Judul Buku : Collaborative Governance In The United States And Korea
Editor :
Yong-Duck Jung, Daniel A. Mazmanian dan Shui- Yan Tang
Penerbit : Seoul National University Press Republic Of
Korea
Jumlah Hlm : 288
Pada
dasarnya tata
kelola pemerintahan kolaboratif telah didefinisikan sebagai proses
pembentukan, fasilitasi, operasi,
pemantauan, dan pengaturan organisasi lintas sektoral untuk
mengatasi masalah kebijakan publik yang
tidak dapat dengan mudah ditangani
oleh satu organisasi
atau sektor publik secara
sendiri (Ansell dan
Gash 2008). Dalam
buku ini coba menggambarkan pola dan pengalaman pemerintahan kolaboratif
dengan pendekatan contoh kasus yang ada di Amerika dan Korea.
Tata kolaboratif telah muncul dikedua Negara tersebut dalam pendekatan institusional
sebagai kunci untuk mengatasi masalah publik.
Inisiatif
dalam membentuk pemerintahan kolaboratif ini sebenarnya sebagai upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengatasi berbagai
tantangan yang berkembang dalam kehidupan bernegara. Kolaborasi pemerintahan ini sebagai
bentuk inovasi dan akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat yang selama ini cenderung menganggap bahwa pemerintah boros dan gagal untuk mewakili
kepentingan masyarakat (Hetherington 2006). Ditambah lagi fenomena persaingan diera Globalisasi, yang cenderung menciptakan jurang yang
menganga antara Negara/daerah kaya dan miskin, dan berdampak pada kapasitas sektor publik yang rendah
dalam mengatasi tantangan yang
berkembang.
Pemerintah lokal maupun tingkat nasional, baik di Amerika Serikat dan Korea,
telah merespon dengan berbagai cara dalam menangani beberapa kasus pelayanan publik baik untuk tingkat pendanaan juga kapasitas yang tersedia. Lembaga-lembaga publik kini telah berfokus pada prinsip-prinsip sektor
bisnis namun berbasis kinerja, sehingga selain untuk menghasilkan penghematan juga meningkatkan kepuasan masyarakat
melalui pelayan publik.
Dalam kolaborasi ini
ada proses penyerahan otoritas
pemerintah yang sedang bekerjasama, maksudnya ada batas pembagian kekuasaan,
yang mengalir dari pengambilan keputusan bersama, berbagi
sumber daya, dan tanggung jawab bersama untuk melihat
bahwa semua peserta dalam hal ini
aktor-aktor yang terlibat dalam
proses puas pada hasilnya (Bogason dan Musso, 2005).
Di Negara Amerika Serikat praktek kolaborasi
antara pemerintah dan swasta dapat dilihat dari berbagai hal seperti berkaitan
dengan bantuan pendidikan, juga
untuk merancang, memproduksi dan
mengelola perumahan berpenghasilan rendah di kota-kota
miskin (Langley et al. 1996). Selain itu berkaitan dengan kesehatan masyarakat, pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang bekerja disektor kesehatan dan pelayanan sosial penyedia layanan
publik bekerjasama dengan swasta, yayasan kesehatan, organisasi sipil, dan warga kelompok
secara aktif terlibat dalam kemitraan atau koalisi
untuk perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi inisiatif
kesehatan masyarakat (Weiner, Alexander dan Zuckerman 2000).
Juga kolaboratif pemerintahan telah mendominasi perencanaan sumber daya air utama di
Amerika Serikat (Innes dan Boher 2003) Demikian pula, tata kolaboratif telah menjadi bentuk dominan untuk
pengelolaan sumber daya perencanaan dan pelaksanaan dari banyak konservasi sumber
daya alam
dan spesies yang terancam seperti proyek dari Dinas Kehutanan dan Federal Bureau of Land
Management (Porter dan Salvesen 1995; Sabatier dkk.
2005; Thomas 2003).
Di Amerika dalam
konteks kebijakan berkaitan dengan lingkungan ini, tampak legislatif harus
berhati-hati dalam betindak. Amerika serikat, legislatif biasanya mengangkat
staf ahli yang terkait dengan isu
platform politik yang mereka cita-citakan di mana di dalamnya terdapat isu
lingkungan. Karena isu lingkungan yang kompleks memerlukan keahlian (expertise)
yang siap menjawab persoalan yang timbul. Di lain pihak disinilah kekuatan yang
disiapkan organisasi nonpemerintah (LSM) yang mempunyai think tank sebagai Lobbyist
yang mampu meyakinkan sidang American
Congress untuk merumuskan kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan upaya
pelestrian alam (Jatna Supriatna, 2008: 86).
Salah satu kasus yang
disampaikan dalam buku ini ialah terkait The Bay-Delta Sistem
atau system pengelolaan Air di California yang
dimana secara historis sebagai
pusat dari infrastruktur pasokan air, di mana kebutuhan air seluruh negara bagian bergantung padanya, tapi sistem ini oleh semua kalangan
yang berkepentingan sekarang over
dalam
pemanfaantaannya dan disadap sehingga menyebabkan konsekuensi lingkungan yang parah. Selama 15 tahun
terakhir, telah terjadi peningkatan yang ditandai dalam pendekatan kolaboratif
untuk berurusan dengan Teluk Delta Sistem, Melibatkan beragam kelompok
stakeholder yang kuat dan badan-badan federal negara.
Dalam buku ini juga menganggap
bahwa kolaboratif pemerintahan sebagian
besar lebih
pada proyek pembangunan ekonomi
dan sangat dianjukan oleh Bank Dunia dan PBB untuk membentuk
kemitraan antara Pemerintah dengan LSM,
juga
dengan kelompok masyarakat
dalam merancang dan menerapkan solusi untuk masalah publik
lokal (Wright dan Strum 1994).
Sedangkan di Korea, pemerintahan kolaboratif juga telah meningkat.
Pasca Perang Korea (1950-1953), Negara
tersebut telah berhasil mengembangkan negara bangsa modern.
Ini dicapai karena industrialisasi yang pesat dan telah mengkonsolidasikan lembaga-lembaga demokratis
sejak 1980-an.
Korea saat ini berada pada posisi perekonomian ketiga belas terbesar di dunia dalam hal PDB
dan menikmati tingkat tertinggi demokrasi liberal di Asia
(Thompson 1996).
Namun
Korea
saat ini menghadapi berbagai masalah
kebijakan publik akibat sebagian dari industrialisasi yang pesat dan
pertumbuhan penduduk yang juga pesat.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang
menitik beratkan pada perkembangan industrialisasi tidak sejalan dengan kualitas hidup pekerja atau buruh
akibat rendahnya
upah minimum, sehingga
menciptakan banyak ketidakseimbangan sosial dan
menimbulkan banyak masalah
kebijakan publik, termasuk kebutuhan untuk membangun kembali daerah perkotaan yang
secara perancanaan sangat buruk karena masalah pengelolaan sampah dan
menyebabkan lingkungan alam
rusak dan tercemar. Demikian menurut Rosyadi, S., & Lestianingrum, E.
(2013) menganggap Jalan keluar terhadap pengelolaan sampah yang baik dilakukan
secara garis besar melalui, pengelolaan sampah yang terorganisir dengan baik
secara integratif mulai dari hulu hingga hilir termasuk kepada dampak yang
mungkin timbul didalamnya, selanjutnya adalah disamping mengoptimalkan peraturan
hukum yang tegas menguraikan hak dan kewajiban seluruh komponen yang terlibat
dalam pengelolaan sampah, dan mendorong peran serta masyarakat untuk berperilaku, juga perlunya mengoptimalkan peran penting
sektor swasta dalam penanganan sampah yang salah satunya dapat dikembangkan melalui
konsep kemitraan bersama. Kasus yang terjadi di Korea ialah radical ekology case atau menurut
(Sari, M. A. P., & Rustan, 2009 )
merupakan kasus yang terjadi karena munculnya dari perasaan
krisis di negara industri, yang menghadapi dominasi alam terhadap dominasi
manusia dari setiap ras, kelas dan jender dengan mengkonfrontasi lingkungan
yang memberikan kesan bahwa manusia bebas mengeksploitasi alam.
Selain itu Korea juga perlu untuk mengurangi biaya pendidikan bagi anak-anak yang
tidak mampu sekaligus
meningkatkan efektivitas pendidikan publik, dan pada saat yang sama membangun fasilitas
penitipan anak untuk membantu ibu bekerja.
Semua ini adalah tugas yang harus diselesaikan melalui
kebijakan publik.
Gambar
1. Siklus Kolaborasi Dalam Beberapa Kasus Dalam Buku
Dengan
peran dan potensinya kolaboratif tersebut mampu mencakup seluruh spektrum
kebijakan mulai dari proses perencanaan, desain untuk implementasi hingga pada
evaluasi kebijakan publik. Bab-bab dalam buku ini meneliti peran pemerintahan
kolaboratif di kedua negara tersebut dari proses kebijakan, negosiasi pembuatan
kebijakan dan pelayanan. Pemerintahan kolaboratif di AS dan Korea telah muncul
dari setting sejarah dan kelembagaan yang berbeda. Namun kontribusi dalam buku
ini menunjukkan bagaimana sejumlah faktor umum dapat menjelaskan dinamika dan
kinerja pengaturan pemerintahan kolaboratif di kedua negara.
Pertama,
pemerintahan kolaboratif melibatkan aktor dari beberapa organisasi dan sektor,
seperti digambarkan dalam studi tentang Bay-Delta atau sistem pengelolaan Air di
california dan krematorium konflik lingkungan Not In My Back Yard (NIMBY) di Hanam City dan kasus limbah fasilitas
tapak Gunpo City di korea, aktor kedua Negara yang terlibat pun cenderung
berbeda dalam pemahaman dan persepsi mereka tentang manfaat dan risiko, dan
juga berbagai proses partisipatif dan deliberatif dapat membentuk persepsi
mereka, dan cara membentuk respon mereka untuk bergabung kekuatan dengan satu
sama lain dalam menanggulangi masalah publik pun berbeda.
Kedua,
tata kolaboratif pasti terhubung ke masalah distribusi yang lebih luas di
masyarakat, seperti yang digambarkan oleh diskusi tentang keadilan lingkungan
di AS dan fasilitas tapak yang tidak
diinginkan secara lokal di korea. Isu-isu distribusi cenderung sarat dengan
konflik, dan kehadiran pemerintahan kolaboratif dipandang oleh banyak orang
sebagai alat untuk mengatasi konflik distribusi. Namun satu hal yang harus
dipahami, perlunya keberhati-hatian dalam menggunakan tata kolaboratif karena tidak
selalu sebagai obat mujarab karena, seperti yang digambarkan dalam kasus, tata
kolaboratif memiliki potensial dan keterbatasan sebagai alat untuk resolusi
konflik.
Ketiga,
kasus menunjukkan bahwa pemerintahan kolaboratif cenderung untuk bekerja lebih
baik dalam perencanaan kebijakan hingga negosiasi ketika berusaha untuk
melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam cara yang terstruktur, di implementasi
dan pelayanan, tata kolaboratif cenderung untuk bekerja lebih baik dengan
struktur yang lebih formal, seperti Illustrated dalam kasus pelayanan
kesejahteraan sosial di LA dan Korea.
Daftar
Pustaka
Haryono, N. Jejaring Untuk Membangun
Kolaborasi Sektor Publik. Sukarno, A. W. (2014). Implementasi Keterbukaan
Informasi Publik di Lembaga Negara Independen.
Supriatna,
Jatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Kumorotomo, W. (2007, June).
Citizen’s Charter (Kontrak Pelayanan): Pola Kemitraan Strategis Untuk
Mewujudkan Good Governance Dalam Pelayanan Publik. In Seminar Persadi
(Vol. 16).
Kaihatu, T. S. (2006). Good
corporate governance dan penerapannya di Indonesia. Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan, 8(1), pp-1.
Rosyadi, S., & Lestianingrum, E.
(2013). Permodelan Sampah Pemukiman Berbasis Manajemen Kolaborasi (Studi Kasus
di Desa Palimanan Barat Kabupaten Cirebon). Pembangunan Pedesaan, 13(2).
Sari, M. A. P., & Rustan, A.
(2009). Implementasi Good Governance Dalam Pengelolaan Sampah. Jurnal Borneo
Administrator, 5(2).
Saidi, A. (2011). Good Governance Dalam
Konfigurasi Negara Kesejahteraan Versi 1945: Tinjauan Kritis Tata Kelola
Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 13(1),
117-138.
Baca Selengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar