yang didahului dengan kajian lingkungan hidup strategis, dan
bertujuan untuk peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan.
[4] Kajian daya dukung lingkungan
jawa 2006-2008 di bawah menko perekonomian Lihat Kompas Edisi, Rabu, 23 Januari
2013 Sadar Bencana Belum di Adopsi dalam
Rencana Pembangunan “Identifikasi Risiko di Derah“ Kolom Lingkungan dan
Kesehatan hal: 13.
[5] A Sonny Keraf. 2010. Etika
Lingkungan Hidup. Penerbit Kompas. Jakarta. Hal: xIV
[6] Jimly Asshidique.2000.
Pokok-pokok hukum Tata negara Indonesia Pasca Reformasi. BIP. Jakarta. lihat
juga Ahmad Suhelmi. 2007. Pemikiran Politik Barat. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. hal: 201
[7] M. Solly Lubis (1989)
Serba-Serbi Politik dan Hukum. Mandar Maju, Bandung, hal. 64.
[8] Mahfud MD, Moh. (1993) Demokrasi
dan Konstitusi di Indonesia. Liberty, Yogyakarta. hal. 24-25
[9] Satjipto Rahardjo. (2003). Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia. Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, hal. 135.
[10]
Maria Farida Indrati S. (2007) Ilmu Perundang-Undangan (2), Proses dan
Teknik Pembentukannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 11-12
[11] Efriza. 2014. Studi Parlemen.
Setara Press. Malang hal: 99
[12] Muljono, Sandyohutomo. (2008) Manajemen Kota dan Wilayah (Realita
dan Tantangan). Bumi Aksara. Jakarta
[13] Lihat pasal 32 dalam Perda No 9
tahun 11 tentang tata ruang wilayah
Kabupaten Bima
[14] Nilai ini baru total
kerugian kerusakan rumah penduduk dan infrastruktur jalan yang terdata di
Kecamatan Wera dan Ambalawi saja. Setelah bencana gelombang pasang yang
menghantam pesisir utara kecamatan Wera
dan Ambalawi tanggal 8 januari 2013 Pukul 17.00 Wita lalu, berdasarkan hasil
sementara pendataan Tim BPBD di lokasi, "sebanyak total 33 rumah mengalami
kerusakan, 27 rumah diantaranya mengalami kerusakan sedang dan 6 rumah
mengalami kerusakan berat". Kerugian Akibat Gelombang Pasang Wera Capai Rp
2,47 Miliar http://kahaba.net/berita-bima/8263/kerugian-akibat-gelombang-pasang-wera-capai-rp-247-miliar.html. Lihat Juga Gelombang Pasang
tejang Desa Sangiang-Wera, 33 Rumah alami kerusakan. http://bimakab.go.id/article-gelombang-pasang-terjang-desa-sangiang-wera-33-rumah-alami-kerusakan.html.
[15] LAKIP Pemerintah Kabupaten Bima Badan Linkungan
Hidup 2014,
[16] Mendorong pengelolaan Lingkungan berbasi
Kearifan Lokal http://opiniartikel.kampung-media.com/2014/02/24/mendorong-pengelolaan-lingkungan-berbasis-kearifan-lokal-1169
[17] Karena mangrove
berfungsi sebagai menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar dan
mengolah limbah beracun, serta penghasil O2 dan penyerap CO2,”.Warga
Karimunting Rasakan Manfaat Mangrove
[18] Lihat Skripsi. Haeril. 2015. Upaya Dinas
Kelautan dan Perikanan dalam Konservasi Hutan Mangorve di Kabupaten Bima. Hasil
Wawancara Dengan Bpk. Ahyar Staf bagian
Pemulihan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bima pada 13 februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar