Senin, 14 November 2016

ANALISIS POLITIK LEGILASI DALAM PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BIMA 2011-2031


ANALISIS POLITIK LEGILASI DALAM PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BIMA 2011-2031

 

 
A.    Latar Belakang
Sejak memasuki era reformasi Indonesia mengalami desentralisasi secara besar-besaran. Di satu sisi efeknya, selain terjadi desentralisasi otoritas politik dan administrasi dari pusat ke daerah yakni pelaku politik seperti pemerintah Daerah, politik lokal, organisasi non pemerintah, dan elite lokal terhadap intervensi dari pusat, disisi lain juga terjadi desentralisasi kekuasaan dari tangan lembaga presiden kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Berbagai lembaga-lembaga tinggi negara terutama DPR akhirnya memiliki kekuasaan yang relatif besar untuk mengendalikan proses pengambilan kebijakan di tingkat Nasional, maupun Daerah.[1]
Pada dasarnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melaksakan fungsi legislasinya dalam rangka melahirkan hukum positif “in abstracto” sebagai proses awal sebelum proses penegakkan hukum merupakan suatu proses yang sangat kompleks (M. Solly Lubis (1989, hal: 64). Hal ini tampak meski telah ada aturan hukum, namun di dalamnya tetap sarat oleh interaksi politik.[2]
Terutama dalam proses Legislasi di Daerah (Perda) dengan aturan hukum terkait legislasi dan konfigurasi politik yang relatif demokratis, seharusnya legislasi di daerah akan melahirkan Perda yang aspiratif. Faktanya, banyak terbit Perda yang bermasalah (tidak aspiratif) di era otonomi seluas-luasnya ini. Itu tidak terlepas dari interaksi politik dalam legislasi yang mencerminkan demokrasi elitis/oligarkis (Henk Schulte,. et al 2014: 22).
Asumsi yang kemudian dibangun dari pemahaman demikian itu adalah bahwa legislasi sangat dipengaruhi oleh interaksi politik. Jika konfigurasi politik yang dianut suatu negara demokratis maka dalam legislasinya akan memberi peranan besar dan partisipasi penuh kelompok sosial dan individu dalam masyarakat. Sebaliknya, jika konfigurasi politik yang dianut otoriter, maka peranan dan partisipasi masyarakat dalam legislasi relatif kecil. Hal demikian ini barang tentu juga terjadi dalam legislasi peraturan daerah (Perda).
Ditengarai, banyaknya Perda bermasalah/tidak aspiratif tersebut dikarenakan proses pembentukannya yang elitis. Elitisme ini ditunjukkan oleh suatu keadaan di mana legislasi Perda hanya dilakukan oleh elite daerah (legislatif daerah dan eksekutif daerah) saja.
Tidak terkecuali dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima 2011-2031 terutama dalam urusan pengelolaan lingkungan hidup[3]. Sebenarnya urusan pengelolaan lingkungan hidup menjadi masalah tersendiri di Indonesia. Misalnya saja daya dukung Peraturan Daerah Kabupaten/Kota terutama dalam pengelolaan hidup yang ada di Indonesia banyak tidak memadai, secara umum di Jawa saja, ada 278 peraturan daerah mengatur eksploitasi sumber daya alam tanpa mengatur pemulihannya.[4]
Padahal jelas-jelas harus diakui bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 sebagai panduan daerah-daerah di Indonesia dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup diharapkan menjadi sebuah loncatan besar dalam upaya untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Karena untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai Instrumen hukum yang mewajibkan dan mengatur bagaimana caranya mengimplementasikan paradigma pembangunan berkelajutan melalui instrument kajian lingkungan hidup strategis  (KLHS), Amdal, Izin Lingkungan, sampai pada pengawasan dan penegakkan hukum yang jauh lebih ketat. Ini dimaksudkan untuk memastikan terjembataninya kepentingan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di satu pihak dan kepentingan perlindungan lingkungan hidup dipihak lain.[5]
Fenomena demikian itu sungguh mengherankan, mengingat hukum yang menjadi pedoman dalam legislasi telah merumuskan ketentuan yang mendukung demokratisasi dalam legislasi Perda pada satu sisi, dan pada sisi bersamaan konfigurasi politiknya telah dianggap demokratis pula. Muncul pertanyaan, bagaimana mungkin konfigurasi politik yang telah dianggap demokratis dan hukum sebagai dasar legislasi juga telah mendukung demokratisasi legislasi, namun ternyata dalam praktik legislasinya belum mencerminkan demokrasi.


B.     Definsi Legislasi
Legislasi’ berasal dari bahasa Inggris legislation. Dalam khasanah ilmu hukum, ‘legislasi’ mengandung makna dikotomis yang bisa berarti (1) proses pembentukan hukum, dan juga bisa berarti (2) produk hukum. Sehingga legislasi dimaknai sebagai proses pembentukan hukum dalam rangka melahirkan hukum positif (dalam arti hukum perundang-undangan/peraturan perundang-undangan) (Andang L. Binawan, 2005: 9).
Carl J. Friedrich mengemukakan bahwa parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat (representative assembly), maka legislasi adalah fungsi utamanya.  Sedangkan menurut Montesqueieu, lembaga perwakilan rakyat (representative body) dibentuk untuk membuat UU, atau untuk melihat apakah UU dilaksanakan sebagaimana seharusnya, dan memberikan persetujuan dalam hal kekuasaan eksekutif menentukan menaikkan keuangan publik (public money).[6]
Proses pembentukan hukum (legislasi) dalam melahirkan hukum positif (in abstracto) akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik tertentu yang berinteraksi dalam proses tersebut. Karena politik itu adalah penentuan kebijakan umum mengenai pengelolaan dan pengendalian masyarakat (public policy making).[7]
Secara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu negara dapat ditelaah secara dikotomis, yaitu: pertama, konfigurasi politik demokratis, dan kedua, konfigurasi politik otoriter. Jika konfigurasi politik yang dianut suatu negara  demokratis, maka dalam proses legislasinya akan demokratis pula sebab konfigurasi tersebut akan memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Sedangkan jika konfigurasi politik yang dianut negara otoriter, maka dalam proses legislasi peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Hal ini dikarenakan energi politik lebih besar daripada energi hukum, sehingga proses legislasi selalu sarat dengan intervensi politik. Asumsi tersebut untuk sebagian dapat dikatakan benar, sebab proses legislasi berada di lembaga legislatif yang cenderung lebih beraspek politik.[8]
 Akan tetapi asumsi tersebut belum lengkap, karena dalam legislasi tidak semata-mata hanya persoalan intervensi dan interaksi politik ke dalam proses tersebut. Nyata dalam teori maupun praktik akan tampak bahwa proses legislasi juga tidak lepas dari hukum (dalam arti hukum perundang-undangan/peraturan perundang-undangan) yang menjadi pedoman dalam proses tersebut.    
Satjipto Rahardjo, (2003) misalnya, mengatakan bahwa inti legislasi terdiri atas dua golongan besar, yaitu tahap sosiologis (sosio-politis) dan tahap yuridis. Dalam tahap sosiologis berlangsung proses-proses untuk mematangkan suatu gagasan dan/atau masalah yang selanjutnya akan dibawa ke dalam agenda yuridis. Apabila gagasan itu berhasil dilanjutkan, bisa jadi bentuk dan isinya mengalami perubahan, yakni makin dipertajam (articulated) dibanding pada saat ia muncul. Pada titik ini, ia akan dilanjutkan ke dalam tahap yuridis yang merupakan pekerjaan yang benar-benar menyangkut perumusan atau pengkaidahan suatu peraturan hukum. Tahap ini melibatkan kegiatan intelektual yang murni bersifat yuridis yang niscaya ditangani oleh tenaga-tenaga yang khusus berpendidikan hukum. [9]
Bagi Ann Siedman et.al., (2001, hal: 26-30) proses pembentukan hukum (law-making process) haruslah berpatokan pada dan melalui enam tahapan penting, yaitu: (1) asal-usul rancangan undang-undang (a bill’s origins), (2) konsep (the concept paper), (3) penentuan prioritas (prioritise), (4) penyusunan rancangan undang-undang (drafting the bill), (5) penelitian (research), dan (6) siapa yang mempunyai akses? (who has acces and supplies input into the drafting process).
Proses legislasi untuk menjadikan hukum positif (in abstracto) nyatanya selalu merupakan hasil dari proses yang sarat dengan berbagai muatan, nilai, dan kepentingan para aktor, yang di dalamnya baik pada saat dalam proses pembentukan hingga pemberlakuannya niscaya mengandung pemihakan-pemihakan.
Berangkat dari pemahaman-pemahaman yang demikian, maka interaksi politik dan hukum dalam mempengaruhi proses pembentukan Perda menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. Idealnya, pembentukan Perda berpegang pada peraturan hukum, sebab pada dasarnya hukum telah merumuskan bagaimana melakukan legislasi yang baik pada satu sisi, dan sekaligus dengan tidak mengabaikan interaksi dan intervensi politik pada sisi yang bersamaan.
Mengkaji legislasi dalam ranah Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre), niscaya harus menerima suatu kenyataan bahwa legislasi, meski berpedoman pada hukum, pada dasarnya merupakan pencerminan dari proses yang terjadi dalam kehidupan sosio-politik (socio-political life). Fakta legislasi demikian itu dikarenakan organ yang berkewenangan untuk membentuk hukum itu merupakan lembaga politik. Oleh karenanya, studi ini selanjutnya cenderung untuk memilih asumsi bahwa setiap legislasi selalu dipengaruhi oleh interaksi politik tertentu yang tengah berlangsung di negara yang bersangkutan. Berdasar asumsi ini dapat diketengahkan bahwa suatu negara yang konfigurasi politiknya demokratis, akan demokratis pula dalam proses legislasinya.[10]
DPR merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation). DPD dilahirkan dan ditampilkan sebagai salah satu lembaga perwakilan rakyat yang menjembatani kebijakan (policy), dan regulasi pada skala nasional oleh pemerintah (Pusat) di satu sisi dan Daerah di sisi lain.[11] 


C.    Analisis Studi Kasus
Pemerintah Daerah Kabupaten Bima memiliki Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima 2011-2031, sebagai aturan yang mengatur tentang tataruang wilayah kabupaten Bima terutama penempatan, peruntukkan, pemanfaatan lahan yang harus memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan. Seperti yang dijelaskan pada pasal 4 huruf g, h dan I dalam Perda tersebut, menjelaskan bahwa pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi dan, pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan lingkungan hidup yang didahului dengan kajian lingkungan hidup strategis, dan bertujuan untuk peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan. Ini tidak lain merupakan upaya pengejawantahan atas Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dimana penyelenggaraan penataan ruang dilakukan dengan tidak mengabaikan lingkungan alam dan tersedianya ruang terbuka untuk menciptakan keseimbangan lingkungan dan wadah sosial masyarakat[12] dan juga Undang-undang nomor 32 tahun 2009 yang mengaharapkan etika lingkungan hidup tidak lagi sekedar berhenti menjadi perbincangan teoririts dan normatif melainkan dapat menjiwai dan terimplementasi secara konkret (Sonny Keraf, 2010: xv).
Namun beberapa kasus yang terjadi di Kabupaten Bima terkait penataan ruang berbicara lain. Kasus konversi hutan mangrove menjadi perumahan, tambak ikan dan udang, dan tambang pasir, padahal dalam Perda tersebut mangrove menjadi kawasan lindung.[13] Hingga akhirnya kerugian materiil akibat bencana gelombang pasang yang terjadi di pesisir utara Bima mencapai Rp 2,47 Milliar.[14] Juga dibeberapa tahun terakhir ini masyarakat pesisir seperti di Kecamatan Woha, Palibelo, Sape dan Bolo semakin getol meminta perhatian pemerintah menyikapi banjir rob yang terjadi. Misalnya juga saat bulan tertentu luapan air laut (banjir) rob kadang menggenangi landasan pacu Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima. Masalah itu terjadi karena abrasi pantai yang terus meningkat setiap tahunnya. Garis pantai yang semakin mendekati daratan sehingga kecenderungan penurunan luas daratan. Abrasi pantai terjadi hampir disepanjang pesisir jalan menuju Kota-Bima, dan bagian utara kecamatan Ambalawi dan Wera, Sape dan Langgudu, sebagian kecil kecamatan parado bagian selatan. 
Penyebab abrasi pantai adalah akibat penebangan pohon-pohon mangrove untuk di ambil kayunya dan konversi untuk tambak garam dan lahan budidaya laut (misalnya tambak bandeng, udang dan lain-lain). Abrasi pantai pada beberapa lokasi disepanjang jalan yang ada di kabupaten Bima sudah mendekati pemukiman, penduduk, kawasan, wisata pesisir dan fasilitas umum (jalan raya). Kondisi tersebut akan menyebabkan relokasi yang membutuhkan biaya yang besar.[15]
Permasalahan lainnya berdasarkan hasil survei beberapa pihak di Desa Sangiang Kecamatan Wera Kabupaten Bima yang diperkuat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Masyarakat di desa itu menghadapi kesulitan mendapatkan air tawar karena bercampur dengan air laut. Kondisi itu memaksa masyarakat di desa itu  harus berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor menempuh jarak sampai satu kilometer lebih untuk mengambil air tawar di sekitar bukit. Intrusi air asin ke dalam akuifer daratan di wilayah pesisir desa itu disebabkan karena tidak ada tanaman penyangga.[16] Karena selain menahan banjir rob, mangrove juga berfungsi menjaga kesimbangan hidrostatik air bawah tanah tawar dan air asin dari laut.[17]
Selain itu banyaknya kasus pengkaplingan tanah oleh para pengusaha tambak diwilayah pesisir juga wilayah sempadan sungai di Kabupaten Bima, dan yang lebih disayangkan lagi tanah-tanah diwilayah pesisir tersebut sudah mendapatkan surat izin dan kepemilikan yang sah dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bima. Serta banyaknya usaha atau kegiatan yang ada disektoral wilayah pesisir yang belum memiliki izin Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)  serta AMDAL (Analsis dampak Lingkungan) dari pemerintah dan Pemerintah mentolerir akan hal itu.[18]
Selain itu ketidakmampuan Perda tersebut dalam mengatur Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima juga terlihat dalam implementasinya, misalnya ego sektoral yang terjadi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), walaupun dalam Perda lainnya yaitu Perda No. 2 tahun 2008 terkait Tupoksi dan Urusan Pemerintah Daerah Kabupaten Bima menjelaskan bahwa urusan wajib Pemerintah Kabupaten Bima salah satunya adalah urusan Lingkungan hidup, namun karena kepentingan lain, seringkali mengesampingkan urusan wajib tersebut, misalnya dalam kasus pembangunan One Way” landasan pacu Bandara Sultan Muhammad Salahudin Bima.
Satu sisi konsep pembangunan lingkungan hidup ataupun dari sisi kawasan hijau dikabupaten Bima, maka jelas akan ada kesempatan untuk mengembangkan hutan mangrove akan tetapi dari sisi sarana dan prasarana infrastruktur yang ada dikabupaten Bima justru seringkali menekan keberadaan mangrove seperti halnya rencana pembangunan Ibu Kota dibagian selatan Kabupaten Bima, maka pemerintah berencana membangun dan memperpanjang landasan pacu ‘run way” Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Kabupaten Bima, padahal tepat disekitar Bandara tersebut baru saja dilakukan penanaman mangrove oleh Dinas terkait. Bayangkan disatu sisi ketika SKPD terkait ( Dinas Kelautan Perikanan dan Badan Lingkungan Hidup) yang punya peranan dalam konservasi mangrove, mengelolaan dan melakukan perlindungan (rehabilitasi) terhadap hutan mangrove di Kabupaten Bima akan tetapi disatu sisi Dinas PU (Perizinan Umum) justru malah sebaliknya, mengintervensi keberadaan mangrove dengan melakukan pengembangan dan perluaasan “run way” bandara sultan Muhammad Salahuddin Bima yang sampai harus mengorbankan ekosistem hutan mangrove yang ada disekitarnya dengan alasan pengembangan wilayah.

Daftar Pustaka
Schulte Nordholt Henk et., al. 2014. Politik Lokal di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KTTLV. Jakarta.
Andang L Binawan (2003) Hukum di Pusaran Waktu. Kompas.
Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3A).
Kompas Edisi, Rabu, 23 Januari 2013  Sadar Bencana Belum di Adopsi dalam Rencana Pembangunan “Identifikasi  Risiko di Derah“ Kolom Lingkungan dan Kesehatan hal: 13.
Keraf, Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Kompas. Jakarta.
Asshidique, Jimly. 2000. Pokok-pokok hukum Tata negara Indonesia Pasca Reformasi. BIP. Jakarta. lihat  Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. hal: 201
M. Solly Lubis (1989) Serba-Serbi Politik dan Hukum. Mandar Maju, Bandung,  
Mahfud . (1993) Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Liberty, Yogyakarta.
Satjipto Rahardjo. (2003).  Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
Maria Farida Indrati S. (2007) Ilmu Perundang-Undangan (2), Proses dan Teknik Pembentukannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 
Efriza. 2014. Studi Parlemen. Setara Press. Malang
Haeril. 2015. Skripsi Upaya Dinas Kelautan dan Perikanan dalam Konservasi Hutan Mangorve di Kabupaten Bima. Universitas Muhammadiyah Malang.
LAKIP Pemerintah Kabupaten Bima Badan Linkungan Hidup 2014,
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima 2011-2031,



[1]  Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken.2014. Politik Lokal di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KTTLV. Jakarta. hal: ix
[2]  Aturan hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3A). Dalam rangka memenuhi perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Maka UU P3A merupakan ketentuan yang mengikat bagi semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan (Menimbang huruf a). Dengan demikian, kehadiran hukum (UUP3) dalam proses legislasi juga merupakan hal yang seharusnya diperhatikan.
[3]  Pada pasal 4 huruf g, h dan i, menjelaskan bahwa pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi dan, pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan lingkungan hidup yang didahului dengan kajian lingkungan hidup strategis, dan bertujuan untuk peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan.
[4] Kajian daya dukung lingkungan jawa 2006-2008 di bawah menko perekonomian Lihat Kompas Edisi, Rabu, 23 Januari 2013  Sadar Bencana Belum di Adopsi dalam Rencana Pembangunan “Identifikasi  Risiko di Derah“ Kolom Lingkungan dan Kesehatan hal: 13.
[5] A Sonny Keraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Kompas. Jakarta. Hal: xIV
[6] Jimly Asshidique.2000. Pokok-pokok hukum Tata negara Indonesia Pasca Reformasi. BIP. Jakarta. lihat juga Ahmad Suhelmi. 2007. Pemikiran Politik Barat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. hal: 201
[7] M. Solly Lubis (1989) Serba-Serbi Politik dan Hukum. Mandar Maju, Bandung, hal. 64.
[8] Mahfud MD, Moh. (1993) Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Liberty, Yogyakarta. hal. 24-25
[9] Satjipto Rahardjo. (2003).  Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 135.
[10]  Maria Farida Indrati S. (2007) Ilmu Perundang-Undangan (2), Proses dan Teknik Pembentukannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta,  hal. 11-12
[11] Efriza. 2014. Studi Parlemen. Setara Press. Malang hal: 99
[12] Muljono, Sandyohutomo.  (2008) Manajemen Kota dan Wilayah (Realita dan Tantangan). Bumi Aksara. Jakarta
[13] Lihat pasal 32 dalam Perda No 9 tahun 11 tentang tata ruang  wilayah Kabupaten Bima
[14] Nilai ini baru total kerugian kerusakan rumah penduduk dan infrastruktur jalan yang terdata di Kecamatan Wera dan Ambalawi saja. Setelah bencana gelombang pasang yang menghantam pesisir utara kecamatan  Wera dan Ambalawi tanggal 8 januari 2013 Pukul 17.00 Wita lalu, berdasarkan hasil sementara pendataan Tim BPBD di lokasi, "sebanyak total 33 rumah mengalami kerusakan,  27 rumah diantaranya mengalami kerusakan sedang dan 6 rumah mengalami kerusakan berat". Kerugian Akibat Gelombang Pasang Wera Capai Rp 2,47 Miliar http://kahaba.net/berita-bima/8263/kerugian-akibat-gelombang-pasang-wera-capai-rp-247-miliar.html. Lihat Juga Gelombang Pasang tejang Desa Sangiang-Wera, 33 Rumah alami kerusakan. http://bimakab.go.id/article-gelombang-pasang-terjang-desa-sangiang-wera-33-rumah-alami-kerusakan.html.
[15]  LAKIP Pemerintah Kabupaten Bima Badan Linkungan Hidup 2014,
[17] Karena mangrove berfungsi sebagai menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar dan mengolah limbah beracun, serta penghasil O2 dan penyerap CO2,”.Warga Karimunting Rasakan Manfaat Mangrove
[18]   Lihat Skripsi. Haeril. 2015. Upaya Dinas Kelautan dan Perikanan dalam Konservasi Hutan Mangorve di Kabupaten Bima. Hasil Wawancara Dengan Bpk. Ahyar Staf  bagian Pemulihan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bima pada 13 februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar