Ketika partai beringin (Golkar) di nahkodai oleh Aburizal Bakri (ARB) tantangan mulai terlihat pasca pemilu 2014 suara Golkar melorot jauh dan tidak mampu membuat ARB maju sebagai CAPRES bahkan tidak CAWAPRES, dan hal ini membuat sebagaian besar kader tidak puas dengan kepemimpinan ARB, dan semakin memperlihatkan ada faksi-faksi /kelompok di tubuh internal Golkar, dan faksi-faksi itupun terlihat jelas ketika partai golkar melaksanakan MUNAS di Bali dan di saat bersamaan beberapa kader Golkar tidak mengakui munas tersebut dan menganggap munas di bali Ilegal dan bertentangan dengan AD/ART Partai Golkar, sebut saja kader yang menolak Munas yang diselenggarakan di bali itu Kubu Agung laksono, sehinnga tidak cukup waktu yang lama kubu Agung laksono melaksanakan munas tandingan yang diselenggarakan di Jakarta, tidak hanya itu perselisihan yang terjadi itupun sampai berujung di bawa keranah hokum untuk mendapatkan legitimasi legalitas dari KEMUNKUHAM, dan hal tersebut sangat berpengaruh besar pada pilkada serentak 2015 yang di ikuti 147 kabupaten/kota dan 7 provinsi, dan banyak calon kepala daerah yang mau maju kesulitan karena dualisme kepengurusan di pusat.
Inisitif untuk melakukan islahpun muncul baik
dari internal Golkar terutama para sesepu atau senior Golkar untuk melakukan
rekonsliasi untuk mengembalikan penyatuan Golkar secara satu dan utuh, dari
berbagai usaha dan konflik yang berkepanjangan itupun dua kubu yang saling
mengklaim berhak memimpin Golkar dari kubu ARB maupun kubu Agung Laksono
sepakat untuk melakukan MUNASLUB pada 7 april 2016 dan akhirnya di undur sampai bulan Mei 2016,
hal
itu dilakukan karena meraka sadar untuk kepentingan Golkar kedepan dan pastinya
untuk Pilkada 2017. Dari rentetan dinamikan politik yang terjadi di Golkar
tersebut ada yang menarik perhatian kita semua yaitu terkait pelakasanan
MUNASLUB yang wacananya akan membentuk “Pengawas Etik” katanya untuk tujuan
pada pelaksanaan Munaslub sebagai pengawas baik untuk calon kandidat ketua
umum, timses calon, SC, dan pelaksana atau penyelenggara(Panitia) Munaslub
tidak terjadi praktik Money Politik (politik uang), timbul pertanyaan apakah
pembentukan “pengawas Etik” partai Golkar hanya ingin menunjukan kepada public
bahwa pelaksanaan Munaslub Golkar bebas dari praktik politik uang, atau hanya
ingin menunjukan image (citra) yang
baik untuk menutupi citra buruk yang sudah melekat pada partai beringin ini
bahwa setiap pelaksanaan Munas, atau pembentukan “Pengawas Etik” meupakan
bagian dalam istilah komunikasi politik impression
management politik Golkar. Praktik politik uang tidak bisa dihindarkan dalam
proses kegitan Munas Golkar dan hal ini diakui oleh kader Golkar sendiri, atau
memamg pembentukan “Pengawas etik” ini merupakan bagian dari mekanisme yang
diatur dalam pedoman penyelenggaran Munas Golkar untuk menjamin terpilihnya
Ketua umum (Pemimimpi) yang mampu menahkodai Golkar sampai 5 tahun kedepan dan
tentunya mampu membawa perubahan baru di tubuh Golkar dan siap memenangkan
PILPRES 2019. Pembentukan “Pengawas etik” bukan merupakan sebagai obat kanker
yang mampu menyembuhkan penyakit di tubuh Gokar, tetapi lebih kepada untuk
menunjukan image (citra) kepada
public bahwa partai Golkar juga bisa melaksanakn Munas tampa ada praktik
politik uang di dalamnya.
Ada
beberapa syarat atau beberapa hal yang harus dilakukan oleh Partai Golkar
ketika ingin mendapatkan kepercayaan publik terkait MUNASLUB Golkar yang
kredibel, pertama partai Golkar harus mempublikasikan kegiatan Munaslubnya se
transparan mungkin, baik dalam tahap kampanye calon, penetapan Calon, penetapan
SC, dan yang lebih penting sumber aliran dana. Yang kedua libatkan KPK sebagai
pengawas eksternal untuk menjaga tidak terjadi praktik money politic, kalau syarat di atas bisa dijalankan dengan baik
pasti kepercayaan publik terhadap partai beringin akan besar terutama dalam hal
pelaksanaan Munaslub yang bebas praktik money
politic, dan mampu melahirkan pemimpin yang intergritas, kredibilitas
sesuai pilihan para peserta Munaslub Golkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar