Minggu, 13 November 2016

Review Buku Collaborative Governance


Judul Buku      : Collaborative Governance In The United States And Korea
Editor              : Yong-Duck Jung, Daniel A. Mazmanian dan Shui- Yan Tang       
Penerbit           :  Seoul National University Press Republic Of Korea          
Jumlah Hlm     :  288

Pada dasarnya tata kelola pemerintahan kolaboratif telah didefinisikan sebagai proses pembentukan, fasilitasi, operasi, pemantauan, dan pengaturan organisasi lintas sektoral untuk mengatasi masalah kebijakan publik yang tidak dapat dengan mudah ditangani oleh satu organisasi atau sektor publik secara sendiri (Ansell dan Gash 2008). Dalam buku ini coba menggambarkan pola dan pengalaman pemerintahan kolaboratif dengan pendekatan contoh kasus yang ada di Amerika dan Korea. Tata kolaboratif telah muncul dikedua Negara tersebut dalam pendekatan institusional sebagai kunci untuk mengatasi masalah publik.

Inisiatif dalam membentuk pemerintahan kolaboratif ini sebenarnya sebagai upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengatasi berbagai tantangan yang berkembang dalam kehidupan bernegara. Kolaborasi pemerintahan ini sebagai bentuk inovasi dan akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat yang selama ini cenderung menganggap bahwa pemerintah boros dan gagal untuk mewakili kepentingan masyarakat (Hetherington 2006). Ditambah lagi fenomena persaingan diera Globalisasi, yang cenderung menciptakan jurang yang menganga antara Negara/daerah kaya dan miskin, dan berdampak pada kapasitas sektor publik yang rendah dalam mengatasi tantangan yang berkembang.

 Pemerintah lokal maupun tingkat nasional, baik di Amerika Serikat dan Korea, telah merespon dengan berbagai cara dalam menangani beberapa kasus pelayanan publik baik untuk tingkat pendanaan juga kapasitas yang tersedia. Lembaga-lembaga publik kini telah berfokus pada prinsip-prinsip sektor bisnis namun berbasis kinerja, sehingga selain untuk menghasilkan penghematan juga meningkatkan kepuasan masyarakat melalui pelayan publik

Dalam kolaborasi ini ada proses penyerahan otoritas pemerintah yang sedang bekerjasama, maksudnya ada batas pembagian kekuasaan, yang mengalir dari pengambilan keputusan bersama, berbagi sumber daya, dan tanggung jawab bersama untuk melihat bahwa semua peserta dalam hal ini aktor-aktor yang terlibat dalam proses puas pada hasilnya (Bogason dan Musso, 2005).
Di Negara Amerika Serikat praktek kolaborasi antara pemerintah dan swasta dapat dilihat dari berbagai hal seperti berkaitan dengan bantuan pendidikan, juga untuk merancang, memproduksi dan mengelola perumahan berpenghasilan rendah di kota-kota miskin (Langley et al. 1996). Selain itu berkaitan dengan kesehatan masyarakat, pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang bekerja disektor kesehatan dan pelayanan sosial penyedia layanan publik bekerjasama dengan swasta, yayasan kesehatan, organisasi sipil, dan warga kelompok secara aktif terlibat dalam kemitraan atau koalisi untuk perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi inisiatif kesehatan masyarakat (Weiner, Alexander dan Zuckerman 2000).
Juga kolaboratif pemerintahan telah mendominasi perencanaan sumber daya air utama di Amerika Serikat (Innes dan Boher 2003) Demikian pula, tata kolaboratif telah menjadi bentuk dominan untuk pengelolaan sumber daya perencanaan dan pelaksanaan dari banyak konservasi sumber daya alam dan spesies yang terancam seperti proyek dari Dinas Kehutanan dan Federal Bureau of Land Management (Porter dan Salvesen 1995; Sabatier dkk. 2005; Thomas 2003).
Di Amerika dalam konteks kebijakan berkaitan dengan lingkungan ini, tampak legislatif harus berhati-hati dalam betindak. Amerika serikat, legislatif biasanya mengangkat staf ahli yang terkait dengan isu platform politik yang mereka cita-citakan di mana di dalamnya terdapat isu lingkungan. Karena isu lingkungan yang kompleks memerlukan keahlian (expertise) yang siap menjawab persoalan yang timbul. Di lain pihak disinilah kekuatan yang disiapkan organisasi nonpemerintah (LSM) yang mempunyai think tank sebagai Lobbyist yang mampu meyakinkan sidang American Congress untuk merumuskan kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan upaya pelestrian alam (Jatna Supriatna, 2008: 86).
Salah satu kasus yang disampaikan dalam buku ini ialah terkait The Bay-Delta  Sistem atau system pengelolaan Air di California yang dimana secara historis sebagai pusat dari infrastruktur pasokan air, di mana kebutuhan air seluruh negara bagian bergantung padanya, tapi sistem ini oleh semua kalangan yang berkepentingan sekarang over dalam pemanfaantaannya dan disadap sehingga menyebabkan konsekuensi lingkungan yang parah. Selama 15 tahun terakhir, telah terjadi peningkatan yang ditandai dalam pendekatan kolaboratif untuk berurusan dengan Teluk Delta Sistem, Melibatkan beragam kelompok stakeholder yang kuat dan badan-badan federal negara.
Dalam buku ini juga menganggap bahwa kolaboratif pemerintahan sebagian besar lebih pada proyek pembangunan ekonomi dan sangat dianjukan oleh Bank Dunia dan PBB untuk membentuk kemitraan antara Pemerintah dengan LSM, juga dengan kelompok masyarakat dalam merancang dan menerapkan solusi untuk masalah publik lokal (Wright dan Strum 1994).
Sedangkan di Korea, pemerintahan kolaboratif juga telah meningkat. Pasca  Perang Korea (1950-1953), Negara tersebut telah berhasil mengembangkan negara bangsa modern. Ini dicapai karena industrialisasi yang pesat dan telah mengkonsolidasikan lembaga-lembaga demokratis sejak 1980-an. Korea saat ini berada pada posisi perekonomian ketiga belas terbesar di dunia dalam hal PDB dan menikmati tingkat tertinggi demokrasi liberal di Asia (Thompson 1996).
Namun Korea saat ini menghadapi berbagai masalah kebijakan publik akibat sebagian dari industrialisasi yang pesat dan pertumbuhan penduduk yang juga pesat. Kebijakan pembangunan ekonomi yang menitik beratkan pada perkembangan industrialisasi tidak sejalan dengan kualitas hidup pekerja atau buruh akibat rendahnya upah minimum, sehingga menciptakan banyak ketidakseimbangan sosial dan menimbulkan banyak masalah kebijakan publik, termasuk kebutuhan untuk membangun kembali daerah perkotaan yang secara perancanaan sangat buruk karena masalah pengelolaan sampah dan menyebabkan lingkungan alam rusak dan tercemar. Demikian menurut Rosyadi, S., & Lestianingrum, E. (2013) menganggap Jalan keluar terhadap pengelolaan sampah yang baik dilakukan secara garis besar melalui, pengelolaan sampah yang terorganisir dengan baik secara integratif mulai dari hulu hingga hilir termasuk kepada dampak yang mungkin timbul didalamnya, selanjutnya adalah disamping mengoptimalkan peraturan hukum yang tegas menguraikan hak dan kewajiban seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan sampah, dan mendorong peran serta masyarakat untuk  berperilaku,  juga perlunya mengoptimalkan peran penting sektor swasta dalam penanganan sampah yang salah satunya dapat dikembangkan melalui konsep kemitraan bersama. Kasus yang terjadi di Korea ialah radical ekology case atau menurut (Sari, M. A. P., & Rustan, 2009 ) merupakan kasus yang terjadi karena munculnya dari perasaan krisis di negara industri, yang menghadapi dominasi alam terhadap dominasi manusia dari setiap ras, kelas dan jender dengan mengkonfrontasi lingkungan yang memberikan kesan bahwa manusia bebas mengeksploitasi alam.
Selain itu Korea juga perlu untuk mengurangi biaya pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu sekaligus meningkatkan efektivitas pendidikan publik, dan pada saat yang sama membangun fasilitas penitipan anak untuk membantu ibu bekerja. Semua ini adalah tugas yang harus diselesaikan melalui kebijakan publik.
Description: C:\Users\Terminator\Pictures\figure 1.jpg









Gambar 1. Siklus Kolaborasi Dalam Beberapa Kasus Dalam Buku

Dengan peran dan potensinya kolaboratif tersebut mampu mencakup seluruh spektrum kebijakan mulai dari proses perencanaan, desain untuk implementasi hingga pada evaluasi kebijakan publik. Bab-bab dalam buku ini meneliti peran pemerintahan kolaboratif di kedua negara tersebut dari proses kebijakan, negosiasi pembuatan kebijakan dan pelayanan. Pemerintahan kolaboratif di AS dan Korea telah muncul dari setting sejarah dan kelembagaan yang berbeda. Namun kontribusi dalam buku ini menunjukkan bagaimana sejumlah faktor umum dapat menjelaskan dinamika dan kinerja pengaturan pemerintahan kolaboratif di kedua negara.
Pertama, pemerintahan kolaboratif melibatkan aktor dari beberapa organisasi dan sektor, seperti digambarkan dalam studi tentang Bay-Delta atau sistem pengelolaan Air di california dan krematorium konflik lingkungan Not In My Back Yard (NIMBY) di Hanam City dan kasus limbah fasilitas tapak Gunpo City di korea, aktor kedua Negara yang terlibat pun cenderung berbeda dalam pemahaman dan persepsi mereka tentang manfaat dan risiko, dan juga berbagai proses partisipatif dan deliberatif dapat membentuk persepsi mereka, dan cara membentuk respon mereka untuk bergabung kekuatan dengan satu sama lain dalam menanggulangi masalah publik pun berbeda.
Kedua, tata kolaboratif pasti terhubung ke masalah distribusi yang lebih luas di masyarakat, seperti yang digambarkan oleh diskusi tentang keadilan lingkungan di AS dan  fasilitas tapak yang tidak diinginkan secara lokal di korea. Isu-isu distribusi cenderung sarat dengan konflik, dan kehadiran pemerintahan kolaboratif dipandang oleh banyak orang sebagai alat untuk mengatasi konflik distribusi. Namun satu hal yang harus dipahami, perlunya keberhati-hatian dalam menggunakan tata kolaboratif karena tidak selalu sebagai obat mujarab karena, seperti yang digambarkan dalam kasus, tata kolaboratif memiliki potensial dan keterbatasan sebagai alat untuk resolusi konflik.
Ketiga, kasus menunjukkan bahwa pemerintahan kolaboratif cenderung untuk bekerja lebih baik dalam perencanaan kebijakan hingga negosiasi ketika berusaha untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam cara yang terstruktur, di implementasi dan pelayanan, tata kolaboratif cenderung untuk bekerja lebih baik dengan struktur yang lebih formal, seperti Illustrated dalam kasus pelayanan kesejahteraan sosial di LA dan Korea.








Daftar Pustaka
Haryono, N. Jejaring Untuk Membangun Kolaborasi Sektor Publik. Sukarno, A. W. (2014). Implementasi Keterbukaan Informasi Publik di Lembaga Negara Independen.
Supriatna, Jatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Kumorotomo, W. (2007, June). Citizen’s Charter (Kontrak Pelayanan): Pola Kemitraan Strategis Untuk Mewujudkan Good Governance Dalam Pelayanan Publik. In Seminar Persadi (Vol. 16).
Kaihatu, T. S. (2006). Good corporate governance dan penerapannya di Indonesia. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 8(1), pp-1.
Rosyadi, S., & Lestianingrum, E. (2013). Permodelan Sampah Pemukiman Berbasis Manajemen Kolaborasi (Studi Kasus di Desa Palimanan Barat Kabupaten Cirebon). Pembangunan Pedesaan, 13(2).
Sari, M. A. P., & Rustan, A. (2009). Implementasi Good Governance Dalam Pengelolaan Sampah. Jurnal Borneo Administrator, 5(2).
Saidi, A. (2011). Good Governance Dalam Konfigurasi Negara Kesejahteraan Versi 1945: Tinjauan Kritis Tata Kelola Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 13(1), 117-138.








Baca Selengkapnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar