Senin, 14 November 2016

Intelek Pengabdi Kekuasaan


Intelek Pengabdi Kekuasaan

Seorang intelek adalah seseorang yang memiliki pengetahuan umum secara memadai sehingga mampu menangkap fenomena yang tengah berlangsung  di tengah masyarakat, bangsa dan negaranya dan memiliki komitmen untuk membela kepentingan bangsanya serta sanggup menanggung resiko dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran. Dengan demikian kaum intelektual memegang peran menentukan dalam setiap perubahan social, bahkan revolusi, yang terjadi di Negara mereka.
            Kemampuan yang dimiliki oleh kaum intelektual yang tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya adalah kemampuan untuk melahirkan ide atau gagasan segar yang menjadi tenaga pendorong perubahan social. Ada ungkapan asing yang mengatakan bahwa “ideas are the moving forces of history”( gagasan adalah tenaga penggerak dalam sejarah ).Namun ada kalanya gagasan yang dijual oleh seorang intelektual atau kelompok intelektual justru melahirkan tragedi sejarah.
Ali Shariati Ia berpikir keras, berceramah dan menulis di berbagai forum tentang bagaimana memebebaskan kemanusiaan, terutama di Dunia Ketiga, dari eksploitasi, imperialisme dan berbagai penyakit; bagaimana membebaskan masyarakat dari cengkeraman konsumerisme dan tekanan keterasingan; dan bagaimana mendekatkan manusia ke Sang Maha Pencipta untuk menyejahterakan kehidupannya serta membangun dunia berdasarkan keadilan, perdamaian dan kesetaraan.
            Shariati dianggap banyak kalangan sebagai salah satu tokoh spiritual revolusi Iran 1979. tentu tokoh puncaknya adalah Ayatollah Khomeini. Pada dasarnya revolusi Islam Iran diilhami dan digerakkan oleh para ulama dan intelektual.
            Salah satu yang sama di antara para intelektual itu adalah bahwa mereka bisa keluar dari kukungan masyarakat serta negaranya, memiliki pandangan kemanusiaan universal, tidak segan-segan untuk membedah kebusukan kekuasaan politik dan ekonomi Negara mereka sendiri. Mungkin dapat dikatakan kaum intelektual pada dasarnya mewarisi tradisi kenabian.
            Tentu, karena dilengkapi dengan wahyu, nabi atau rasul adalah intelektual sempurna. Al-Qur’an mengatakan: “Dialah (Allah) yang membangkitkan di antara massa (ummiyyien) seorang rasul dari mereka sendiri, ia bacakan ayat-ayat-Nya untuk mereka, ia sucikan mereka,, ia ajarkan Kitab dan Kearifan, sekalipun mereka itu sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata”(Qur’an 62:02). Memang tidak ada intelektual yang hidup jauh dari masyarakatnya, tinggal di istana gading, berteori, berkeluh kesah apalagi menyodorkan gagasan yang justru merusak kepentingan masyarakat banyak.
            Bila kita buat kategorisasi kaum intelektual, paling tidak ada 3 kelompok yang satu sama lain berbeda tajam.Kelompok yang pertama adalah para intelektual yang mengabdi pada kebenaran, keadilan dan kemanusiaan universal. Mereka bisa berasal dari berbagai kalangan atau lingkungan: universal, komunitas agama, penggiat LSM, wartawan, budaya, seniman, dan ilmuwan yang menggeluti disiplin ilmu tertentu,bahkan kadang kala dari lingkungan militer. Singkat kata, mereka yang berusaha mengikuti jejak kenabian.
            Kelompok kedua adalah mereka yang menentang perubahan. mereka memilih pendukung kemapaan.barangkali kategori kedua ini dapat disebut sebagai establishmentarians. Bagi intelektual dari kelompok ini,lebih aman dan enak mendukung status quo, karena tidak akan menimbulkan resiko.dengan kata lain mereka adalah safety players, cenderung bermain aman, tidak akan pernah menjadi risk-taker, pengambilan resiko. Oleh sebab itu tidak mungkin mengharapkan akan muncul perubahan social, apalagi revolusi dari kaum intelektual kategori kedua ini.
            Kategori ketiga adalah intelektual “netral”, intelektual yang atas nama obtektifitas ilmu tidak pernah tertarik untuk melakukan pemihakan.baik pemihakan pada status quo ataupun pemihakan pada status social ( social change ) dalam arti luas. Akan tetapi kebanyakan intelektual dari kategori ini selalu menunggu arah angin, menunggu pemenang yang muncul jika sampai terjadi perubahan social, mereka enggan bekerja dan barpeluh, tetapi paling cepat menuju barisan dapan ketika sebuah perubahan, baik yang bersifat reformatif maupun revolusioner telah usai. Pepatah arab mengatakan idza maalat ar-riehu maala haitsu tamiel ( mereka condong bergerak menyesuaikan arah angina ).
            Kadang kala intelektual jenis terahir ini menamakan dirinya sebagai intelektual pasifis, intelektual cinta damai. Kejahatan dan kedzoliman tidak perlu dilawan atau ditantang, karena pasifisme mengajarkan kedamaian, bahakan terhadap sebuah kejahatan. Denagan berpangku tangan dan diam seribu bahasa melihat kejahatan atau kezaliman pada hakekatnya mereka telah menjadi sangat immoral. Bagi kaum intelektual pasifis immoralitas separti ini tidak menjadi soal yang terlalu serius. pada hal “ sikap moral seperti ini mungkin tampa disadari, membunuh orang lain, membunuh orang banyak, membunuh saudara bahkan akhirnya membunuh diri sendiri”. ( the moral stance of the pacifist is, unwittingly perhaps, homicidal genocidal, fratricidal, suicidal ).
            Di barat maupun di Timur, universitas diharapkan menjadi tempat menyemai manusia-manusia terdidik dan sebagai dari mereka didambakan menjadi intelektual. akan tetapi dalam 20-30 tahun belakangan ini, universitas dijadikan sasaran oleh kekuatan korporat agar menghasilkan sebanyak mungkin manusia terdidik dan intelektual dalam berbagai caliber yang menghamba melayani kepentingan korporasi. sekedar mengingatkan, kepentingan pertama dan terakhir korporasi adalah memperoleh keuntungan maksimal dengan segala cara yang mungkin.
            Universitas bertugas melayani kepentingan luas public dengan jalan mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi ke para mahasiswa, membuat berbagai analisa tentang aneka pesoalan, melakukan riset-riset strategis dan sekaligus menjalankan pengabdian masyarakat. Semua itu dilakukan dengan memegang teguh standar integritas moral dan intelektual. Bila aktifitas universitas di atas dijalankan dengan sungguh-sungguh tidak jarang universitas akhirnya bertabrakan dengan kekuasaan yang punya kepentingan untuk mengawetkan status quo. Sepanjang sejarah terbukti para akademis dan intelektual yang memegang teguh misi mereka harus bertentangan denagan kekuasaan politik dan sector korporat. Dengan kata lain, kaum intelektual seringkali harus bersebrangan dengan penguasa yang menjadi “kacung” kekutan korporasi-korporasi besar. Dan serangkali juga para intelektual harus berkorban nyawa karena mengobrak-abrik kepentingan kekuasaan Negara yang melindungi koorporat dan akhirnya mereka akan menjadi kenangan sejarah dan menjadi inspirasi para intelektual muda yang akan melalukan perubahan, pemabaharuan dan melawan setiap penindasan yang terjadi di muka bumi, meskipun para intelktual telah meninggalkan dunia, tapi warisan keilmuan dan gagasannya akan seanantiasa hidup dan selalu bersemayam pada setipa generasi atau pemuda yang sadar dan terdidik untuk melalukan perlawan terhadap setiap penindasan yang terjadi. Namun realitas yang Nampak terjadi sekarang Universitas telah menjadi lahan yang sangat “Basah bagi para Kapitalis Global untuk mencetak para lulusan mahasiswa “keledai” yang siap untuk dipinjamkan tenaganya untuk menguras dan mengisap dan memperbudak mereka untuk kepentingan melanggengkan dunia usaha kapitalis global, dengan ilmu yang di dapat para lulusan Mahasiswa “ keledai “ di universitas mampu membawa keuntungan bagi para Kapitalis (Koorporat) kerena mereka memang diajarkan untuk mengabdi para Kapitalis “bekerja” itulah realitas universitas kekinian bukan lagi mengajarkan tentang bagaimana ilmu yang di dapat mampu diaplikasikan untuk setiap problem yang terjdi di tengah masyarakat yang dilanda kemiskinan, dan bagaimana ilmu itu dpergunakan untuk menyadarkan masyarakat luas bahwa para elit politik yang mengemban amanat dari rakyat yang sedang duduk di kursi empuk itu adalah mereka yang selingkuh dengan para Kapitas global yang setiap saat mengisap darah, keringat rakyat dengan melakukan eksploitasi SDA yang ada di negeri ini, tampa batasan dan tampa memikirkan kepentingan rakyat secara luas, sehingga bukan memberikan manfaat tetapi malah memberikan bencana kemiskinan di mana-mana dan kerusakan lingkungan yang luas. Rakyat harus di sadarkan oleh intelektual sehingga mampu krirtis terhadap setiap kebijakan. 

         Bukan pesimis sangat susah menemukan para intelktual di era posmoderinesmi ini khususnya di Indonesia, itu semua dikarenakan sistem pendidikan yang sangat kapitalis dan sudah disusupi pendidikan yang liberal hanya untuk meraup keuntungan yang sebar-besarnya dan menciptakan para sarjana yang bermental “Keledai” yang hanya bisa bersuara keras hanya masalah perut secara pribadi dan tidak mau berkorban berdarah pada saat rakyat menjerit, menangis di hisap keringatnya oleh imperialisme Global (Kapitalis Global) sistem pendidikan kita hanya mencetak para tenaga professional di bidangnya yang akan tunduk untuk diperkerjakan dan di gaji secara murah di prusahan-perusahan (koorporasi) yang berlabelkan imperilaisme( Kapitalis Global ) dan kalo boleh meminjam istilah Ali sariyati mereka ini adalah para “Budak Moderen”. Pertanyaan kemudian bagimana seharusnya Mahasiwa atau intelektual harus bersikap dan bertindak menyikapi problem yang begitu kompleks di negeri tercinta ini (Indones ia) ? dan keluar dari hegemoni imprealisme barat ? yang pertama, mahasiswa sebagai middle class atau kaum terpelajar harus tahu identitas yang di embanya, dan apa tugas pokoknya sebagai mahasiswa, dan apa fungsinya yang sangat prinsipil dan bagimana arah perjuangan yang harus dilakukan. Yang kedua sebagai intelktual muda mahasiswa harus banyak melakukan pendekatan langsung terhadap masyarakat umum untuk memberikan pemahaman dan pemikiran originalnya terkait permasalahan-permasahan yang dihadapi oleh bangsa, memberikan pendidikan politik “political wiil” bukan politik decai, sehingga masyarakat siap untuk menghadapi dan sadar masalah bersama yang dihadapi bangsa ini, seperti yang disampaikan salah satu Sosilogi terkenal Indonesia Mansur Faqih, mahasiwa harus melakukan tiga hal terhadap masyarakat (a) melakukan penyadaran (b) melakukan pendampingan (c) melakukan pemberdayaan. Dan yang ketiga tugas cendekia, intelektual dan Mahasiwa adalah melakuan perubahan dan pemabahuruan di tengah-tengah massa rakyat, seperti yang di sampaikan Ali Saryati, seorang Cendekiawan Muslim, intelektual maupun kaum terpelajar seperti mahasiwa, hanya akan memiliki makna dan fungsi bila mereka berada di tengah-tengah Massa Rakyat melakukan perubahan, pembaharuan, menerangi massa, membimbing massa dan  mengeluarkan massa rakyat dari keterpurukan dan bersama-sama kearah kehiduapan yang lebih baik, lebih islami, karena Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW sendiri dibangkitkan oleh ALLAh SWT dari tengah-tengah massa untuk kemudian bersama-sama  massa keluar dari gelap gulita ke suasana terang benderang. Seandainya banyak mahasiwa atau intelktual muda kita (Indonesia) yang sadar akan tugas dan fungsinya, saya menaruh optimis yang amat sangat besar (insya Allah) kita mampu bersama-sama keluar dari permasalahan yang selama ini kita tanggung bersama, khususnya tekanan dari yahudi dan imperialism barat.
                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar