A. Konsekuensi dari sistem tersebut ( sistem Presidensil dan sistem multi partai) dalam hubungan legislatif dan eksekutif!
Konsekuensi yang paling mendasar adalah Indonesia sebagai
negara
yang menganut sistem presidensiil maka akan melangsungkan dua kali Pemilu. Pertama, pemilu dilakukan untuk memilih
Presiden dan wakil Presiden oleh rakyat. Kedua,
pemilu untuk memilih anggota DPR dilaksanakan setelah pemilu presiden.
Sehingga dalam memilih anggota DPR, sudah mempetimbangkan aspek politik bagi
presiden terpilih.
Konsekuensi kedua, didalam sistem presidensiil, presiden memiliki
kedudukan yang sangat dominan. Ia bertanggungjawab atas berhasil atau tidaknya
pemerintahan. Ini seharusnya akan mempersempit ruang gerak bagi partai politik
untuk memunculkan isu-isu terkait masalah pemerintahan. Karena peran utama
partai politik dalam sistem ini seharusnya bukan sebagai
pengusung ideologi dalam Pemerintahan sebagaimana dalam sistem parlementer
misalnya, akan tetapi hanya sebagai fasilitator. Sehingga kedudukan presiden
dalam sistem pemerintahan presidensiil ini seharusnya akan terbebas dari
intervensi partai politik yang mengusungnya.
Namun sebaliknya Indonesia yang juga sebagai negara yang menganut
sistem multipartai dimana setiap golongan memperjuangkan kepentingan golongan
masing-masing melalui wadah politik tersendiri dengan melalui partai politik. Terlebih
ketika partai politik tertentu sudah merapatkan barisan (koalisi) kepada partai
politik yang dianggap paling kuat untuk mengusung calon presiden misalnya sepertihalnya
KMP dan KIH, pastinya akan ada dinamika dan kepentingan, tidak
hanya berkaitan dengan intervensi
politik sebagai pengusung ideologi namun juga kepentingan partai politik yang
berkoalisi untuk mendapati posisi dikursi kabinet (eksekutif). Selain itu
sebagai konsekuensi yang ketiga, permasalahan diatas juga
tentunya akan berdampak pada internal badan legislatif, seperti hubungan
antara anggota legislatif dari partai pendukung pemerintah misalnya, Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) dengan anggota legislatif yang bukan dari partai pendukung
pemerintah seperti Koalisi Merah Putih (KMP) terutama dalam
kesepakatan pada suatu kebijakan tertentu akan sering
menuai pro dan kontra. Karena tentunya konflik dan kepentingan dilembaga
legislatifpun merupakan kepanjangan tangan dari elite politik didua koalisi
tersebut.
Selain itu fakta yang menunjukkan bahwa Lembaga
legislatif memiliki kekuatan melalui fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan
kadang membuat lembaga eksekutif terlihat harus tunduk kepada legislatif. Ini
sebagai konsekuensi yang keempat, dimana
pembuatan keputusan atau kebijakan publik pada umumnya hasil tawar-menawar
antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas,
dan pembuatan keputusan akan memakan waktu yang lama.
B. Solusi untuk
meminimalisir permasalahan-permasalahan dalam hubungan
Legislatif dan Eksekutif!
Indonesia mengenal sistem pembagian kekuasaan dimana eksekutif sebagai
pelaksana kebijakan sedangkan legislatif sebagai pembuat Undang-undang. Dan secara
jelas dalam sistem Presidensil dimana antara pemegang kekuasaan legislatif
dan eksekutif dalam pembentukan pemerintah sangat tidak tergantung kepada
proses politik dilembaga legislatif maupun sebaliknya karena dalam sistem
presidensiil tidak ada satupun lembaga yang memiliki otoritas sebagai pemegang
supremasi tertinggi. Dalam sistem presidensial selain mampu menciptakan
pemerintahan negara yang berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan
efektivitas tinggi, namun juga lembaga legislatif akan lebih leluasa karena
badan ini dapat lebih independen dalam membuat undang-undang.
Solusi selanjutya ialah dengan kemudian mempersempit ruang gerak bagi
partai politik untuk memunculkan isu-isu terkait masalah pemerintahan. Karena
di Indonesia konflik dan kepentingan dilembaga legislatifpun
merupakan kepanjangan tangan dari elite politik didua koalisi tersebut. Sehingga untuk
meminimalisir konflik maka seperti yang disampaikan sebelumnya, peran utama
partai politik dalam sistem ini seharusnya bukan sebagai
pengusung ideologi dalam Pemerintahan sebagaimana dalam sistem parlementer,
akan tetapi hanya sebagai fasilitator. Sehingga kedudukan presiden dalam sistem
pemerintahan presidensiil ini seharusnya akan terbebas dari intervensi partai
politik yang mengusungnya. Seperti halnya negara superpower seperti Amerika Serikat misalnya yang juga menerapkan
sistem presidensil sama sekali tidak mencantumkan secara eksplisit tentang
fungsi dan tempat partai politik dalam
sistem politiknya agar tidak ada intervensi partai politik yang mengusung.
Selain menyoroti kepentingan dari oknum anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi dari fraksi partai gerindra
yang telah dianggap melakukan aktifitas kolusi untuk
menggolkan Raperda yang bermuara pada
penerbitan izin reklamasi. Juga Presiden
Direktur PT Agung Podomoro Ariesman Widjaja yang tentunya menjadi
kekuatan eksternal yang mempunyai kepentingan
dibalik kasus reklamasi tersebut. Dalam
beberapa pemberitaan Agung Podomoro Group
yang berencana menciptakan superblok elite seluas 161 hektare di bibir pantai
Jakarta berupa rumah hunian, rumah toko, apartemen, dan pusat belanja.
Sistem
Perwakilan (Kamar), Indonesia saat ini mempraktekkan sistem dua kamar (Bicameral) adalah praktik
pemerintahan yang menggunakan 2 kamar legislatif atau Parlemen. Dimana proses legislasinya dapat dilihat
pada pasal 22D tentang DPD (Dewan Perwakilan Daerah) antara lain:
1. Dewan Perwakilan Daerah dapat
mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
2.
Dewan
Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
3.
Dewan
Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan,
dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
·
Tentang upaya
memperkuat peran DPD:
Pada dasarnya struktur lembaga
legislasi ada 3 (tiga) yakni MPR, DPR, dan DPD namun terdapat ambiguitas
mengenai struktur legislasi berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen
– Jika dilihat dari
konstruksi penentuan keanggotaannya, maka konstruksinya adalah dua kamar (bicameralism) ada perwakilan daerah (DPD, semacam
senat di USA), dan perwakilan partai (house of representative: DPR)
– Namun jika dilihat
dari struktur dan fungsinya, ketiga
lembaga legislasi tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri, sehingga bisa
disebut dengan tiga kamar (tricameralism).
– Akan tetapi, jika
dilihat dari relasi antara ketiganya, yaitu DPR, MPR, dan DPD, tentu saja tidak
tepat untuk dinyatakan sebagai tiga kamar.
– Nampak sekali
adanya kecenderungan dominasi DPR yang luar biasa dalam pembentukan UU.
– Relasi yang tidak
seimbang tersebut berimplikasi langsung pada jumlah kamar (bicameral) DPR untuk
Pembentukan UU dan MPR untuk pembentukan dan/atau perubahan UUD). Namun tidak
ada satupun UU yang dapat dibuat secara utuh (dari RUU sampai ke Pengesahannya)
oleh DPD (lihat kembali kewenangan DPD).
Sehingga dalam konteks pembuatan UU, DPR memiliki peran dominan dan
strategis. Menurut pendapat saya konstruksi legislasi yang demikian ini justru
sangat tidak ideal, karena tidak balance
DPR terlalu mendominasi dan seharusnya ada mekanisme yang memberikan ruang
kepada DPD, dimana fungsi DPD tidak hanya mengajukan, ikut membahas, dan
memberi pertimbangan terkait RUU melainkan juga diberi kewenangan untuk
membentuk undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar