Senin, 14 November 2016

KONSEKUENSI HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF


   A.  Konsekuensi  dari sistem tersebut ( sistem Presidensil dan sistem multi partai) dalam hubungan legislatif dan eksekutif!

Konsekuensi yang paling mendasar adalah Indonesia sebagai negara yang menganut sistem presidensiil maka akan melangsungkan dua kali Pemilu. Pertama, pemilu dilakukan untuk memilih Presiden dan wakil Presiden oleh rakyat. Kedua, pemilu untuk memilih anggota DPR dilaksanakan setelah pemilu presiden. Sehingga dalam memilih anggota DPR, sudah mempetimbangkan aspek politik bagi presiden terpilih.
Konsekuensi kedua, didalam sistem presidensiil, presiden memiliki kedudukan yang sangat dominan. Ia bertanggungjawab atas berhasil atau tidaknya pemerintahan. Ini seharusnya akan mempersempit ruang gerak bagi partai politik untuk memunculkan isu-isu terkait masalah pemerintahan. Karena peran utama partai politik dalam sistem ini seharusnya bukan sebagai pengusung ideologi dalam Pemerintahan sebagaimana dalam sistem parlementer misalnya, akan tetapi hanya sebagai fasilitator. Sehingga kedudukan presiden dalam sistem pemerintahan presidensiil ini seharusnya akan terbebas dari intervensi partai politik yang mengusungnya.
Namun sebaliknya Indonesia yang juga sebagai negara yang menganut sistem multipartai dimana setiap golongan memperjuangkan kepentingan golongan masing-masing melalui wadah politik tersendiri dengan melalui partai politik. Terlebih ketika partai politik tertentu sudah merapatkan barisan (koalisi) kepada partai politik yang dianggap paling kuat untuk mengusung calon presiden misalnya sepertihalnya KMP dan KIH, pastinya akan ada dinamika dan kepentingan, tidak hanya berkaitan dengan intervensi politik sebagai pengusung ideologi namun juga kepentingan partai politik yang berkoalisi untuk mendapati posisi dikursi kabinet (eksekutif). Selain itu sebagai konsekuensi yang ketiga, permasalahan diatas juga tentunya akan berdampak pada internal badan legislatif, seperti hubungan antara anggota legislatif dari partai pendukung pemerintah misalnya, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan anggota legislatif yang bukan dari partai pendukung pemerintah seperti Koalisi Merah Putih (KMP) terutama dalam kesepakatan pada suatu kebijakan tertentu akan sering menuai pro dan kontra. Karena tentunya konflik dan kepentingan dilembaga legislatifpun merupakan kepanjangan tangan dari elite politik didua koalisi tersebut.
Selain itu fakta yang menunjukkan bahwa Lembaga legislatif memiliki kekuatan melalui fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan kadang membuat lembaga eksekutif terlihat harus tunduk kepada legislatif. Ini sebagai konsekuensi yang keempat,  dimana pembuatan keputusan atau kebijakan publik pada umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas, dan pembuatan keputusan akan memakan waktu yang lama.

B.  Solusi untuk meminimalisir permasalahan-permasalahan dalam hubungan Legislatif dan Eksekutif!
Indonesia mengenal sistem pembagian kekuasaan dimana eksekutif sebagai pelaksana kebijakan sedangkan legislatif sebagai pembuat Undang-undang. Dan secara jelas dalam sistem Presidensil dimana antara pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam pembentukan pemerintah sangat tidak tergantung kepada proses politik dilembaga legislatif maupun sebaliknya karena dalam sistem presidensiil tidak ada satupun lembaga yang memiliki otoritas sebagai pemegang supremasi tertinggi. Dalam sistem presidensial selain mampu menciptakan pemerintahan negara yang berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektivitas tinggi, namun juga lembaga legislatif akan lebih leluasa karena badan ini dapat lebih independen dalam membuat undang-undang.
Solusi selanjutya ialah dengan kemudian mempersempit ruang gerak bagi partai politik untuk memunculkan isu-isu terkait masalah pemerintahan. Karena di Indonesia konflik dan kepentingan dilembaga legislatifpun merupakan kepanjangan tangan dari elite politik didua koalisi tersebut. Sehingga untuk meminimalisir konflik maka seperti yang disampaikan sebelumnya, peran utama partai politik dalam sistem ini seharusnya bukan sebagai pengusung ideologi dalam Pemerintahan sebagaimana dalam sistem parlementer, akan tetapi hanya sebagai fasilitator. Sehingga kedudukan presiden dalam sistem pemerintahan presidensiil ini seharusnya akan terbebas dari intervensi partai politik yang mengusungnya. Seperti halnya negara superpower seperti Amerika Serikat misalnya yang juga menerapkan sistem presidensil sama sekali tidak mencantumkan secara eksplisit tentang fungsi  dan tempat partai politik dalam sistem politiknya agar tidak ada intervensi partai politik yang mengusung.  

   Kasus proses legislasi dalam reklamasi pantai utara Jakarta, pada dasarnya bermula ketika DPRD DKI Jakarta menggolkan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil  (RWZP3K) Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Namun Reklamasi itu ditolak karena izin untuk melaksanakan proyek itu, tidak sesuai dengan logika publik, lingkungan, akademik dan hukum. Karena teluk Jakarta masuk kawasan strategis nasional menurut sejumlah aturan baru, seperti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Presiden Nomor 122 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Izin reklamasi di kawasan strategis nasional menjadi wilayah kewenangan menteri kelautan dan perikanan. Selain itu izin yang tertuang pada Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014, tak mencantumkan dua beleid baru itu. hanya mendasarkan izinnya pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, keputusan lawas yang diteken penguasa Orde Baru, Soeharto.
Selain menyoroti kepentingan dari oknum anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi dari fraksi partai gerindra yang telah dianggap melakukan aktifitas kolusi untuk menggolkan Raperda yang bermuara pada penerbitan izin reklamasi. Juga Presiden Direktur PT Agung Podomoro Ariesman Widjaja yang tentunya menjadi kekuatan eksternal yang mempunyai kepentingan dibalik kasus reklamasi tersebut. Dalam beberapa pemberitaan Agung Podomoro Group yang berencana menciptakan superblok elite seluas 161 hektare di bibir pantai Jakarta berupa rumah hunian, rumah toko, apartemen, dan pusat belanja.

Mekanisme proses legislasi dalam hubungan DPD dan DPR dalam konteks bicameralism.
Sistem Perwakilan (Kamar), Indonesia saat ini mempraktekkan sistem dua kamar (Bicameral) adalah praktik pemerintahan yang menggunakan 2 kamar legislatif atau Parlemen. Dimana proses legislasinya dapat dilihat pada pasal 22D tentang DPD (Dewan Perwakilan Daerah) antara lain:
1.      Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2.      Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
3.      Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

·        Tentang upaya memperkuat peran DPD:
         Pada dasarnya struktur lembaga legislasi ada 3 (tiga) yakni MPR, DPR, dan DPD namun terdapat ambiguitas mengenai struktur legislasi berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen
     Jika dilihat dari konstruksi penentuan keanggotaannya, maka konstruksinya adalah dua kamar (bicameralism)   ada perwakilan daerah (DPD, semacam senat di USA), dan perwakilan partai (house of representative: DPR)
     Namun jika dilihat dari  struktur dan fungsinya, ketiga lembaga legislasi tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri, sehingga bisa disebut dengan tiga kamar (tricameralism).
     Akan tetapi, jika dilihat dari relasi antara ketiganya, yaitu DPR, MPR, dan DPD, tentu saja tidak tepat untuk dinyatakan sebagai tiga kamar.
     Nampak sekali adanya kecenderungan dominasi DPR yang luar biasa dalam pembentukan UU.
     Relasi yang tidak seimbang tersebut berimplikasi langsung pada jumlah kamar (bicameral) DPR untuk Pembentukan UU dan MPR untuk pembentukan dan/atau perubahan UUD). Namun tidak ada satupun UU yang dapat dibuat secara utuh (dari RUU sampai ke Pengesahannya) oleh DPD (lihat kembali kewenangan DPD).
Sehingga dalam konteks pembuatan UU, DPR memiliki peran dominan dan strategis. Menurut pendapat saya konstruksi legislasi yang demikian ini justru sangat tidak ideal, karena tidak balance DPR terlalu mendominasi dan seharusnya ada mekanisme yang memberikan ruang kepada DPD, dimana fungsi DPD tidak hanya mengajukan, ikut membahas, dan memberi pertimbangan terkait RUU melainkan juga diberi kewenangan untuk membentuk undang-undang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar