Intelek Pengabdi Kekuasaan
Seorang
intelek adalah seseorang yang memiliki pengetahuan umum secara memadai sehingga
mampu menangkap fenomena yang tengah berlangsung di tengah masyarakat, bangsa dan negaranya
dan memiliki komitmen untuk membela kepentingan bangsanya serta sanggup
menanggung resiko dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran. Dengan
demikian kaum intelektual memegang peran menentukan dalam setiap perubahan
social, bahkan revolusi, yang terjadi di Negara mereka.
Kemampuan yang dimiliki oleh kaum
intelektual yang tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya adalah
kemampuan untuk melahirkan ide atau gagasan segar yang menjadi tenaga pendorong
perubahan social. Ada ungkapan asing yang mengatakan bahwa “ideas are the moving forces of history”( gagasan adalah tenaga
penggerak dalam sejarah ).Namun ada kalanya gagasan yang dijual oleh seorang
intelektual atau kelompok intelektual justru melahirkan tragedi sejarah.
Ali
Shariati Ia berpikir keras, berceramah dan menulis di berbagai forum tentang
bagaimana memebebaskan kemanusiaan, terutama di Dunia Ketiga, dari eksploitasi,
imperialisme dan berbagai penyakit; bagaimana membebaskan masyarakat dari
cengkeraman konsumerisme dan tekanan keterasingan; dan bagaimana mendekatkan
manusia ke Sang Maha Pencipta untuk menyejahterakan kehidupannya serta
membangun dunia berdasarkan keadilan, perdamaian dan kesetaraan.
Shariati dianggap banyak kalangan
sebagai salah satu tokoh spiritual revolusi Iran 1979. tentu tokoh puncaknya
adalah Ayatollah Khomeini. Pada dasarnya revolusi Islam Iran diilhami dan
digerakkan oleh para ulama dan intelektual.
Salah satu yang sama di antara para
intelektual itu adalah bahwa mereka bisa keluar dari kukungan masyarakat serta
negaranya, memiliki pandangan kemanusiaan universal, tidak segan-segan untuk
membedah kebusukan kekuasaan politik dan ekonomi Negara mereka sendiri. Mungkin
dapat dikatakan kaum intelektual pada dasarnya mewarisi tradisi kenabian.
Tentu, karena dilengkapi dengan
wahyu, nabi atau rasul adalah intelektual sempurna. Al-Qur’an mengatakan:
“Dialah (Allah) yang membangkitkan di antara massa (ummiyyien) seorang rasul dari mereka sendiri, ia bacakan ayat-ayat-Nya
untuk mereka, ia sucikan mereka,, ia ajarkan Kitab dan Kearifan, sekalipun
mereka itu sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata”(Qur’an 62:02). Memang tidak ada intelektual yang hidup jauh dari
masyarakatnya, tinggal di istana gading, berteori, berkeluh kesah apalagi
menyodorkan gagasan yang justru merusak kepentingan masyarakat banyak.
Bila kita buat kategorisasi kaum
intelektual, paling tidak ada 3 kelompok yang satu sama lain berbeda tajam.Kelompok
yang pertama adalah para intelektual yang mengabdi pada kebenaran, keadilan dan
kemanusiaan universal. Mereka bisa berasal dari berbagai kalangan atau lingkungan:
universal, komunitas agama, penggiat LSM, wartawan, budaya, seniman, dan
ilmuwan yang menggeluti disiplin ilmu
tertentu,bahkan kadang kala dari lingkungan militer. Singkat kata, mereka yang
berusaha mengikuti jejak kenabian.
Kelompok kedua adalah mereka yang
menentang perubahan. mereka memilih pendukung
kemapaan.barangkali kategori kedua ini dapat disebut sebagai establishmentarians. Bagi intelektual dari
kelompok ini,lebih aman dan enak mendukung status
quo, karena tidak akan menimbulkan resiko.dengan kata lain mereka adalah safety players, cenderung bermain aman,
tidak akan pernah menjadi risk-taker, pengambilan
resiko. Oleh sebab itu tidak mungkin mengharapkan akan muncul perubahan social,
apalagi revolusi dari kaum intelektual kategori kedua ini.
Kategori ketiga adalah intelektual
“netral”, intelektual yang atas nama obtektifitas ilmu tidak pernah tertarik
untuk melakukan pemihakan.baik pemihakan pada status quo ataupun pemihakan pada status social ( social change ) dalam arti luas. Akan
tetapi kebanyakan intelektual dari kategori ini selalu menunggu arah angin,
menunggu pemenang yang muncul jika sampai terjadi perubahan social, mereka
enggan bekerja dan barpeluh, tetapi paling cepat menuju barisan dapan ketika
sebuah perubahan, baik yang bersifat reformatif maupun revolusioner telah usai.
Pepatah arab mengatakan idza maalat
ar-riehu maala haitsu tamiel ( mereka condong bergerak menyesuaikan arah
angina ).
Kadang kala intelektual jenis
terahir ini menamakan dirinya sebagai intelektual pasifis, intelektual cinta
damai. Kejahatan dan kedzoliman tidak perlu dilawan atau ditantang, karena
pasifisme mengajarkan kedamaian, bahakan terhadap sebuah kejahatan. Denagan
berpangku tangan dan diam seribu bahasa melihat kejahatan atau kezaliman pada
hakekatnya mereka telah menjadi sangat immoral.
Bagi kaum intelektual pasifis immoralitas separti ini tidak menjadi soal yang
terlalu serius. pada hal “ sikap moral seperti ini mungkin tampa disadari,
membunuh orang lain, membunuh orang banyak, membunuh saudara bahkan akhirnya
membunuh diri sendiri”. ( the moral
stance of the pacifist is, unwittingly perhaps, homicidal genocidal,
fratricidal, suicidal ).
Di barat maupun di Timur,
universitas diharapkan menjadi tempat menyemai manusia-manusia terdidik dan
sebagai dari mereka didambakan menjadi intelektual. akan tetapi dalam 20-30
tahun belakangan ini, universitas dijadikan sasaran oleh kekuatan korporat agar
menghasilkan sebanyak mungkin manusia terdidik dan intelektual dalam berbagai
caliber yang menghamba melayani kepentingan korporasi. sekedar mengingatkan,
kepentingan pertama dan terakhir korporasi adalah memperoleh keuntungan
maksimal dengan segala cara yang mungkin.
Universitas bertugas melayani
kepentingan luas public dengan jalan mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan
transfer ilmu pengetahuan dan teknologi ke para mahasiswa, membuat berbagai
analisa tentang aneka pesoalan, melakukan riset-riset strategis dan sekaligus
menjalankan pengabdian masyarakat. Semua itu dilakukan dengan memegang teguh
standar integritas moral dan intelektual. Bila aktifitas universitas di atas
dijalankan dengan sungguh-sungguh tidak jarang universitas akhirnya bertabrakan
dengan kekuasaan yang punya kepentingan untuk mengawetkan status quo. Sepanjang sejarah terbukti para akademis dan
intelektual yang memegang teguh misi mereka harus bertentangan denagan
kekuasaan politik dan sector korporat. Dengan kata lain, kaum intelektual
seringkali harus bersebrangan dengan penguasa yang menjadi “kacung” kekutan
korporasi-korporasi besar. Dan serangkali juga para intelektual harus berkorban
nyawa karena mengobrak-abrik kepentingan kekuasaan Negara yang melindungi
koorporat dan akhirnya mereka akan menjadi kenangan sejarah dan menjadi
inspirasi para intelektual muda yang akan melalukan perubahan, pemabaharuan dan
melawan setiap penindasan yang terjadi di muka bumi, meskipun para intelktual
telah meninggalkan dunia, tapi warisan keilmuan dan gagasannya akan seanantiasa
hidup dan selalu bersemayam pada setipa generasi atau pemuda yang sadar dan terdidik
untuk melalukan perlawan terhadap setiap penindasan yang terjadi. Namun
realitas yang Nampak terjadi sekarang Universitas telah menjadi lahan yang
sangat “Basah bagi para Kapitalis Global untuk mencetak para lulusan mahasiswa
“keledai” yang siap untuk dipinjamkan tenaganya untuk menguras dan mengisap dan
memperbudak mereka untuk kepentingan melanggengkan dunia usaha kapitalis
global, dengan ilmu yang di dapat para lulusan Mahasiswa “ keledai “ di
universitas mampu membawa keuntungan bagi para Kapitalis (Koorporat) kerena
mereka memang diajarkan untuk mengabdi para Kapitalis “bekerja” itulah realitas
universitas kekinian bukan lagi mengajarkan tentang bagaimana ilmu yang di
dapat mampu diaplikasikan untuk setiap problem yang terjdi di tengah masyarakat
yang dilanda kemiskinan, dan bagaimana ilmu itu dpergunakan untuk menyadarkan
masyarakat luas bahwa para elit politik yang mengemban amanat dari rakyat yang
sedang duduk di kursi empuk itu adalah mereka yang selingkuh dengan para
Kapitas global yang setiap saat mengisap darah, keringat rakyat dengan
melakukan eksploitasi SDA yang ada di negeri ini, tampa batasan dan tampa
memikirkan kepentingan rakyat secara luas, sehingga bukan memberikan manfaat
tetapi malah memberikan bencana kemiskinan di mana-mana dan kerusakan
lingkungan yang luas. Rakyat harus di sadarkan oleh intelektual sehingga mampu
krirtis terhadap setiap kebijakan.
Bukan pesimis sangat susah menemukan para
intelktual di era posmoderinesmi ini khususnya di Indonesia, itu semua
dikarenakan sistem pendidikan yang sangat kapitalis dan sudah disusupi
pendidikan yang liberal hanya untuk meraup keuntungan yang sebar-besarnya dan
menciptakan para sarjana yang bermental “Keledai” yang hanya bisa bersuara
keras hanya masalah perut secara pribadi dan tidak mau berkorban berdarah pada
saat rakyat menjerit, menangis di hisap keringatnya oleh imperialisme Global
(Kapitalis Global) sistem pendidikan kita hanya mencetak para tenaga
professional di bidangnya yang akan tunduk untuk diperkerjakan dan di gaji secara
murah di prusahan-perusahan (koorporasi) yang berlabelkan imperilaisme(
Kapitalis Global ) dan kalo boleh meminjam istilah Ali sariyati mereka ini
adalah para “Budak Moderen”. Pertanyaan kemudian bagimana seharusnya Mahasiwa
atau intelektual harus bersikap dan bertindak menyikapi problem yang begitu
kompleks di negeri tercinta ini (Indones ia) ? dan keluar dari hegemoni
imprealisme barat ? yang pertama, mahasiswa sebagai middle class atau kaum
terpelajar harus tahu identitas yang di embanya, dan apa tugas pokoknya sebagai
mahasiswa, dan apa fungsinya yang sangat prinsipil dan bagimana arah perjuangan
yang harus dilakukan. Yang kedua sebagai intelktual muda mahasiswa harus banyak melakukan
pendekatan langsung terhadap masyarakat umum untuk memberikan pemahaman dan
pemikiran originalnya terkait permasalahan-permasahan yang dihadapi oleh
bangsa, memberikan pendidikan politik “political wiil” bukan politik decai,
sehingga masyarakat siap untuk menghadapi dan sadar masalah bersama yang
dihadapi bangsa ini, seperti yang disampaikan salah satu Sosilogi terkenal
Indonesia Mansur Faqih, mahasiwa harus melakukan tiga hal terhadap masyarakat
(a) melakukan penyadaran (b) melakukan pendampingan (c) melakukan pemberdayaan.
Dan
yang ketiga tugas cendekia, intelektual dan Mahasiwa adalah melakuan
perubahan dan pemabahuruan di tengah-tengah massa rakyat, seperti yang di
sampaikan Ali Saryati, seorang Cendekiawan Muslim, intelektual maupun kaum
terpelajar seperti mahasiwa, hanya akan memiliki makna dan fungsi bila mereka
berada di tengah-tengah Massa Rakyat melakukan perubahan, pembaharuan,
menerangi massa, membimbing massa dan mengeluarkan massa rakyat dari keterpurukan
dan bersama-sama kearah kehiduapan yang lebih baik, lebih islami, karena
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW sendiri dibangkitkan oleh ALLAh SWT dari
tengah-tengah massa untuk kemudian bersama-sama
massa keluar dari gelap gulita ke suasana terang benderang. Seandainya
banyak mahasiwa atau intelktual muda kita (Indonesia) yang sadar akan tugas dan
fungsinya, saya menaruh optimis yang amat sangat besar (insya Allah) kita mampu
bersama-sama keluar dari permasalahan yang selama ini kita tanggung bersama,
khususnya tekanan dari yahudi dan imperialism barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar