Minggu, 13 November 2016

Moderen Teror: Empat Gelombang


REVIEW
TERRORISM & POLITICAL ISLAM ORIGINS, IDEOLOGIES, AND METHODS
A Counterterrorism Textbook 2nd Edition
EDITORS:
ERICH IVIARQUARDT
CHRISTOPHER HEFFELFINGER.


BAGIAN I
Moderen Teror: Empat Gelombang
   David C Rapoport
Dalam tulisan ini David C Rapoport menjelaskan empat tahap gelombang terror modern atau Gelombang teori terorisme internasional modern yaitu Gelombang pertama atau Gelombang Anarkhis, yang ditandai dengan kemunculan pemberontak di Rusia, Narodnaya Volya yang melakukan tindak teror pada kurun Januari 1878 sampai Maret 1881. Kelompok teroris gelombang pertama berusaha memenangkan reformasi politik sipil dari pemerintahan otoriter, seperti pemerintahan Tsar di Rusia. Seperti yang disampaikan (Michael Bakunin dalam Alwi Wahyudi, 2014 : 71) yang menyebutkan Gelombang Anarkhis sebagai Anarkhisme revolusioner yang merupakan upaya yang digunakan untuk mencapai tujuan anarkisme dengan cara anarkis, yaitu dengan segala daya sekalipun menggunakan kekerasan dan revolusi.
 Gelombang kedua atau Gelombang Nasionalis, gelombang ini muncul ditandai dengan mulai marak pada dekade 1920-an, ditandai dengan hadirnya kelompok-kelompok yang memperjuangkan national self-determination. Gerakan perjuangan yang dikategorikan dalam gelombang ini antara lain mencakup nama-nama berikut: Irish Republican Army (IRA), LEHI (Fighters for the Freedom of Israel), Irgun Tzvai Leumi, Front For National Liberation, National Organisastion of Cypriot Fighters. Kelompok ini memosisikan diri mereka sebaga liberation movement yang berjuang melawan kekuatan kolonial dan bercita-cita membentuk negara baru.
Gelombang ketiga atau Gelombang sayap kiri, yang ditandai dengan Perang Vietnam sebagai letupan model teroris di dunia. Dalam pergerkan terorisme gelombang ketiga, tak jarang ide-ide revolusioner bersinggungan juga dengan usaha-usaha separatis. Isu yang di bawa oleh teroris gelombang ketiga, yakni membela kepentingan negara dunia ketiga dalam menghadapi kapitalisme global. Termasuk dalam hal ini Pembajakan internasional merupakan salah satu contoh. Penyandraan menjadi karakteristik gelombang ketiga yang paling berkesan adalah pada 1979. dimana terjadi penculikan mantan Perdana Menteri Italia Moro oleh Brigade Merah Ketika pemerintah menolak untuk bernegosiasi, Moro dibunuh secara brutal dan tubuhnya dibuang di jalan-jalan.
Dan yang terakhir Gelombang Keempat atau Gelombang Agama. Teroris gelombang keempat ditandai dengan dua peristiwa besar yakni, Revolusi Iran (1979) dan kekalahan Soviet di Afghanistan, contoh lainnya dominasi Buddha di Sri Lanka yang dianggap mencoba untuk mengubah negara, menimbulkan respon antara Tamil yang sebagian besar Hindu menbentuk gelombang teroris bertujuan menciptakan negara sekuler yang terpisah. Selain itu Terorisme Kristen, berdasarkan interpretasi rasis dari Alkitab, muncul di amorf Amerika. Tindakan teroris gelombang ke empat ini telah menunjukkan bahwa selama ini agama masih dijadikan sebagai alat kekuasaan dan politisasi, faktor disintegaratif, alat provokasi kerusuhan, dan pemicu konflik horizontal. Namun kebanyakan kelompok-kelompok teroris akan menghilang secara bertahap, tetapi ada juga sebagian yang bertahan lama.
Dari empat gelombang diatas David juga kemudian membagi terror dalam tiga kategori, yakni (1) Religious terror, (2) State terror, dan (3) Rebel terror. Khusus untuk Religious Terror David memasukannya dalam kategori teror suci, sedangkan dua jenis teror berikutnya masuk kategori teror sekuler. Baik teror suci maupun teror sekuler dilihat dari pelakunya bisa dikategorikan dalam tiga kelompok terorism yakni personal terorism, collective terorism, dan state terorism. Penggunaan terma teror suci hanya dalam tataran akademik, dalam dunia keagamaan masing-masing memiliki terma sendiri, seperti Jihad (Islam), crusade war (Kristen), dan sebagainya. Demikian juga  Para teroris umumnya menyabut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin dan lain-lain.
Menurut David C Rapoport pada dasarnya gelombang agama yang telah menghasilkan sebuah kelompok sekuler, akibat reaksinya terhadap semangat keagamaan yang berlebihan. Dan David C Rapoport mendefenisikan teror sekuler sebagai aksi teror yang dimotivasi oleh tujuan-tujuan politik dan kekuasaan. Teror sekuler akan mengundang simpati selama tujuannya memiiliki semangat kerakyatan. Namun dalam sejarahnya, teror sekuler tidak menumbuhkan antusiasme yang tinggi seperti teror suci. Sebab, teror sekuler lebih banyak berkisar pada upaya merebut kekuasaan sehingga kepentingan yang terlihat bersifat elitis. Sedangkan teror suci dimotivasi oleh nilai-nilai keagamaan yang luhur.
Sehingga menurut David C Rapoport, gelombang terorisme yang ada saat ini cenderung bersifat “religious wave” yang dipicu oleh adanya “ketidakadilan global” yang lebih bersumber pada suatu paham radikal yang dianut para kelompok teroris yang ada. Dan David juga membedakan kelompok teroris generasi keempat dengan generasi-generasi sebelumnya, dimana kelompok generasi keempat tidak ragu menjadikan warga sipil (non-combatant) sebagai target aksi kekerasannya.[1]
Demikian yang terjadi di Indonesia. Perkembangan terorisme di Indonesia lebih pada teroris gelombang ke empat, dimana akar masalah dari aksi terorisme di Indonesia sejak 1980-an hingga dekade pertama abad ke-21 sesungguhnya tidak berubah, yaitu ketidakpuasan politik segelintir sempalan dari agama tertentu terhadap berbagai kebijakan negara yang dilaksanakan pemerintah. Selain dipicu oleh ketidakpuasan domestik, terorisme di Indonesia dipicu pula oleh ketidakpuasan pada perubahan lingkungan strategis internasional. Misalnya pada isu Palestina-lsrael dimana masyarakat Palestina berada dalam kondisi teraniaya akibat kebijakan Israel yang didukung oleh Amerika Serikat sebagai adidaya tunggal. Apabila ditarik lebih jauh, isu terorisme di Indonesia tidak lepas pula dari sejarah perbedaan pandangan antara Islam dengan Barat.[2] Dan aktivitas itu merupakan corak kosmik terhadap agama. Corak kosmik dalam agama adalah kecenderungan untuk memahami suatu masalah spesifik dari sudut pandang yang umum, Alasan yang melandasi tindakan terorisme oleh suatu komunitas biasanya adalah pandangan kosmik dalam agama yang bersangkutan dengan kejadian perang. Dalam setiap pengajaran religius yang dipakai untuk melegitimasikan kekerasan.
Faktor-faktor inilah yang antara lain menimbulkan militansi mereka dalam hubungannya dengan pemerintah, selain faktor ideologis atau kelompok yang berbasis pada agama tertentu, aksi terorisme di Indonesia dilancarkan pula oleh kelompok separatis. Karena pada dasarnya kelompok separatis melancarkan aksi terornya karena dilandasi oleh rasa ketidakpuasan dan atau kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai mengambil kebijakan yang tidak tepat terhadap pembangunan di daerahnya.[3]
Daftar Pustaka
Anantaya, W., Palguna, I., & Putra Ariana, I. G. (2015). Tanggung Jawab Negara Terhadap Kejahatan Terorisme Yang Melewati Batas-Batas Nasional Negara-Negara. Kertha Negara, 3(03).
KHomeni, Imam. 2009. Palestina “Tragedi Keterhinaan Kaum Muslim”. Zahra Publishing. Jakarta. Cetakan ke 2.
Sudrajat. 2003. Makalah Kebijakan Dan Langkah-Langkah Antisipatif Dan Proaktif Dalam Menghadapi Ancaman Terorisme. BPHN Departemen Kehakiman dan HAM bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Bandung.
Wahyudi, Alwi. 2014. Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


[1]  Lihat juga Kofi Annan dan Marry Robinson  dalam  Anantaya, W., Palguna, I., & Putra Ariana, I. G. (2015: hlm: 4) yang menyatakan bahwa kejahatan terorisme juga merupakan crime against humanity Kejahatan kemanusiaan, dengan menggunakan tolak ukur kejahatan yakni adanya serangan yang mematikan terhadap penduduk sipil (non-combatant). 
[2] Lihat Imam Homeni. 2009. Palestina “Tragedi Keterhinaan Kaum Muslim”. Zahra Publishing. Jakarta. Cetakan ke 2
[3]  Lihat Juga Penjelasan Mayor Jenderal TNI Sudrajat dalam Makalah disampaikan pada Seminar Ten tang Penegakan Hukum Terhadap Terorisme, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, tanggal 13-14 Oktober 2003)..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar